JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Marga Nurindo Bhakti (MNB) tak terima pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 720 K/Pid/2001 yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) tanggal 16 Maret 2016. Kejaksaan Agung menetapkan PT Hutama Karya sebagai pihak yang paling berhak mengelola Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) S. Di sisi lain, PT MNB mengaku sebagai pihak yang paling berhak.

Kuasa hukum PT MNB Hamdan Zoelva mengatakan, MNB merupakan pemegang yang sah atas hak konsesi JORR S berdasar akta perjanjian kuasa penyelenggaraan Nomor 116 Tanggal 22 Desember 1992. Pihak MNB sendiri telah menyelesaikan dan mengoperasikan ruas jalan tol tersebut sejak 1 September 1995 sebagaimana dibuktikan oleh Keputusan Presiden RI Nomor 65 Tahun 1995 dan Nomor 78 Tahun 1996.

"Jadi MNB merupakan pihak yang berhak atas konsesi atau pengelolaan jalan tol di atas setelah mendapatkannya pada tahun 1992 dan telah menyelesaikan serta mengoperasikannya," kata Hamdan dalam keterangan persnya di Hotel Akmani, Jakarta, Selasa (29/3).

Dijelaskan Hamdan, Kejagung sebelumnya sempat menyita hak konsesi PT MNB pada 1 Juli 1998 sebagai barang bukti terkait penyidikan kasus korupsi penerbitan Commercial Paper (CP) Medium Term Notes (MTN) PT Hutama Karya senilai Rp1,05 triliun dan US$471 juta. Lalu MA memutus perkara ini dengan putusan Nomor 720 K/Pid/2001, tanggal 11 Oktober 2001.

Dalam putusan ini, terdakwa (I) Thamrin Tanjung selaku pegawai PT Hutama Karya dan terdakwa (II) Tjokorda Raka Sukawati selaku Direktur Utama PT Hutama Karya, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. "Dalam amar putusanya juga, diputuskan bahwa barang bukti berupa hak konsesi JORR S harus dikembalikan kepada MNB," terang Hamdan.

Hal itu juga diperkuat dengan pendapat hukum yang dikeluarkan Kejaksaan Agung No B-085/A/Gp.1/10/2010 yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Kejagung menyatakan bahwa Menteri Pekerjaan Umum harus menyerahkan hak konsesi JORR S ke MNB. Dan penyerahan hak konsesi kepada Hutama Karya secara perdata dapat ditolak karena Hutama Karya hanya kontraktor.

Lalu pada September 2011 MA menerbitkan fatwa hukum No 39/KM/Pidsus/HK.04/IX/2011 yang menyatakan bahwa pelaksanaan amar putusan MA adalah kewenangan jaksa penuntut umum selaku eksekutor. Dan hak konsesi JORR S tetap harus diserahkan kepada MNB bukan Hutama Karya karena Hutama Karya tidak pernah ditunjuk sebagai kuasa penyelenggara JORR S.

Lalu pada 6 Februari 2013, menurut Hamdan, putusan MA tersebut telah dieksekusi Kejagung, di mana hak konsesi JORR S diserahkan ke PT MNB dan bukan PT Hutama Karya. Namun putusan tetap memunculkan masalah, lantaran pada Agustus 2015, Menteri PU Basuki Hadimuljono mendatangi Kejaksaan Agung untuk membicarakan persoalan hukum Jalan Tol JORR S ini.

Setelah diskusi dengan Menteri PUPR, sikap Kejaksaan Agung berubah lagi dengan menyerahkan konsesi tol JORR S ruas Pondok Pinang-Jagorawi kepada Hutama Karya. Dasar keputusan Kejagung melakukan itu adalah putusan MA No: 720 K/Pid/2001, atas nama Ir Thamrin Tanjung.

"Dengan dilaksanakan eksekusi oleh Kejagung pada tanggal 16 Maret 2016 dengan menyerahkan kepada PT Hutama Karya, maka telah terjadi eksekusi ganda (double execution) atau eksekusi lebih dari satu kali atas satu putusan pengadilan yang sama," ujar dia.

Atas dasar itu, MNB mengimbau Menteri Pekerjasaan Umum dan Perumahan Rakyat (Men-PUPR) Basuki Hadimuljono serta Badan Pengaturan Jalan Tol agar tidak menyerahkan hak konsesi JORR S kepada pihak yang tidak memiliki landasan kepemilikan secara hukum demi menghindari komplikasi hukum dan kegaduhan politik.

PROSES RUMIT - Menanggapi penolakan pihak MNB atas eksekusi Tol JORR S, Kejagung tak menggubris. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto, Kejaksaan Agung hanya melaksanakan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. "Terserah mereka, tidak ada urusan itu putusan MA," kata Amir di Kejaksaan Agung.

Soal dua kali eksekusi, Kejagung, kata Amir, hanya memperjelas siapa yang paling berhak setelah melalui kajian panjang dan pendapat banyak pihak. Kejagung berpegang pada putusan MA atas nama Thamrin Tanjung yang menyatakan: "Hak konsesi atas 1 unit Jalan Tol Pondok Pinang-Jogorawi JORR "S" berikut bangunan dan pintu-pintu gerbang dirampas untuk negara, dengan ketentuan setelah kredit dari Bank BNI sudah terlunasi dari penghasilan operasional Jalan Tol oleh PT Marga Nurindo Bhakti, selanjutnya hak pengelolaan/konsesi dan hasil pengoperasiannya dikelola dan diserahkan kepada Negara c.q. PT Hutama Karya."

Jaksa Agung Mohammad Prasetyo mengatakan, penetapan PT Hutama Karya sebagai pengelola JORR S dilakukan melalui proses yang sangat panjang, karena negara menginginkan pengelola aset ini merupakan pihak yang paling tepat. Karena itu, lanjut Prasetyo, pihaknya berulang kali berkoordinasi, menggelar rapat, dan pertemuan dengan semua pihak terkait serta meneliti bukti secara baik dan cermat. Data-data dicermati dan masukan-masukan dari semua pihak yang terkait dengan masalah jalan tol ini didengar.

Setelah melakukan hal-hal di atas, akhirnya Kejagung selaku eksekutor memutuskan siapa yang paling berhak dan dapat mengelola JORR S itu, yakni Hutama Karya. "Hutama Karya adalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara. Setelah ini tentunya secara resmi Hutama Karya akan mengelola pengoperasian jalan tol ini dan seluruh penghasilannya akan dapat mendukung Hutama Karya. Insya Allah keputusan kami tepat, tidak keliru, dan dapat memberi manfaat bagi masyarakat," kata Prasetyo.

JANGAN JADI PROYEK PENCITRAAN - Sementara Koordinator Lembaga Kajian Masyarakat Pemantau Keadilan Suryana menilai, pelaksanaan eksekusi yang berulang kali tersebut patut dipertanyakan oleh Presiden Joko Widodo. "Kenapa bisa penegak hukum mengeksekusi di atas eksekusi yang sudah ada. Jangan sampai proses penegakan hukum dijadikan pencitraan lho. Bahaya ini, jadi jangan diklaim sebagai prestasi era Prasetyo," kata Suryana di Jakarta, Selasa (22/3).

Jika berbicara kasus tersebut, kata Suryana, meski semua pihak punya kepentingan selain kepentingan negara, sejatinya PT Hutama Karya (HK) tidak berhak menjadi pengelola ruas jalan tol tersebut. Presiden Jokowi harusnya tahu, PT HK diduga masih terbelit dengan permasalahan hukum berkaitan dengan gugatan dari pemegang Medium Term Notes pada tahun 1994-1998 yakni dilakukan Direktur Utama saat itu, berinisial TRS. Kalau diprediksi, HK masih berpotensi digugat senilai US$88 juta di luar ganti rugi bunga.

"Jadi apa bedanya dengan status PT Marga Nurindo Bhakti (MNB)? HK ini kan masih satu konsorsium. Jangan dilihat statusnya yang BUMN. Kalau ada satu BUMN yang oknumnya terpidana dalam kasus tersebut apa didiamkan saja?" ujarnya.

Belum lagi ada fakta yang tidak bisa dihindari, dalam amar putusan tersebut disebutkan oknum-oknum HK saat itu terlibat penyalahgunaaan dana hasil penerbitan dan penjualan MTN oleh PT HK. Suryana mengingatkan Jaksa Agung M Prasetyo untuk membaca fatwa yang dikeluarkan Mahkamah Agung pasca putusan tersebut.

Di samping itu juga ada pendapat hukum yang dikeluarkan institusi kejaksaan yang ditandatangani pelaksana tugas Jaksa Agung saat itu yakni Darmono. "MA sudah mengeluarkan fatwa tertanggal 15 September 2011. Dimana fatwa tersebut merujuk pendapat hukum Plt Jaksa Agung tanggal 26 Oktober 2010," urainya.

Dalam pendapat hukumnya, Darmono menyatakan, penyerahan penyelenggaraan jalan tol JORR S kepada HK secara hukum perdata dapat ditolak dengan alasan hukum bahwa posisi HK dalam keterkaitannya bersifat kontrak kerja antara PT MNB.  Bahkan Darmono menegaskan jika penyerahaan jalan tol ke HK bertentangan dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Tak hanya itu, dalam pendapat hukum tersebut menyebutkan sebelum dirampas untuk negara, hak konsesi JORR seksi S harus diberikan terlebih dahulu kepada PT MNB dan dari penghasilan operasional jalan tol tersebut digunakan untuk melunasi kredit kepada Bank BNI. Hal tersebut sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 276/KPTS/M/2009 tanggal 9 Juni 2005.

Selain itu, Darmono menjelaskan, dengan adanya perubahan penguasaan barang bukti yang dititipkan ke PT Jasa Marga pada 21 November 2000 maka jaksa eksekutor hanya menyerahkan ke pejabat yang mempunyai otoritas dan kewenangan dalam pengelolaan jalan tol tersebut yakni Menteri Pekerjaan Umum RI.

BACA JUGA: