JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polri membuat aturan baru, mulai Mei 2016 mendatang, Surat Izin Mengemudi (SIM) C akan dibedakan menjadi tiga kategori berdasarkan besarnya silinder motor. Pro dan kontra pun bermunculan mengingat selama ini proses pembuatan SIM masih jauh dari kata bebas korupsi dan calo.

Nantinya SIM C akan terdiri dari tiga jenis. Berikut adalah tiga golongan SIM C tersebut: SIM C: untuk sepeda motor berkapasitas mesin kurang dari 250 CC, SIM C1: untuk sepeda motor berkapasitas 250-500 CC SIM. C2: untuk sepeda motor berkapasitas mesin 500 CC ke atas. "Jadi untuk SIM C tidak bisa digunakan untuk semua motor mulai Mei 2016," ujar Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Risyapudin Nursin, Minggu (9/1).

Kadiv Humas Polri Irjen Anton Charliyan menjelaskan pemberian izin SIM mengikuti besaran kapasitas motor. "Ini untuk mengurangi tingkat kecelakaan juga. Karena kan tipe-tipe motor kan ada kecil, sedang dan besar," urai Anton Charliyan, Senin (11/1).

Untuk berapa biaya yang dibebankan, Anton belum bisa merinci. Polri akan berkonsultasi lebih dahulu dengan pihak Kemenkeu. "Kalau biaya saya belum paham, karena nanti akan diputusin, kemudian oleh tim tertentu dikaji apakah sudah cukup atau tidak, dan nanti juga akan konsultasi sengan Dirjen Pajak," urai dia.

Lalu bagaimana dengan penilaian masyarakat yang melihatnya sebagai hal yang merepotkan? "Biasalah ada pro dan kontra, nanti kita lihat apakah ini lebih efektif. Kan belum juga, baru mau akan, nanti kita kaji bagaimana pelaksanaannya," tutup dia.

Komisi III DPR menyambut baik kebijakan ini bila memang untuk menertibkan lalu lintas. "Kalau goal-nya adalah untuk menertibkan sepeda motor dan menekan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin tinggi, ini sebuah langkah yang harus didukung," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap, Senin (11/1).

Politisi PAN ini menilai permasalahan lalu lintas meliputi kecelakaan hingga kemacetan di kota besar perlu penyelesaian. Bila memang kebijakan ini bisa menjadi solusi, maka semua elemen masyarakat hingga pemerintahan juga perlu mendukungnya.

"Namun akan lebih bagus bila dilakukan dengan kajian sebelum kebijakan ini dieksekusi," kata Mulfachri memberi saran.

Kajian soal pengaruh kebijakan ini terhadap tingkat kemacetan perlu didalami. Kebijakan penggolongan SIM untuk sepeda motor menjadi tiga golongan ini juga bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki basis data polri terhadap kepemilikan sepeda motor.

"Sekarang kan kita tidak tahu berapa jumlah motor di Republik ini, karena kita tidak punya data valid. Kadangkala bila kendaraan itu digunakan untuk kejahatan, kita kesulitan melacak. Ini kesempatan bagi Polri untuk memperbaiki basis datanya. Saya menyambut baik gagasan itu," tutur Mulfachri.

Artinya, kebijakan penggolongan SIM ini perlu diterapkan dengan persiapan yang memadahi, dari kajian yang memadai hingga basis data yang kuat. "Seringkali kebijakan seperti itu tidak dilakukan dengan persiapan memadai, sehingga implementasinya tidak berjalan dengan baik," ujarnya.

TAK LEGAL DAN SARAT KEPENTINGAN - Korlantas Polri mengeluarkan aturan baru mengenai SIM C, yang salah satunya adalah mengklasifikasikan SIM C jadi 3 golongan sesuai CC kendarannya. Namun, penggolongan SIM C ini belum memenuhi aspek legalitas.

"Peraturan baru itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebab soal SIM ini sudah diatur dalam UU LLAJ," kata Ketua Presidium IPW Netta S Pane, Minggu (10/1).

Menurut Netta, aturan baru tersebut dikhawatirkan menimbulkan prokontra. Semestinya, Polri merevisi UU LLAJ terlebih dahulu sebelum mengeluarkan aturan tersebut.

"Jadi peraturan itu akan menjadi masalah baru. Jika memang hendak membuat aturan seharusnya Polri segera merevisi UU LLAJ," ujarnya.

Di samping itu, Netta juga menyoroti proses pengurusan SIM yang belum bersih dari praktik percaloan. "Selama ini pengurusan SIM sendiri masih rawan percaloan. Jika penggolongan dilakukan dipastikan objek percaloan oleh oknum polisi makin marak," ungkapnya.

Netta melanjutkan, yang lebih penting sekarang bukan membuat penggolongan SIM C. Ia mendorong Polri lebih baik untuk memberlakukan SIM dengan masa berlaku seumur hidup.

"Yang urgent yang harus dilakukan Polri sekarang ini adalah masa berlaku SIM harus seumur hidup seperti e-KTP. Di banyak negara SIM sudah seumur hidup sehingga percaloan dalam perpanjangan SIM bisa dihilangkan," imbuhnya.

Namun, ia menambahkan, penerapan SIM seumur hidup ini harus dibarengi dengan ketatnya seleksi untuk mendapatkan SIM. Di samping itu, Polri juga seharusnya membuat sanksi lebih ketat misalnya dengan mencabut SIM si pengemudi yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran lalu lintas.

"Dan pemegang SIM yang melakukan pelanggaran harus dikenakan hukuman berat, misalnya menabrak, SIM-nya harus dicabut dan tidak boleh memegang SIM selama sekian tahun, apalagi jika orang ygang ditabrak tewas, SIM-nya harus dicabut selama 20 tahun misalnya," paparnya.

"Jika ini berjalan efektif baru dilakukan penggolongan SIM tadi dengan aturan di dalam UU dan bukan aturan Korlantas," lanjutnya.

Ia juga menyarankan agar STNK dan BPKB juga berlaku seumur hidup. "Tidak seperti sekarang, setiap mobil yang sama diperjualbelikan BPKB-nya harus ganti baru. Sehingga semua urusan di lalu lintas menjadi biaya tinggi. Sementara proyek pengadaan SIM, STNK dan BPKB serta TNKB sangat rawan menjadi rebutan mafia proyek. Jika SIM, STNK, BPKB dan TNKB seumur hidup tentu akan efisein, tidak membebani masyarakat dan tidak menjadi rebutan mafia proyek pengadaan," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: