JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kinerja Polri sepanjang 2015 dinilai belum memuaskan bahkan cenderung mengalami kemerosotan. Sejumlah kasus yang ditangani Korps Bhayangkara justru kerap memicu kontroversi dan mengindikasikan lembaga ini masih terseret kepentingan politik.

Penanganan Kasus yang dinilai mengundang kontroversi, adalah penanganan kasus sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kasus yang menyeret aktivis anti Korupsi. Hingga kasus tergesernya Komjen Budi Waseso dari Kabareskrim. Kasus -kasus ini menunjukkan Kopolisian masih rentan dari tangan kekuasaan.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, selama 2015 tiga kali Presiden Jokowi telah meminta Kapolri Jendral Badrodin Haiti untuk membenahi Polri. Pertama saat memanasnya hubungan Polri dengan KPK, kedua saat Ulang Tahun Polri dan ketiga saat hari HAM sedunia.

"Kok sampai tiga kali Presiden bilang benahi Polri, berarti ada hal mendasar (reformasi Polri) yang belum tersentuh," kata Bambang kepada gresnews.com, Minggu (3/1).

Dari sejumlah penelitian, disimpulkan sampai saat ini Polri masih belum kuat mandiri, independen, profesional sebagai alat negara di bidang hukum. Pembenahan Polri sejauh ini hanya dengan mutasi dan promosi, sementara hal penting yakni membenahi organisasi belum optimal dilakukan.

Sementara Kepolisian justru mengklaim dalam setahun terakhir pembenahan dan reformasi di Kepolisian berjalan baik. Dalam Refleksi Akhir Tahun Kinerja Polri, Kepala Kepolisian RI Jendral Badrodin Haiti mengklaim sejumlah prestasi. Salah satunya perolehan nilai akuntabilitas kinerja sebesar 68,04 atau kategori B, sehingga menduduki peringkat ke 36 dari 86 Kementerian. Masih lebih baik dari Kejaksaan Agung yang mendapat nilai C, namun kalah dari KPK dengan nilai A.

"Dari evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi tahun 2015, Polri berada pada peringkat 10 dari 19 Kementerian. Ihwal tersebut, menunjukan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi di tubuh Polri dinilainya telah berjalan dengan baik," kata Badrodin.

TERDEGRADASI - Namun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Polri setahun pemerintahan berjalan tidak menunjukkan peningkatan kinerja. Justru malah menurun. Kasus yang ditangani banyak yang dipaksakan.

Haris menilai reformasi Polri jauh panggang daripada api. Sejumlah agenda untuk mendorong fungsi Kepolisian yang efektif, akuntabel dan transparan, mendorong perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tak kunjung terealisasi. Bahkan  komitmen Polri untuk mendorong perlindungan kelompok rentan di isu sumber daya alam dan jaminan perlindungan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan belum terlihat.

"Reformasi Polri menjadi ke titik nol ketika semua modalitas dukungan publik untuk menghadirkan aparat polisi yang profesional dan transparan tidak kunjung bisa dibuktikan," ujar Haris dalam catatan akhir tahunnya.

Haris menjelaskan, hal itu terjadi lantaran proses pemilihan Kapolri tahun ini yang begitu panjang, melupakan fit and proper test termasuk mekanisme vetting atau pemeriksaan. Dimana Vetting tidak berhasil membawa kultur regenerasi dengan kemampuan dan kapasitas yang bersih dan tidak terjerat skandal hukum.

"Kontras memandang bahwa politik kartel yang diam-diam menjamur di dalam tubuh Polri tidak bisa dihentikan hanya bersandar pada agenda suksesi Trunojoyo Satu," kata Haris.

Namun kultur regenerasi melalui mekanisme vetting harus menjadi bagian dari standar akuntabilitas yang dikawal oleh komisi independen negara seperti Kompolnas, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan sebagainya.

Widodo Umar juga melihat pengawasan Kepolisian, khususnya dari luar belum begitu kuat. Keberadaan Kompolnas yang dibentuk untuk mengawasi kerja Kepolisian seperti macan ompong. Perannya belum terlihat termasuk dari DPR.

POLISI SIPIL - Agenda penting sebagai amanat reformasi untuk Kepolisian adalah mensipilkan polisi. Hingga saat ini upaya mensipilkan polisi jauh panggang dari api. Gaya polisi cenderung bergaya militer.

Widodo Umar menyebut mensipilkan polisi salah satu agenda penting Kepolisian. Untuk mendorong perubahan mental polisi itu harus dilakukan secara menyeluruh bukan sepotong-potong. Mutasi dan promosi satu unsur untuk membenahi organisasi. Seleksi terhadap pimpinan Polisi harus dilakukan akuntabel bukan like and dislike.

Membenahi Polri, menurut Widodo Umar, perlu melibatkan ahli. Meminta pandangan mereka  untuk menjadikan polisi yang profesional. Bagaimana pengawasan yang kurang dibenahi dan dukungan anggaran perlu dijadikan kajian. Sebab di daerah terpencil, operasional polisi sangat besar.

"Manfaatkan ahli untuk mereformasi polisi, jangan sepotong-potong, harus dilakukan bertahap," kata Widodo Umar.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendekati kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok adat. Menggandeng masyarakat berpartisipasi menciptakan situasi Kamtibmas. Widodo Umar menyebut ini dengan sebutan pendekatakan community policing. Seperti menggandeng Pecalang di Bali.

"Itu yang harus juga didorong," kata mantan anggota Kompolnas ini. Di samping cita-cita satu polisi satu desa yang baru 73 persen terealisasi bisa terus dilakukan.

Untuk menjawab harapan terjadinya perubahan besar, pada akhir tahun 2015 Mabes Polri telah melakukan mutasi besar-besaran. Ada 282 perwira yang dimutasi, 6 di antaranya Kapolda dan tujuh Wakapolda.

Kapolda yang diganti adalah Kapolda Kepri, Jambi, Lampung, Sumbar, Maluku, dan Jambi. Sedangkan wakapolda yang dimutasi adalah Sumut, Sulsel, Jatim, Kalteng, Kepri, Banten, dan Kalsel. Mutasi ini sesuai dengan TR Kapolri Nomor ST/2719/XII/2015 tertanggal 31 Desember 2015.

"Dengan adanya komposisi baru ini diharapkan Polri akan lebih cepat lagi melakukan perubahan dan revolusi mental," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam keterangannya.

Bukan hal lain karena makin mendekati masa berakhirnya kepemimpinan Kapolri Jendral Badrodin Haiti yang akan masuki masa pensiun. Saat ini perebutan posisi Trunojoyo Satu makin memanas. Ada sejumlah nama yang muncul, selain nama Wakapolri Komjen Budi Gunawan, ada nama Irjen Tito Karnavian dan Komjen Budi Waseso yang saat menjadi Kepala BNN.
 
 
 
 
 

BACA JUGA: