JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menelusuri keterlibatan berbagai pihak terkait pengungkapan mafia perkara seharga Rp1 miliar di Pengadilan Negeri Bengkulu. Terungkapnya mafia perkara ini merupakan pengembangan dari penangkapan atas hakim pengadilan tindak pidana korupsi Bengkulu Janner Purba dan Toton.

Janner dan Toton diketahui menerima suap dari terdakwa Edy Santoni sebesar Rp1 miliar agar divonis bebas dalam perkara korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD M Yunus Bengkulu yang ditangani kedua hakim itu. Untuk itu, hari ini, Kamis (2/6) KPK memanggil Mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD M Yunus, Syafri Syafii.

Usai pemeriksaan, Syafri menegaskan dia bukanlah inisiator pemberian suap kepada Jenner dan Toton. Ia melemparkan tanggung jawab tersebut kepada pada hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Bengkulu.

Syafri yang telah menjadi tersangka dalam perkara ini mengatakan, uang suap yang diberikan merupakan permintaan sang pengadil. "Itu permintaan hakim," kata Syafii singkat di lobi Gedung KPK, Kamis (2/5).

Sayangnya Syafri tidak menjelaskan hakim mana yang menjadi inisiator utama. Sebab dalam perkara ini KPK menangkap dua orang hakim yaitu Kepala Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim Tipikor Bengkulu, Janner Purba dan seorang hakim ad hoc bernama Toton.

Pernyataan Syafri itu menambah jelas asal usul perkara ini. Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, pihaknya telah menemukan jumlah uang kesepakatan dalam persidangan kasus korupsi honor Dewan Pembina RSUD M Yunus. "Jumlah komitmen fee-nya Rp1 miliar," kata Yuyuk.

Sebelumnya dalam operasi tangkap tangan KPK menyita uang senilai Rp150 juta. Uang tersebut adalah pemberian kedua setelah pada pemberian pertama ada pemberian Rp500 juta.

Yuyuk mengatakan, uang tersebut bertujuan untuk mempengaruhi putusan hakim Tipikor Bengkulu. "Uangnya itu agar putusannya bebas," imbuh Yuyuk.

Selain memeriksa Syafri, KPK juga memeriksa Ketua Pengadilan Tipikor Bengkulu Encep Yuliadi. Yuyuk mengatakan, Encep akan dimintai keterangan sebagai saksi untuk melengkapi berkas pemeriksaan atas tersangka Edy Santoni.

Encep datang sekitar Pukul 10.30 WIB, namun tidak ada keterangan yang diberikannya kepada wartawan. Ia memilih bungkam dan langsung masuk ruang tamu Gedung KPK untuk menunggu pemeriksaan yang dilakukan oleh tim penyidik.

Selain Encep, hakim PN Bengkulu Siti Insirah juga dijadwalkan akab diperiksa KPK. Siti merupakan anggota majelis hakim yang bersama Janner dan Toton menyidangkan perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr M Yunus. Namun belum diketahui apakah Siti hadir dalam pemeriksaan ini.

Kemudian ada juga Nurman Soehardi dari wiraswasta, Zailani Syihab yang merupakan panitera PN Tipikor Bengkulu, dan PNS UPP Kabupaten Bengkulu Tengah Febi Irwansyah. Komplotan mafia perkara itu ditangkap KPK pada 25 Mei lalu dengan bukti uang suap sebesar Rp650 juta. Penyerahan uang diserahkan sehari sebelum putusan.

DARURAT PERADILAN - Dalam perkara ini, Ketua KPK Agus Rahardjo beberapa kali menegaskan, pihaknya membuka peluang menetapkan tersangka baru. Saat ditanya apakah salah satu hakim yang ikut menyidangkan perkara tersebut yaitu Siti Insirah yang berpotensi menjadi tersangka, Agus tidak membantahnya.

Dia berdalih, saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman terlebih dahulu. "Kemungkinan ada, tapi kan sekali lagi ini dilakukan pendalaman, kemudian mudah-mudahan liat fakta persidangan nanti," imbuh Agus saat ditemui wartawan di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hari ini.

Terungkapnya kasus-kasus perdagangan perkara di pengadilan oleh KPK ini membuat Presiden Joko Widodo prihatin. Terkait hal ini, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Presiden Jokowi akan segera mengambil sikap.

"Apa yang akan dilakukan tentunya kami akan menyampaikan hal itu melalui Menkum HAM, Menko Polhukam, dan pada saatnya akan kami rataskan (rapat terbatas dipimpin Presiden Jokowi-red)," kata Pramono Anung di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/5).

Pram mengatakan pemerintah mengikuti dengan seksama penegakkan hukum di sistem peradilan negara ini. Dengan banyaknya kasus tangkap tangan para hakim dan penegak hukum, maka ada hal yang memang perlu dilakukan perbaikan.

"Jadi memperlihatkan pada kita bahwa persoalan korupsi ini masih belum berjalan dengan baik, sehingga dengan demikian reformasi di bidang ini perlu dipikirkan secara matang tanpa harus kemudian membuat apa yang terjadi sekarang ini semakin gaduh," ujarnya.

Menurut Pram, KPK telah menjalankan fungsi penegakan hukum di lembaga peradilan yang juga merupakan penegak hukum secara baik. Karena itu sebenarnya lembaga peradilan menjadi penjaga dari penegakkan hukum.

"Ternyata mereka malah mengotori tangannya sendiri, dan ini harus diperbaiki. Maka apa yang jadi masukan publik, media, pengamat dan sebagainya nanti pada saatnya pemerintah pasti akan merumuskan hal ini," kata Pram.

Sebagaimana diketahui, dalam dua bulan terakhir KPK berhasil mengungkap berbagai modus dagang perkara di peradilan. Dimulai dengan ditangkapnya Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna saat menerima suap Rp400 juta pada tengah Februari 2016.

Dari penangkapan ini, KPK kemudian membuka percakapan BBM Andri dengan staf kepaniteraan MA yang bernama Kosidah, percakapan itu menyebut nama-nama hakim agung dalam pusaran praktik dagang perkara.

Kemudian KPK juga menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution yang mengantar penyidik KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Dari rumah itu, KPK menemukan sejumlah uang, termasuk yang ada di kloset.

Terakhir KPK menangkap dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu awal pekan lalu yaitu Janner Purba dan Toton. Janner yang juga Ketua PN Kepahiang sedang dipromosikan menjadi Ketua PN Kisaran, Sumatera Utara. (dtc)

BACA JUGA: