JAKARTA, GRESNEWS.COM - Senin (14/3) besok, Komisi I DPR dijadwalkan akan mengadakan rapat kerja tentang penyampaian keterangan Presiden dan pandangan umum fraksi-fraksi terkait Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Cakupan materi RUU Perubahan UU ITE yang saat ini disampaikan oleh pemerintah dan DPR dalam pandangan Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) masih belum menyentuh berbagai persoalan-persoalan penting mestinya diatur dalam RUU tersebut

Peneliti Senior, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, SIKA mencatat, khusus untuk ketentuan penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, pemerintah hanya mengubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi 4 tahun dalam drah perubahan UU ITE. "Perubahan ancaman pidana ini tidak substansial karena sama sekali tidak menyentuh persoalan pada problematika elemen-elemen tindak pidana yang dirumuskan secara kabur, samar, dan tidak pasti," katanya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (13/3).

Selain itu, kata dia, draf revisi UU ITE yang disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sama sekali tidak mencerminkan upaya harmonisasi dengan Rancangan KUHP yang juga disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM. "SIKA mendesak agar seluruh ketentuan pidana yang diatur dalam RUU Perubahan UU ITE harus diharmonisasi dengan pengaturan dalam Rancangan KUHP, bagi pasal-pasal yang bentuknya duplikasi maka harus segera diintegrasikan dalam pasal-pasal yang ada dalam RKUHP," tegas Anggara.

SIKA yang terdiri dari beberapa lembaga seperti ICJR, LBH Pers, Yayasan Satu Dunia, Elsam dan AJI itu, juga menyesalkan upaya pemerintah dengan meniadakan mekanisme izin dari Ketua Pengadilan dalam kaitannya untuk upaya penegak hukum untuk melakukan penahanan dalam RUU Perubahan UU ITE. Padahal izin dari Pengadilan ini sejalan dengan kewajiban-kewajiban internasional Indonesia yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Ketentuan yang terdapat dalam Kovenan Hak Sipil atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menurut Anggara, harus menjadi pertimbangan dan dasar utama pengaturan penangkapan dan penahanan dalam RUU Perubahan UU ITE sebab Indonesia merupakan negara pihak dalam ICCPR. "Agar pembahasan RUU Perubahan UU ITE lebih mencerminkan proteksi terhadap hak asasi manusia, SIKA mendesak agar Komisi I DPR RI dan pemerintah untuk membahasnya secara terbuka baik dalam rapat dengan pendapat ataupun rapat-rapat lain yang diselenggarakan oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah," ujarnya.

Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komaruddin mengatakan, pelibatan publik dari awal seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat. "Pelibatan itu tidak terbatas kepada informasi agenda, namun juga rapat yang terbuka," ujarnya.

Komisi I DPR RI harus secara konsisten menginformasikan secara terbuka dan tepat waktu hasil rapat-rapat Panja R KUHP. "Termasuk secara cepat dan akurat hasil-hasil kesepakatan rapat antara Komisi I dan pemerintah," tegas Asep.

Karena itu SIKA menuntut agar seluruh rapat-rapat pembahasan RUU Perubahan UU ITE terbuka untuk umum dan dapat diliput oleh media, jurnalis dan masyarakat secara konsisten. Komisi I DPR RI juga diharapkan untuk mengurangi rapat pembahasan di hotel-hotel secara tertutup. "Lebih lebih di waktu malam hari, karena potensi akses publik akan terbatas pada waktu tersebut," tegas Asep.

Sebelumnya, pihak SIKA memang sudah menggelar rapat dengar pendapat dengan Komisi I terkait revisi UU ITE ini. Terkait hal itu, SIKA mencatat dalam UU ITE memang ada sejumlah aturan yang riskan disalahgunakan dimana opini disebut penghinaan. ""Pasal 27 Ayat (3) tak semua yang menghina dianggap pidana. Putusan pengadilan tak pernah meneliti konteks. Beberapa kasus katakanlah ada orang memberikan informasi dianggap menghina," ungkap Ketua Pusat Bantuan Hukum Peradi Rivai Kusumanegara beberapa waktu lalu.

Rivai memandang perlunya revisi UU ITE. Terutama dalam konteks penghinaan yang sampai sejauh ini belum jelas batasannya. Menurut Rivai, opini terhadap kebijakan berbeda dengan penghinaan. Seseorang bisa saja menilai satu hal negatif berdasarkan opini pribadi, tetapi bukan berarti itu merupakan pencemaran nama baik.

"Kalau menurut saya direvisi saja dengan mengacu pada Pasal 311. Jadi UU ITE diarahkan pada pemfitnahan. Seseorang dikatakan memfitnah apabila menginformasikan berita yang salah, sementara dia tahu itu salah," ungkap Rivai. Dia mengusulkan agar UU ITE dialihkan ke ranah perdata saja. Sehingga jika ada penghinaan atau pencemaran, maka diselesaikan secara perdata.

Seementara itu, Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Eddyono juga mempersoalkan pembuktian pelanggaran UU ITE hanya berdasarkan tangkapan layar atau screenshot dari media sosial. Ini menunjukkan proses forensik digital di Indonesia masih minim.  

"Padahal sekarang ini pengeditan gambar sudah gampang. Ada teknologi photoshop dan lain sebagainya sehingga perlu digital forensik yang lebih mendalam. Bisa saja ketika ditunjukan screenshot suatu percakapan, kemudian dibantah oleh pihak teradu," ujar Supriyadi.

Supriyadi menambahkan soal ada kasus yang ketika di pengadilan tingkat pertama dinyatakan bersalah, tetapi pada tingkat kasasi dianulir. "Karena itu perlu pertimbangan lebih lanjut mengenai UU ITE," ujarnya.

KORBAN-KORBAN UU ITE - Pasal 27 Ayat (3) memang seperti menjadi momok bagi masyarakat sipil dalam mengedepankan sikap kritisnya karena rentan dipidanakan. Sejak diundangkannya pasal tersebut memang sudah memakan banyak korban. Korban pertama adalah Prita Mulyasari yang dilaporkan ke polisi oleh pihak rumah sakit hanya karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut.

Oleh polisi kasus ini diproses dan oleh jaksa Prita dituntut hukuman penjara selama 6 bulan. Pada 29 Desember 2009, majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari. Alasan utama membebaskan Prita karena unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti.

Sayangnya ketika pihak jaksa mengajukan kasasi pihak MA justru mengabulkan kasasi jaksa. Prita dinyatakan bersalah dan divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Prita kemudian mengajukan Peninjauan Kembali dan dinyatakan tak bersalah sehingga dibebaskan.

UU ITE juga menjerat percakapan yang bersifat pribadi dan privat seperti dalam kasus Wisni Yetty. Dia dipidanakan oleh suaminya hanya karena melakukan komunikasi dengan teman masa kecilnya Nugraha pada tahun 2011 lalu melalui situs jejaring sosial facebook. Wisni ketika itu ada di Bandung, sementara temannya Nugraha di Padang, Sumatera Barat. Celakanya penegak hukum mengabulkan laporan suami Wisni dan kasus itu diproses hingga pengadilan. PN Bandung pada 31 Maret 2015 menghukum Wisni 5 bulan penjara. Oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Wisni dibebaskan karena bukti print out chatting diragukan validitasnya.

Kemudian UU ITE juga dipakai untuk menjerat keluhan umum yang juga sifatnya pribadi. Hal ini dialami Florence Saulina Sihombing, nahasiswa S2 di Yogyakarta itu menuliskan kata negatif dalam akun Path-nya karena kesal dengan antrean beli bensin. Florence nyaris ditahan polisi dan akhirnya diadili.

Pada 31 Maret 2015, PN Yogyakarta menyatakan Florence tidak perlu dihukum 2 bulan penjara asalkan tidak berbuat kejahatan selama 6 bulan ke depan. Selain itu, Florence juga harus membayar denda Rp10 juta. Pada 28 Juli 2015, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta memperbaiki putusan PN Yogyakarta sekadar menghapus pidana dendanya.

Yang paling "mengerikan" UU ITE bahkan bisa dipakai menjerat pihak yang berupaya melakukan pengawasan sesuai tugas dan fungsinya seperti yang dialami Rudy Setyopurnomo. Mantan Komisaris Utama Merpati bertugas melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap jalannya perusahaan. Rudy menerima pesan email dari seseorang tentang adanya penyimpangan di perusahannya yang dilakukan bawahannya.

Email itu lalu diteruskannya kepada jajaran direksi Merpati untuk melakukan verifikasi dan audit. Ternyata belakangan Rudy dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Mei 2012 karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik karena meneruskan email di atas.

Rudy dikenakan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada 13 November 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memutus bebas Rudy. Tetapi di tingkat kasasi, MA menjatuhkan hukuman percobaan kepada Rudy.  Rudy tidak dipidana asalkan selama 2 tahun ke depan tidak melakukan tindak pidana.

Tapi jika dalam dua tahun tersebut melakukan pidana, maka Rudy harus menghuni penjara selama 1 tahun ditambah dengan hukuman pidana baru tersebut. Duduk sebagai ketua majelis hakim agung Dr Salman Luthan dengan anggota Sumardjiatmo dan Margono.

Terkait kasus-kasus ini, penegak hukum pun tak pernah memberikan solusi yang pasti soal sifat lentur pasal yang bisa menjerat nyaris apapun ucapan melalui media elektronik itu. Terkait kasus dugaan penyebaran gambar yang memuat pornografi yang dilakukan pegiat kemaritiman Yulianus Paonangan misalnya, Wadir Eksus Bareskrim Polri Kombes Agung Setya hanya meminta agar para pengguna media sosial agar bijak ketika menggunakan akunnya. "Diimbau kepada kita semua agar menggunakan media sosial secara sehat," kata Agung, Jumat (11/3) lalu.

SIKAP DPR MASIH MEMPRIHATINKAN - Selain sikap aparat yang cenderung tidak kritis dalam menanggapi laporan terkait pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, sikap Komisi I pun dinilai masih memprihatinkan. Dalam rapat dengar pendapat dengan SIKA beberapa waktu lalu misalnya, alih-alih mendengarkan masukan dari elemen masyarakat sipil terkait UU ITE, para anggota Komisi I malah berlomba mengutarakan "kesetujuannya" dengan berlakunya pasal karet itu.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon misalnya, menyatakan tak setuju pasal pencemaran nama baik dihapus dari Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE). Dia membantah bahwa Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah pasal karet.

Menurut Effendi tindakan pencemaran nama baik di dunia maya sudah lebih jahat dari teroris. Bahkan bukan tidak mungkin bisa dikategorikan sebagai ordinary crime. "Lebih jahat dari teroris. Dia bisa kerjakan, dampaknya sepanjang masa masa kenapa tidak ordinary crime," kata Effendi Simbolon.

Ancaman hukuman bagi pelaku pencemaran nama baik di dunia maya bukan bermaksud melarang interaksi di media sosial dan lain sebagainya, melainkan lebih untuk mengatur. Effendi kemudian mencontohkan adanya hukuman ringan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa pencemaran nama baik. "Bukan kepada pelanggaran kejahatan di dunia virtual itu yang diminimalisir. Hakimnya dibenahi juga fitnah 3-4 bulan kenapa gak tepok pantat sepuluh kali?" katanya.

Soal pencemaran nama baik atau penghinaan, kata Effendi, menyangkut harga diri. Sehingga dia pun mengusulkan agar hukuman bagi masyarakat yang melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE itu harus diperberat. "Ketika harga diri dikoyak-koyak di dunia maya tidak ada konsekuensinya. Nggak bisa!" tegasnya.

"Selama ini ITE itu efektif. Kalau ada yang kena itu efek. Kalau ada edukasi dari pemerintah, siapa bilang itu pasal karet? Malah dibuat ancaman hukumannya lebih berat 15 tahun," katanya.

Effendi menegaskan perlunya aturan soal pencemaran nama baik di dunia maya. "Coba lihat di seluruh dunia ancaman UU ITE minimal 6 tahun, Pak. Bapak tidak menikmati nikmatnya dibully di media tidak bisa dihapus. Kejahatannya luar biasa lebih daripada teroris," ujar politikus PDIP itu.

Menurut Effendi, kebebasan berpendapat di internet juga harus dibatasi. Tak boleh ada kebebasan yang menginjak-nginjak kebebasan orang lain. "Teroris ada orangnya, ini enggak ada orangnya, Pak. Kebebasan hak tidak serta merta tidak ada punishment," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: