JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota DPRD DKI Jakarta yang juga politisi muda Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wahyu Dewanto tak putus dirundung beragam kasus dan isu miring. Belum usai kasus dugaan permintaan fasilitas saat melakukan kunjungan ke Sydney Australia, kader partai besutan Wiranto ini kembali terseret dugaan kasus korupsi penggelapan dana kredit di Bank Mandiri. Kasus ini tengah diselidiki Kejaksaan Agung.

Wahyu sedianya dimintai keterangan penyelidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Selasa (5/4). Namun Wahyu tidak bisa hadir dan meminta dijadwal ulang. Lewat kuasa hukumnya Hendra Heriansyah, Wahyu menyerahkan surat yang berisi alasan tidak bisa memenuhi panggilan penyelidik.

"Secara pribadi Pak wahyu ini sangat berkeinginan sebagai warga negara yang baik, tunduk aturan hukum. Namun Kita minta schedule ulang," kata Hendra di Kejaksaan Agung.

Hendra menyampaikan, agenda permintaan keterangan oleh penyelidik pidana khusus Kejaksaan Agung berbenturan dengan agenda kliennya. Sebagai wakil rakyat, saat agenda reses kliennya berkewajiban menemui konstituennya. Wahyu merupakan wakil rakyat daerah pemilihan Jakarta 8 yang meliputi wilayah Tebet, Mampang, Pancoran dan Pasar Minggu.

Wahyu meminta Kejaksaan Agung kembali memeriksa dua pekan depan setelah masa reses usai. Namun Hendra belum memastikan apakah permohonannya tersebut disetujui tim penyelidik Kejaksaan Agung.

Dalam kesempatan itu, Hendra Heriansyah juga menyampaikan awal kasus yang menyeret kliennya. Hendara mengatakan, Wahyu bersama tiga rekannya awalnya membentuk kongsi bisnis yang bergerak di bidang jasa perhotelan.

Dalam kongsi bisnis itu Wahyu memiliki saham sebanyak 60%. Dua rekannya, Hamad Saleh Hilabi memiliki share saham 20% dan satu rekannya lagi I Wayan P.Wijaya memiliki 15%. Saham lainnya sebesar 5% dimiliki Andy Randi Rivai 5%.

Karena memiliki saham mayoritas, Wahyu Dewanto diangkat sebagai Direktur Utama PT PT Tri Selaras Sapta (TSS). PT TSS berencana membangun Hotel di daerah Canggu, Bali. Lalu diajukanlah kredit ke Bank Mandiri Denpasar dengan agunan/jaminan utama aset perusahaan Wahyu Dewanto PT WCS, Personal Guarante Wahyu Dewanto, Edy Suripman dan Edy Susilo selaku komisaris).

Setelah melalui pemeriksaan bonafiditas, kondisi agunan jaminan yang mencapai kurang Rp100 miliar disetujui. Mandiri akan memberikan fasilitas kredit sebesar Rp60 miliar. Kredit dicairkan tiga termin. Termin pertama cair sebesar Rp18 miliar.

"Dana digunakan oleh pak WD selaku Dirut PT TSS untuk kepentingan pengurusan perizinan dan sebagian besar untuk pembangunan struktur proyek hotel," terang Hendra.

TERJADI DISPUTE - Dalam perjalanannya, kongsi antara empat sekawan ini ternyata mengalami perpecahan. Dua pemegang saham lainnya, Hamad Saleh Hilabi dan Andi Rivai menuduh Wahyu Dewanto menggelapkan pemberian fasilitas Kredit tersebut untuk kepentingan pribadi.

Tuduhan itu berawal dari adanya surat peringatan jatuh tempo kepada PT Tri Sesar Sapta dari pihak Bank Mandiri pada tanggal 18 Maret 2015. Isi tegurannya menyatakan, pihak Bank Mandiri tidak melihat adanya proyek pembangunan hotel yang rencananya akan diberi nama Yello Echo Beach itu.

Berbekal surat teguran itu, Hamad dan Randy kemudian melaporkan Wahyu Dewanto ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Maret 2015 lalu. Tak lama keduanya melaporkan ke KPK dan Kejaksaan Agung.

Namun dalam proses penyidikan di Polres Jaksel, berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi tidak ditemukan adanya bukti dugaan penggelapan dana kredit. Penyidik Polres Jaksel berkesimpulan kasus ini tidak cukup bukti dan dihentikan penyidikannya (SP3).

Berbeda dengan Polres Jaksel, kasus ini ternyata tetap berjalan di Kejaksaan Agung. Padahal baik yang dilaporkan ke Polres Jaksel dan Kejaksaan Agung materi kasusnya sama.

"Jadi substansi apa yang dilaporkan di Polres Jaksel yang sudah di SP3 oleh penyidik, objek dan subjek-nya sama dengan yang dilaporkan di KPK dan Kejaksaan Agung," kata Hendra.

Karena itulah, dia berupaya mencari informasi apakah kasus yang ditangani Kejaksaan Agung terkait Wahyu ini memang sama dengan kasus yang dilaporkan ke Polres Jaksel.

Saat ditanya soal itu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengaku pihaknya memang tengah menyelidiki kasus dugaan penggelapan kredit di Bank Mandiri. Namun Arminsyah enggan membeberkan lebih jauh posisi kasusnya karena masih penyelidikan. "Ada kasus kredit, anggota DPRD kita mintai keterangan," kata Arminsyah.

TERBELIT BANYAK KASUS - Nama Wahyu Dewanto sejak 2014 sudah terdengar dengan banyak kasus. Tahun 2014, Wahyu tersengat kasus politik uang saat terpilih sebagai Anggota DPRD DKI Jakarta. Rukun Santoso, kawan separtainya menuding Wahyu melakukan kejahatan pemilu.

Sebelum menjabat sebagai anggota DPRD DKI Jakarta, Wahyu Dewanto merupakan seorang pengusaha properti. Beberapa usaha properti yang ia miliki antara lain: Pusat Grosir Cililitan (PGC) di kawasan Cililitan Jakarta Timur.

Wahyu juga tercatat sebagai pemilik Fave Hotel Cililitan dan Jakarta Box Tower (JB Tower) di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat yang dibuat oleh perusahaan milik Wahyu PT Mardhika Artha.

Baru-baru ini, Wahyu juga terseret isu permohonan fasilitas selama melakukan perjalanan di Sydney, Australia. Kasus itu tersebar setelah terungkap sebuah foto berisi surat berkop Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) ke Kementerian Luar Negeri yang berisikan permintaan agar Konsulat Jenderal RI di Sydney menyediakan fasilitas transportasi dan akomodasi kepada koleganya yang bernama Wahyu Dewanto. Penyediaan fasilitas transportasi dan akomodasi dilakukan selama Wahyu berkunjung ke Sydney dari 24 Maret-2 April.

Dalam surat tersebut, Kemenpan-RB menyebut bahwa Wahyu merupakan kolega dari Menpan-RB Yuddy Chrisnandi. Dalam surat itu disebutkan bahwa Wahyu berkunjung ke Australia dengan menyertakan lima orang keluarganya. Surat tersebut ditandatangani Sekretaris Kemenpan-RB Dwi Wahyu Atmaji dan ditembuskan kepada Menpan RB, Dubes RI untuk Australia di Canberra, dan Konjen RI di Sydney.

Terkait permohonan fasilitas selama bepergian ke Australia itu, Wahyu sendiri dengan tegas membantahnya. "Yang membuat saya kaget adalah surat dari KemenPANRB. Saya sama sekali tidak tahu surat tersebut. Saya tidak meminta biaya akomodasi, dan saya di Australia tidak satu pun menggunakan fasilitas dari pemerintah," kata Wahyu dalam jumpa pers di Ruang Fraksi Partai Hanura DPRD DKI, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Senin (4/4).

Wahyu menyatakan surat itu muncul tanpa sepengetahuan dirinya. Memang, dia tidak membantah telah memberitahu Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi yang notabene kolega dia separtai Hanura.

Dia memberitahukan kunjungan tamasya ke Negeri Kanguru itu dengan terlebih dahulu izin ke Fraksinya yang dipimpin Mohamad Sangaji (Ongen). Surat itu ditembuskan ke MenPANRB juga.

"Surat ini (surat izin ke Fraksi Hanura DPRD DKI) memang saya buat tembusan ke mana-mana. Ke fraksi, ke partai, dan ke MenPANRB. Mungkin staf saya kirim ke Partai juga," kata Wahyu.

Dia juga sempat pamit ke Menteri Yuddy di kantor KemenPANRB sebelum berangkat ke Australia. Surat izin fraksi dan rencana perjalanan diberikannya kepada Yuddy. (dtc)

BACA JUGA: