JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang diketok Rabu (11/1) menjadi sinyal baik dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Meskipun hanya sebagian yang dikabulkan, setidaknya putusan tersebut bisa menjadi kontrol terhadap proses penyidikan satu perkara oleh Kepolisian Kejaksaan.

Dalam putusan uji materiil ketentuan Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, Mahkamah pun menyatakan pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban atau pelapor. Tak hanya itu, SPDP harus diberikan ke penuntut umum dalam jangka tujuh hari sejak dimulai penyidikan.

Selama ini, penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum kerap tidak pasti bahkan dijadikan alat untuk mengeruk kepentingan tertentu. Baik Kejaksaan Agung dan Kepolisian menyambut baik atas putusan tersebut.

"Tentu sebagai bagian dari aparat penegak hukum yang menjalankan proses peradilan, kami menyambut baik putusan itu, karena paling tidak ada sedikit kepastian ya," kata Noor Rachmad, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) di Kejagung, Jakarta, Jumat (13/1).

Sebelum ada putusan MK atas perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang dibacakan Rabu kemarin (11/1), dalam KUHAP hanya menyebut bahwa penyidik segera memberikan SPDP, tanpa mengatur tenggat waktu. Namun dengan putusan tersebut, kata Noor, memberikan kepastian hukum.

"Dalam putusan MK ini, tentu ada perubahan baru, ada sedikit kepastian, bahwa seminggu paling lambat itu harus diserahkan ke jaksa peneliti, pelapor, dan terlapor," tambah Noor.

Artinya, tambah Noor, dengan adanya aturan yang mengatur tenggat waktu, menjadikan ada kepastian hukum.

Hal senada disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Rikwanto, dengan putusan MK atas uji materi Pasal 109 Ayat 1 KUHAP akan memudahkan kontrol terhadap penyidik dalam menangani satu perkara. Putusan ini juga lebih menekankan kerja penyidik lebih profesional dan akuntabel saat tangani perkara.

"Putusan ini tidak ada masalah, kita sambut baik," kata Rikwanto.

Pada Rabu (11/1) MK memutus sidang gugatan uji materi Nomor 130/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK.

"Mengadili mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi hakim konstitusi lainnya.

Adapun bunyi Pasal 109 Ayat (1) KUHAP adalah: "Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum".

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan pentingnya terlapor dan korban mendapatkan SPDP. Menurut Mahkamah, terlapor yang telah mendapatkan SPDP dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya. Sedangkan bagi korban/pelapor, SPDP dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, paling lambat tujuh hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut," jelasnya.

Pemohon uji materi ini adalah Choky Risda Ramadhan (Pemohon I), Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes (Pemohon II), Usman Hamid (Pemohon III), dan Andro Supriyanto (Pemohon IV). Para pemohon dirugikan dengan pemberlakuan Pasal 14 b dan I, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), serta Pasal 139 terkait penundaan pemberian SPDP dari penyidik kepada penuntut umum.


TUTUP LUBANG KOSONG - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI langsung merespon putusan MK tersebut. berpendapat putusan itu bisa menutupi lubang kosong dalam proses penyidikan.

Dalam konferensi pers di di kantor LBH Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017), Koordinator Mappi FHUI, Choky Ramadhan mengatakan, meski hanya dikabulkan sebagian dari permohonan judicial review, tapi kewenangan penyidik terkait dikeluarkannya SPDP menjadi sebuah keharusan baik ke penuntut serta korban maupun terlapor dalam rentan waktu 7 hari, sejak penyidik memulai penyelidikannya

Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI lainnya Adery Adran, dengan putusan itu masyarakat bisa mengontrol penyidikan kepolisian agar tidak melawan hukum. Sebab melalui putusan MK ini, keharusan penyidik memberikan SPDP bukan hanya kepada jaksa, tetapi kepada pelapor dan tersangka satu perkara paling lambat tujuh hari setelah penetapan tersangka.

"Mahkamah menyatakan SPDP harus diberikan ke pelapor dan tersangka ini kita apresiasi, ini untuk kepastian hukum," ujar Adery.

Selain itu, tertutupnya penyidikan di kepolisian menjadikan jaksa tidak bisa membuktikan dakwaan di pengadilan, karena hasil penyidikannya tidak sesuai fakta. Misalnya, orang mengakui satu perbuatan yang tidak dilakukannya akibat disiksa seperti yang menimpa pengamen Andro dan Nurdin serta 4 orang anak di bawah umur.

"Jaksa banyak keluhkan perkara secara detil, dibawa ke sidang, hasilnya beda 180 derajat karena hanya baca berkas. Tapi berkas tidak sesuai keterangannya saat disidang akibat hasil penyiksaan. Orang ngaku karena disiksa," tambah Adery.

BACA JUGA: