JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait pembahasan RUU RUU Perubahan UU No 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menghasilkan persetujuan untuk meneruskan revisi beleid tersebut. Pasal-pasal yang menjadi sorotan terutama adalah pasal terkait penghinaan yaitu Pasal 27 Ayat (3) yang selama ini mengundang polemik karena sifatnya yang lentur yang bisa dipakai menjerat siapa saja yang dinilai melakukan penghinaan di lewat medium internet.

Meski seluruh fraksi setuju merevisi UU ITE termasuk Pasal 27 Ayat (3), namun tidak semua fraksi satu suara soal substansi arah revisi pasal-pasal krusial dalam beleid tersebut. Diakui Menkominfo Rudiantara, terkaiat Pasal 27 Ayat (3) misalnya polemik masih berputar pada masalah menambah, mengurang atau menghapus sama sekali pasal itu.

"Kalau yang sekarang kenyataannya memang 6 tahun kan. Kita lihat dinamika dari pembahasan juga. Ada yang tetap, ada yang turun, ada yang dihilangkan, ada yang malah seolah-olah. Nanti kita bahasnya lebih detail di Panja. Panjanya belum ada. Tunggu panja-lah. Kita hormati mekanisme proses yang ada di DPR," kata Rudiantara di Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/3).

Anggota DPR Fraksi PDIP Effendi Simbolon misalnya, ngotot agar pasal itu dipertahankan. Dia beralasan pencemaran nama baik di dunia maya lebih jahat dari terorisme. "Lebih jahat dari teroris. Dia bisa kerjakan, dampaknya sepanjang masa masa, kenapa tidak ordinary crime?" katanya.

Pencemaran nama baik atau penghinaan, kata Effendi, menyangkut harga diri. Sehingga dia pun mengusulkan agar hukuman bagi masyarakat yang melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE itu harus diperberat. "Ketika harga diri dikoyak-koyak di dunia maya tidak ada konsekuensinya. Nggak bisa!" tegasnya.

Selain itu anggota F-PDIP Ervinta Susanti menyatakan, perlu adanya delik aduan yang didorong untuk masuk di regulasi itu. Selama ini pasal pencemaran nama baik masih multi tafsir sehingga sering ada penindakan tanpa adanya delik aduan.

Dukungan untuk mempertahankan pasal pencemaran nama baik di UU ITE juga datang dari politisi Partai Hanura Arif Suditomo. Menurutnya, UU ITE adalah upaya pemerintah dan elite politik untuk menjada harkat dan martabatnya. "Fraksi Hanura memandang masih ada beberapa pasal yang memerlukan pendalaman terlebih dahulu, diantaranya yang terkait hak-hak wakil negara untuk melindungi harkat dan martabatnya," ujarnya.

Tak hanya mempertahankan, bahkan ada usulan dari Fraksi PAN agar ada poin mengenai rehabilitasi nama baik. Alasannya, agar orang-orang yang nama baiknya dicemarkan bisa hilang dari dunia maya.

Suara yang agak netral hadir dari Fraksi PKS. Fraksi PKS menyampaikan UU ITE harus tetap memperhatikan kebebasan berekspresi, namun tetap harus mengikuti aturan. Fraksi PKS melihat Pasal pencemaran nama baik harus ditinjau ulang, mengingat sudah diaturnya dalam KUHP.

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat mendukung agar pasal karet tekait penghinaan dan pencemaran nama baik itu dihapuskan. Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat Salim Mengga berpendapat sudah semestinya aturan tersebut direvisi agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan tidak digunakan sebagai alat represi oleh pihak penguasa.

"Aturan ini mestinya jadi panduan dan perlindungan dalam memanfaatkan interenet. Tapi saat ini justru jadi alat represi baru, khususnya di media sosial atau internet," ujarnya dalam sidang pembahasan Revisi UU ITE.

"Ada curhat atau kritik di media sosial yang malah jadi dibawa ke ranah hukum, karena itu kami melihat perlunya revisi terbatas, revisi UU ITE perlu didukung dan dibahas dengan seksama," paparnya lebih lanjut.

Pendapat Salim Mengga didukung koleganya dari Fraksi Gerindra Ahmad Muzani. Dia menilai Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dihapus, karena klausul-klausul tersebut sudah diatur juga di dalam rancangan KUHP. "Fraksi Gerindra itu sederhana tidak membahas banyak hal, hanya Pasal 27 Ayat (3). Sikapnya hapus saja, nggak ada masalah kok, hanya nulis-nulis saja ditangkap. Pasal itu kita tidak pakai untuk kepentingan politik," ujarnya.

EMPAT SUBSTANSI - Isu revisi UU ITE ini memang mendapat perhatian banyak pihak khususnya pegiat kebebasan masyarakat sipil. Mereka memang menyoroti pasal-pasal yang dinilai memiliki kecenderungan represif terhadap kebebasan berpendapat. Deputi Direktur Pengembagan Sumber Daya HAM-ELSAM Wahyudi Djafar menyetujui adanya perbaikan UU ITE ini.

Dia mengatakan, dari kajian ELSAM bersama elemen masyarakat sipil lainnya, setidaknya ada empat aspek penting yang menjadi pertimbangan untuk perbaharuan UU ITE ini. Pertama, regulasi internet yang menempatkan hak mengakses internet sebagai bagian dari hak  asasi manusia, sehingga seluruh prinsip perlindungan hak asasi juga harus menjadi acuan dan pijakan dalam pengambilan kebijakan terkait.

Kedua, dalam konteks pemidanaan, penting untuk meninjau kembali seluruh ketentuan yang mengatur pemidanaan, untuk kemudian menghapus seluruh duplikasi tindak pidana dari UU ITE, karena sudah diatur dalam KUHP.

Ketiga, kaitannya dengan praktik pemblokiran konten internet yang harus diatur dalam mekanisme yang jelas dan kewenangan pemblokiran yang harus dilakukan oleh badan independen dari pengaruh politik. Keempat, pengambil kebijakan harus menggunakan pendekatan multi-pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakannya.

"Perumusan kebijakannya tidak hanya melibatkan stakeholder pemerintah dan DPR, tapi juga melibatkan masyarakat sipil secara luas, termasuk bisnis, korban dari UU ITE, masyarakat sipil yang konsen juga bisa terlibat secara terus menerus terbuka dalam pembahasannya," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (14/3).

Isu pemidanaan yang juga sedang di godok Komisi I DPR RI ini, bisa sekaligus disinkronkran dengan Komisi III yang saat ini juga sedang membahas revisi KUHP yang didalamnya juga mengatur tindak pidana informatika dan komputer. "Artinya ada materi-materi yang bersinggungan antara materi di dalam KUHP dan Revisi UU ITE," ujarnya.

Selain itu ELSAM berharap pemerintah bisa memperluas pembahasan revisi UU ITE. Menurut Wahyudi, dilihat dari naskah usulan pemerintah pembahasannya hanya terbatas membahas mengenai ancaman pengurangan pidana penjara dan pidana denda, untuk beberapa tindak pidana dalam ITE.

Sementara isu aktual yang menjadi kebutuhan hari ini banyak juga yang berkait erat dengan isu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, terutama yang terkait kebijakan tata kelola konten internet masih terabaikan. "Itu juga sebaiknya menjadi materi khusus yang dibahas dalam revisi UU ITE ini," katanya.

PEMBERANGUSAN DEMOKRASI – Dihubungi terpisah Direktur Eksekutif Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi mengatakan, dari hasil Rapat Dengar Pendapat Umum sebelumnya, dia melihat DPR cukup resisten terhadap ide penghapusan pasal pencemaran nama baik. Bahkan ada anggota DPR yang menginginkan hukumannya malah ditambah.

Firdaus melihat, yang harus dibahas oleh DPR terkait revisi UU ITE tidak hanya pasal pencemaran nama baik, tapi ada tiga agenda yang harus diperhatikan oleh DPR. Selain pencemaran nama baik, ada juga permasalahan mekanisme pemblokiran website dan penguatan untuk perlindungan data pribadi.

"Kalau pasal pencemaran nama baik ini tidak dihapus, bahkan ditambah hukumannya, ini jelas pemberangusan ruang demokrasi," tegasnya kepada gresnews.com.

Dia mengatakan, media sosial merupakan salah satu alternatif masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya di saat media-media mainstream banyak yang dikuasi oleh pemodal dan para pemoda, ini juga berafiliasi dengan partai. Media internet salah satu cara alternatif untuk keluar penguasaan kapital terhadap media itu sendiri.

"Tapi kemudian ketika masih bercokol pasal pencemaran nama baik, pengaturan pemblokiran web yang tidak jelas, itukan sama saja dengan pemberangusan demokrasi," tegasnya.

Kedepannya, kata Firdaus, Yayasan Satu Dunia dan gerakan masyarakat sipil lainnya akan tetap meminta DPR untuk menghapus Pasal 27, khususnya Ayat (3) serta akan mendesak pemerintah dan DPR untuk membahas tentang mekanisme pemblokiran dan perlindungan data pribadi. "Kita tetep kekeuh pasal pencemaran nama baik harus dihapus," tegasnya.

Firdaus Cahyadi melihat keberadaan pasal karet terkait pencemaran nama baik ini, menguntungkan pemerintah dan juga para elite politik. Hal ini sebagai upaya meredam kritikan dari masyarakat.

"Katanya, harusnya DPR memberikan kebebasan kepada masyarakat tapi ini malah sebaliknya. Pemerintah dan DPR mempunyai kepentingan terhadap UU ITE, konstelasi seperti ini yang merugikan masyarakat sipil," pungkasnya. (Gresnews.com/Nda Waluyo/dtc)

BACA JUGA: