JAKARTA - Komisi Kejaksaan (Komjak) menyatakan proses seleksi penempatan jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) 2020 masih berjalan sesuai relnya. Saat ini Komjak menerima masukan publik untuk mendapatkan pejabat yang terbaik.

"Tentu saja itu jadi masukan bahkan evaluasi bagi pansel makanya dilakukan uji publik dan wawancara. Sebenarnya juga untuk mendapatkan partisipasi publik untuk menerima masukan-masukan. Sehingga calon yang terbaik yang akan terpilih. Itu satu poinnya," kata Ketua Komjak Barita Simanjuntak Kepada Gresnews.com, Jumat (6/11/2020).

Menurutnya proses ini sudah berjalan panjang. Artinya ini tahapan uji publik dan wawancara ini bagian akhir. Nanti finalnya tentu dengan pengangkatan. Tetapi proses yang ada sebelumnya itu dari sudut assesment, kompetensi, ada rumusan-rumusan standar yang berlaku melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) itu.

Ia menjelaskan pada waktu assesment yang lalu, justru dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Jadi proses yang sudah berjalan selama ini, assesmentnya tidak hanya dilakukan oleh kejaksaan tapi juga dilakukan oleh LAN yang menjadi referensi dari aspek penilaian berkaitan dengan kompetensi.

"Lalu kapasitas dari calon itu, proses yang sudah berjalan sebelumnya," jelasnya.

Barita menambahkan yang tidak kalah penting sebenarnya ini bukanlah hal yang baru. Tapi perspektifnya baru karena dalam wawancara itu langsung livestreaming yang bisa disaksikan.

Jadi, kapasitas, kualitas dari para calon itu bisa dilihat oleh publik. Baik oleh para Jaksa sendiri, pegawai maupun oleh publik.

"Itu kali yang agak berbeda dengan proses wawancara yang dilakukan kementerian/lembaga lain yang melakukan pengisian jabatan yang serupa. Karena ini langsung livestreaming melalui channel youtube itu bisa disaksikan," terangnya.

Barita menambahkan, sebenarnya proses pemilihan kajati ini adalah kewenangan dari Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal ini Jaksa Agung. Bahwa kemudian Jaksa Agung memberi ruang bagi publik, khususnya BKN, Komisi Kejaksaan, sebenarnya itu adalah terobosan dalam arti memberikan ruang partisipasi bagi publik untuk turut menentukan jalannya pengisian jabatan itu.

Sehingga diharapkan ada perubahan dan perbaikan yang mulai diberlakukan dalam jabatan di kejaksaan khususnya kepala kejaksaan tinggi ini.

Barita menegaskan bahwa mengenai dua orang calon pejabat yang memiliki catatan pelanggaran etik itu berbeda.

"Itu ranahnya berbeda. Sebab penilaian akhir dari hasil proses ini akan kelihatan siapa pejabat yang diangkat untuk memberi konfirmasi terhadap sinyalemen yang tadi (catatan pelanggaran etik)," tuturnya.

Ia sendiri belum bisa memastikan terhadap dua calon yang memiliki catatan pelanggaran etik karena prosesnya masih berjalan. Pansel pejabat Kajati Pemantapan yang komjak ikut didalamnya bukanlah proses yang baru. Tetapi sudah ada tahapan-tahapan sebelumnya, yang penjelasan tentang hal itu bisa saja disampaikan.

Tetapi, kata Barita, yang jelas pejabat yang diangkat di kejaksaan itu harus clear dari aspek-aspek pelanggaran yang telah memiliki kekuatan penjatuhan hukuman disiplin. Misalnya keputusan Jaksa Agung atau pengawasan.

"(Hal) itu di mana-mana berlaku dan sudah final. Artinya sudah ada keputusannya," ungkapnya.

Tetapi yang jelas, menurutnya, kalau itu berupa pelanggaran hukum pasti tidak mungkin bisa lolos ke tahap Pansel Kajati Pemantapan. Kalau calon kajati melakukan pelanggaran hukum pidana pasti sudah diberhentikan.

Tapi berkaitan dengan pengawasan internal prosesnya masih jalan. Belum bisa menentukan apakah ini pelaku pelanggaran etik seperti yang disampaikan tadi.

"Tapi yang bisa saya sampaikan sejauh berkaitan dengan assesment kompetensi, berkaitan dengan penilaian kinerja itu yang sudah berjalan sesuai dengan standar yang ada, sesuai referensi yang ada dari Permen PAN itu," tukasnya.

Kejaksaan Agung telah menggelar seleksi akhir lelang jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Berkualifikasi Pemantapan pada Rabu (4/11). Para calon merupakan jaksa struktural eselon II yang sudah diseleksi.

Proses seleksi terakhir ini akan berupa uji publik melalui tim penilai yang dapat disaksikan secara langsung di Badiklat Kejaksaan RI ataupun secara daring melalui kanal YouTube pukul 08.00 WIB.

Saat ini, setidaknya ada tujuh Kejaksaan Tinggi dengan kualifikasi tersebut, yakni Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

setelah serangkaian proses seleksi, setidaknya ada enam orang jaksa yang akan mengikuti tahap akhir. Mereka adalah, Direktur Penyidikan pada Jampidsus, Febrie Adriansyah; Direktur Penuntutan pada Jampidsus, Ida Bagus Nyoman Wismantanu; Direktur Pengawalan 1 Pembangunan Strategis Nasional Jamintel, Idianto.

Kemudian, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Mia Amiati; Direktur Eksekusi pada Jampidsus M. Rum; dan terakhir Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Raden Febrytriyanto.

Sebelumnya Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengancam akan menggugat Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin, dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ancaman tersebut, MAKI lakukan jika somasi terbuka terkait seleksi penempatan jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) 2020, tetap meloloskan nama-nama yang dianggap cacat etik, dan prosedur.

Kordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, dalam penelusuran MAKI, dua dari enam nama lolos seleksi tahap akhir tersebut, yang cacat etik, dan cacat prosedural saat bertugas sebagai jaksa.

"MAKI meminta tim penilai dan Jaksa Agung menyatakan tidak lolos dalam seleksi tahap akhir, dua dari enam nama calon Kajati tersebut," kata Boyamin, dalam keterangannya, Rabu (4/11).

Boyamin belum mau membeberkan dua dari enam nama yang menurutnya harus dicoret dari proses seleksi itu. Akan tetapi, Boyamin memberi gambaran tentang dua nama tersebut. Kata dia, dua nama yang harus dicoret tersebut, yaitu jaksa yang saat ini dalam proses pelaporan ke JAM Was.

Dan satu nama jaksa yang dilaporkan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) terkait dugaan pelanggaran etik dan prilaku.

Satu jaksa tersebut, kata Boyamin juga, pernah dinyatakan tidak lulus Diklat Kepemimpinan II dan I di Lembaga Administrasi Negara (LAN). Dan satu jaksa yang melakukan manipulasi peringkat uji kompetensi.

Satu jaksa yang pernah menjabat selaku Kajati, tetapi diketahui tak melakukan pengawasan terhadap kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) yang menyeret ke persoalan korupsi. Dan satu jaksa yang diduga melakukan penghentian penyelidikan dugaan korupsi tanpada dasar hukum.

MAKI menuding, dua orang jaksa dari enam yang lolos seleksi tersebut, sengaja diluluskan dalam setiap proses seleksi tahun ini, karena adanya kedekatan dengan pejabat tinggi lainnya di Kejaksaan Agung.

"Bahwa dengan dugaan cacat etik, dan cacat prosedur terhadap dua dari enam nama yang lolos tersebut, maka MAKI meminta, Tim Seleksi hanya meloloskan empat nama," tegasnya.

Kata Boyamin, jika Tim Seleksi tetap meloloskan dua nama yang dituding cacat etik, dan cacat prosedur tersebut, MAKI menyatakan, akan menggugat Jaksa Agung Burhanuddin, dan Presiden Jokowi selaku atasan pemimpin Korps Adhyaksa ke PTUN.

Menurut Boyamin, somasi dan ancaman gugatan PTUN yang akan dilakukan MAKI, dimaksudkan sebagai sarana pembuktian terbuka, tudingan terhadap dua nama yang dianggap cacat etik, dan cacat prosedur tersebut.

"Sehingga, tim seleksi penempatan posisi Kajati Berkualifikasi Pemantapan 2020, benar-benar meloloskan jaksa-jaksa yang memenuhi syarat, dan tak memiliki kecacatan dalam etik, dan proses jabatan," ujarnya. (G-2)

 

BACA JUGA: