JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akhir-akhir ini selalu memperberat hukuman terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Alasan memperberat hukuman itu adalah lantaran para pengadil di tingkat banding menganggap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta masih belum tepat dan harus dikoreksi.

Tercatat ada beberapa terpidana yang hukumannya diperberat yaitu pengacara senior Otto Cornelis Kaligis yang terlibat dalam perkara suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Majelis hakim PT DKI Jakarta memperberat hukuman OC Kaligis dari 5,5 tahun menjadi 7 tahun penjara.

Kemudian salah satu terdakwa yang disuap Kaligis yaitu Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro juga hukumannya diperberat. Tripeni yang dinyatakan terbukti menerima uang US$15 ribu agar gugatan atas penyelidikan dugaan kasus korupsi dana bantuan sosial Pemprov Sumatera Utara yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara ataupun Kejaksaan Agung dikabulkan.

"Putusan banding Tripeni tanggal 15 Maret 2016 No.06/PID/TPK/2016/PT.DKI, pidana penjara jadi 4 tahun," kata jaksa KPK Kristanti Yuni Purnawanti saat dihubungi gresnews.com, Kamis (2/6). Sebelumnya Tripeni hanya dihukum 2 tahun penjara.

Selanjutnya mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang diperberat hukumannya dari 7 tahun menjadi 10 tahun penjara. Ia juga dicabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan politik. Suryadharma terlilit kasus korupsi haji dan penyalahgunaan Dana Operasional Menteri (DOM).

Kepada gresnews.com, Humas PT DKI Jakarta Heru Pramono mengatakan, naiknya hukuman para terdakwa tersebut karena pihaknya menganggap putusan pengadilan tingkat pertama masih belum mencerminkan asas keadilan. Saat ditanya apakah naiknya hukuman tersebut merupakan ajang pembuktian para hakim pengadilan tingkat dua dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, Heru mengamininya.

Apalagi, kata Heru, kasus korupsi merupakan salah satu yang tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). "Kami, para hakim sangat pro dalam pemberantasan korupsi. Dan pemerintah juga memang sedang giat dalam memberantas korupsi," kata Heru kepada gresnews.com, Minggu (5/6).

Namun Heru membantah bahwa naiknya hukuman berhubungan dengan operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap para pengadil. Sebab, menurut Heru, hakim dalam memutus suatu perkara bersikap independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapa atau apapun. "Tidak ada pengaruhnya, tidak ada korelasinya itu. Kami (para hakim), kan harus independen, penangkapan itu sama sekali tidak ada pengaruhnya," imbuh Heru.

Sebab, menurut Heru, selama ini berdasarkan data dan informasi yang diterima olehnya, PT DKI Jakarta memang selalu konsisten mendukung pemberantasan korupsi. Salah satu contohnya, jika ada terdakwa kasus korupsi yang mengajukan banding, sebagian besar, bahkan hampir keseluruhan bandingnya ditolak.

"Kita itu cenderung menguatkan, bahkan memperberat. Semenjak saya menggantikan Pak Hatta (Humas PT DKI sebelumnya), saya baca itu dokumennya. Dan kami punya track record sangat baik," tutur Heru.

Seperti diketahui, dalam beberapa bulan belakangan ini, dunia peradilan memang seperti tengah dirundung awan mendung lantaran berturut-turut KPK telah menangkap tangan para hakim yang diduga menerima suap dari pihak yang berperkara. Rentetan penangkapan para hakim itu dimulai dengan ditangkapnya Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna saat menerima suap Rp400 juta pada tengah Februari 2016.

Dari penangkapan ini, KPK kemudian membuka percakapan BBM Andri dengan staf kepaniteraan MA yang bernama Kosidah, percakapan itu menyebut nama-nama hakim agung dalam pusaran praktik dagang perkara.

Kemudian KPK juga menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution yang mengantar penyidik KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Dari rumah itu, KPK menemukan sejumlah uang, termasuk yang ada di kloset.

Terakhir KPK menangkap dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu awal pekan lalu yaitu Janner Purba dan Toton. Janner, yang juga Ketua PN Kepahiang, sedang dipromosikan menjadi Ketua PN Kisaran, Sumatera Utara.

JANGAN ASAL PERBERAT - Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir menyambut baik hal tersebut. Namun, Muzakir memberi beberapa catatan kepada para hakim dalam memutus suatu kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

Muzakir berpendapat, para hakim boleh saja mendukung pemberantasan korupsi yang menjadi program pemerintah. Tetapi, hal tersebut jangan selalu menjadi alasan untuk mengukum para terdakwa dengan putusan lebih tinggi.

Alasannya, kata Muzakkir, ada hal yang lebih tinggi yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi para hakim dalam memutus perkara, yaitu asas keadilan dan independensi. Muzakir berpendapat, para terdakwa harus dihukum sesuai porsinya masing-masing sesuai dengan kesalahannya.

"Menghukum itu tidak boleh lihat orangnya. Misalnya Suryadharma Ali, mentang-mentang mantan Menteri Agama jadi dihukum lebih berat. Padahal kan setelah kasus ini muncul toh ia juga dipecat, jadi jabatannya itu hilang," kata Muzakir kepada gresnews.com, Minggu (5/6).

Muzakir pun membandingkan beberapa terdakwa dalam kasus korupsi yang dianggap mendapat hukuman tidak adil. Contohnya terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Samadikun Hartono, yang hanya dihukum 4 tahun penjara padahal merugikan negara sekitar Rp169 miliar, dan uang pengganti sekitar Rp42 miliar.

"Padahal waktu itu Indonesia lagi krisis, masak hukumannya cuma 4 tahun (penjara)? Tapi mereka yang korupsinya cuma Rp50 juta dihukum 4 tahun juga, Rp1 miliar 10 tahun, enggak boleh begitu," tuturnya.

Muzakir pun memberi saran agar para hakim dapat lebih terbuka dan adil dalam memberi keputusan. Sebab, menurutnya, hukuman terhadap terdakwa korupsi bukan ditujukan sebagai ajang balas dendam, melainkan pembelajaran agar tidak mengulanginya di kemudian hari.

SIKAP KPK - Sementara itu, terkait hukuman terhadap OC Kaligis, pihak KPK menilai pemberatan hukuman menjadi 7 tahun penjara masih belum memenuhi rasa keadilan. Karena itu KPK akan mengajukan kasasi. "Iya (akan kasasi), KPK akan mengajukan kasasi karena belum memenuhi rasa keadilan," kata Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Jumat (3/6).

Vonis tersebut memang masih rendah dari tuntutan KPK yakni 10 tahun penjara. KPK meyakini OC Kaligis telah menyuap majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan saat membela kliennya.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK tidak akan komplain jika vonis yang dijatuhkan 2/3 dari tuntutan. Apalagi jika vonisnya lebih dari 2/3 tuntutan. "Kalau lebih dari 2/3, nah ini malah lebih kita mah alhamdulillah, semua tergantung ke jaksanya. Hati nurani hakim enggak bisa diganggu gugat, mereka baca situasi, keuangannya, perilakunya," ujar Saut di atas KRL usai mengisi acara Ngamen Antikorupsi di Stasiun Bogor, Jumat (3/6).

"OC Kaligis lebih berat, jadi berat (jerat hukumnya), ya karena melihat status dia sebagai pengacara senior. Nama baik itu dipertimbangkan, hakim juga lihat kalau dia ngajar juga dan lain-lain juga itu berpengaruh," jelasnya.

Saut lantas mengumpamakan satu kasus yang melibatkan 5 orang. Misalnya saja yang satu mengaku dan yang lain terus-terusan membantah sementara ada buktinya. "Perilakunya jelek, nah biasanya dihukumnya lebih lama. Beda sama yang kasusnya sama tapi mengakui dan dia perilakunya baik maka lebih ringan. Ada yang memberatkan ada juga yang meringankan," tutur Saut.

"Nah kalau pejabat negara kan pasti beda dari melihat perilaku juga, jadi buat kita (KPK) selama itu di luar 2/3 itu dari hakim, ya kita enggak bisa ikut campur tangan di situ. Buat pandangan saya itu bagus, buat orang lain kan belum tentu," imbuhnya.

Kala itu, OC Kaligis tengah membela mantan Bendahara Pemprov Sumatera Utara, Fuad Lubis, yang terseret kasus korupsi. Sang Gubernur, Gatot Pudjo Nugroho, kalang kabut karena kasus korupsi itu bisa merembet ke dirinya.

Alhasil, Gatot meminta bantuan OC Kaligis untuk menyelesaikan masalah itu. OCK -- demikian ia biasa disapa-- lalu menggugat penetapan tersangka Fuad Lubis ke PTUN Medan. Duduk sebagai ketua majelis adalah Tripeni (yang juga Ketua PTUN Medan) dengan anggota Amir Fauzi dan Dermawan Ginting. Gugatan dikabulkan dan status tersangka Fuad dicabut.

Sementara itu, terkait putusan atas Suryadharma Ali, KPK belum menentukan sikap. Untuk diketahui, hukuman 10 tahun penjara bagi SDA hanya setahun lebih rendah dari tuntutan KPK. "Atas putusan banding ini, jaksa masih berkonsultasi dengan pimpinan dan memiliki waktu 14 hari untuk pikir-pikir," kata Yuyuk.

Yuyuk mengatakan bahwa pemberitahuan resmi putusan banding itu diterima pada Senin, 30 Mei 2016. Sementara, putusan tersebut telah diketok pada 19 Mei 2016. Sebelumnya, Suryadharma divonis di Pengadilan Tipikor dengan 6 tahun penjara.

Selain ditambah hukuman penjaranya, PT DKI juga menambah hukuman pencabutan hak kepada SDA. Dia dicabut haknya untuk menduduki jabatan publik dalam 5 tahun ke depan. Seddangkan uang pengganti masih sama, yaitu dihukum membayar uang pengganti Rp 1,8 miliar. Jika tidak dapat membayar uang pengganti, hartanya dirampas sebagai pengganti. (dtc)

BACA JUGA: