JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengenai penggeledahan dan juga pemeriksaan di lingkungan Polri harus mendapat izin Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengundang polemik. Sejumlah aktivis menolak adanya wacana tersebut karena tidak ada aturan hukum yang mengatur mengenai aturan itu.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mempertanyakan motivasi dikeluarkannya surat edaran ini. Sebab surat edaran tersebut dianggap bukan hanya untuk institusi kepolisian, tetapi juga unsur penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan juga Kejaksaan Agung.

"Nah ini jadi menarik karena kita akhirnya bertanya apa motivasi untuk mengeluarkan telegram seperti ini? Karena sebetulnya perihal atau tata cara pemanggilan baik sebagai saksi maupun tersangka melakukan penyitaan sudah diatur dengan cukup dalam KUHAP," kata Lalola saat konferensi pers di kantornya, kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (19/12).

Menurut Lalola, dalam hukum acara penggeledahan dan penyitaan yang tertera dalam Pasal 33 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (1) KUHAP hanya membutuhkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) setempat. Dan ini karena berkaitan dengan upaya hukum, dalam tanda kutip diluar penegak hukum, jadi kalo misalkan penyelidikannya dari kepolisian sangat logis kalau kemudian izin untuk melakukan penyitaan penggeledahan itu kemudian dimintakan pada ketua PN setempat, begitu juga dengan KPK atau kejaksaan misalnya," terang Lalola.

Kemudian yang kedua mengenai izin pemanggilan yang juga sudah jelas diatur dalam Pasal 112 KUHAP. "Disitu hanya disebutkan bahwa selama sudah ada surat panggilan yang sah dan juga dalam jangka waktu yang wajar, itu bisa dilakukan pemanggilan terhadap siapapun. Termasuk antara lain anggota polri," pungkas Lalola.

Ia beranggapan surat edaran ini cukup aneh karena selain bertentangan dengan KUHAP, juga terkesan dianggap ancaman bagi institusi kepolisian jika penegak hukum lain melakukan penggeledahan, penyitaan ataupun pemanggilan di lingkungan kepolisian. Menurut Lalola, jika memang seperti itu anggapan kepolisian sangat disayangkan.

Alasannya, proses pemanggilan terhadap seseorang jangan dilihat dari lembaga mana dia berasal, tetapi dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam suatu tindak pidana tertentu. Begitupula dalam hal penggeledahaan dan juga penyitaan yang merupakan salah satu unsur dalam penegakan hukum.

"Sehingga setiap proses hukum yang dialami oleh anggotanya kemudian harus seolah-olah ditujukan terhadap lembaga kepolisian RI. Nah pola pikir seperti ini yang harusnya kita luruskan, dan sebaiknya juga diklarifikasi oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Kapolri sendiri, meskipun ini disebut suratnya dari Kapolri tapi ternyata yang tandatangani Kadiv Propam Polri," ujar Lalola.

KPK TAK TERIKAT - Selain ICW, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) melalui salah satu penelitinya Miko Ginting juga menolak adanya surat edaran itu. Alasannya selain melanggar KUHAP, surat edaran tersebut juga melanggar kewenangan institusi lain dalam hal ini KPK.

Menurut Miko, dalam melaksanakan tugasnya KPK berpedoman pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mempunyai unsur lex specialis. Salah satunya terkait penggeledahan yang tidak memerlukan izin ketua pengadilan setempat.

"Bahkan dalam UU KPK, penyitaan oleh KPK dikecualikan dari ketentuan KUHAP. KPK dalam melaksanakan tugas penyidikannya dapat melakukan penyitaan tanpa memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri," kata Miko dalam siara persnya yang diterima gresnews.com

Selain itu, surat edaran ini juga berpeluang melanggar Pasal 21 UU Tipikor karena dianggap menghalangi proses penyidkan. "Arahan ini dalam konteks tindak pidana korupsi juga berpeluang dijadikan alas bagi tindakan menghalang-halangi penyidikan (obstruction of justice). Hal yang mana sudah diatur sebagai tindak pidana dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tuturnya.

Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan jika pihaknya dalam melaksanakan tugas baik dalam penggeledahan, penyitaan ataupun pemanggilan saksi sesuai dengan KUHAP. Selain itu dalam proses penegakan hukum lembaga antirasuah ini juga mempunyai keistimewaan melalui UU KPK dan UU Nomor 31/99 yang telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Untuk itu ia beranggapan jika surat tersebut tidak terikat untuk lembaganya. "Surat tersebut menurut kami berlakunya ke dalam institusi Polri," kata Febri saat dikonfirmasi gresnews.com.

Meskipun begitu, Febri mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan penegak hukum lain termasuk kepolisian dalam melaksanan tugas dan kewajibannya. "Dalam hubungan dengan Polri dan Kejaksaan tentu saja yang dilakukan koordinasi dan supervisi," jelasnya.

BACA JUGA: