JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penetapan status tersangka terhadap salah satu Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrahman Syahuri atas kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap salah satu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Sarpin Rizaldi membuat para komisioner lembaga pengawas hakim itu merapatkan barisan untuk menjaga kehormatan lembaganya. Hal itu terlihat pada langkah komisioner KY yang telah mengajukan judicial review atau gugatan uji materi UU Komisi Yudisial (KY) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Uniknya adalah, para komisioner KY itu tidak hanya menguji materi payung hukum lembaganya saja, akan tetapi mereka juga melakukan uji materi atas UU Mahkamah Agung. Pangkal soalnya jelas, Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki dijadikan tersangka kasus pencemaran nama baik atas lapoan Sarpin Rizaldi.

Sarpin sebelumnya direkomendasikan KY ke MA untuk diberi sanksi non palu alias tak boleh memimpin sidang selama enam bulan karena dinilai melanggar etika profesionalitas hakim dalam memutus perkara gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan.

Ketika itu, Budi yang merupakan calon Kepala Kepolisian RI yang sudah disetujui DPR ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sarpin memutus penetapan status tersangka itu tidak sah. Keputusan Sarpin ini dinilai melawan KUHAP karena penetapan tersangka bukan objek praperadilan. Atas dasar itu Sarpin dilaporkan ke KY dan rekomendasi sanksi pun jatuh. Merasa dipermalukan, Sarpin melaporkan Taufiq dan Suparman ke polisi dan keduanya dijadikan tersangka.

UU MA turut digugat komisioner KY lantaran MA tak menjalankan rekomendasi yang diberikan KY. Kuasa hukum pihak KY Andi M. Asrun mengatakan, dalam uji materi yang dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pihaknya hanya mempersoalkan sejumlah pasal yang dianggap berpotensi tidak memiliki asas keadilan, kesamaan atau kesetaraan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta tidak memiliki kepastian hukum bagi pejabat negara.

Alasannya, tidak diaturnya impunitas terhadap pejabat negara, telah memudahkan kepolisian memanggil serta melakukan pemeriksaan terhadap seorang pejabat negara. Menurut Andi, tidak adanya kepastian hukum dan diskriminasi dalam ketentuan dalam proses seorang pejabat negara, khususnya komisioner KY, berdampak pada kinerja KY dalam menjalankan tugas-tugasnya yang telah diatur oleh undang-undang.

"Ini sebenarnya menggangu kerja-kerja komisioner, persoalan hal remeh temeh bisa membuat komisioner dipanggil terus. Harusnya ada peraturan yang melindungi ranah pejabat negara," kata Andi M.Asrun kepada gresnews.com melalui sambungan telepon seluler, Kamis (29/10). Karena itulah para komisioner KY menggugat Pasal 10 Ayat (1) UU KY dan Pasal 17 Ayat (1) UU MA.

Pasal 10 Ayat (1) UU KY menyatakan: Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

Pasal 17 Ayat (1) UU MA menyatakan,

Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden,  kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau;
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

Kedua pasal itu menurut Asrun mencederai hak konstitusional para pemohon. Ia menambahkan, impunitas bagi pejabat publik sangat diperlukan untuk menghindari hal-hal yang remeh-temeh yang kemudian berakhir pada penetapan sebagai tersangka. "Kan Pak Taufiq begitu kasusnya," imbuhnya.

UPAYA ISLAH KY-MA - Ketika ditanya mengapa komisioner KY juga meminta impunitas itu diberikan untuk hakim agung, Andi menegaskan, hal itu dilakukan karena Komisi Yudisial (KY) memiliki tugas untuk menjaga keluhuran dan harkat martabat seorang hakim. Ia berharap uji materi yang baru saja diajukan ke MK ini, dapat diterima oleh hakim MK. "Jadi ini juga bisa melindungi hakim agung, karena hakim agung berada pada posisi paling tinggi," tegasnya.

Disinggung, apakah uji materi ini berkaitan dengan upaya islah antara lembaga pengawas hakim dengan lembaga tertinggi hakim di Indonesia yang belakangan kerap terjadi, Andi pun menepis sangkaan itu. Menurutnya, uji materi yang dilakukan oleh pihaknya tidak ada motif atau kaitannya dengan konflik antar lembaga negara.

Lagi pula, lanjut Andi, pengajuan uji materi yang dilakukan komisioner KY ini tidak akan menghilangkan status tersangka yang sudah disandang komisioner KY atas kasus dugaan pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldi yang saat ini tengah ditangani kepolisian.

"Tidak, ini tidak ada kaitannya dengan konflik KY dan MA, kami hanya menginginkan impunitas untuk dua-duanya, dan ini berlaku untuk kemudian hari atau ke depan," tegasnya.

Dia menegaskan, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal-pasal yang didugat itu dinilai bertentangan dengan UU 12/2011 karena materi pasal tersebut tidak mengandung asas keadilan, persamaan hukum dan pemerintahan, ketertiban, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) UU 12/2011.

Asrun menjelaskan, Pasal 10 Ayat (1) UU KY dan Pasal 17 Ayat (1) UU MA telah membuat repot Hakim Agung maupun Komisioner KY. Sebab, jika terdapat masalah hukum terhadap Hakim Agung atau Komisoner KY, maka Kepolisian memanggil pihak yang bersangkutan untuk diperiksa. Menurut Asrun, hal tersebut telah dialami Pemohon dan dianggap sebagai hal yang merepotkan.

"Persoalannya bahwa panggil memanggil ini kadang-kadang membuat repot Hakim Agung atau pun Komisi Yudisial. Jadi ada tugas yang ditinggalkan padahal tugas yang penting. Kadang-kadang satu perkara yang katakanlah perkara kecil pun, apabila sudah ada laporan polisi, maka itu harus ditindaklanjuti," papar Asrun.

Asrun melanjutkan, kejadian yang dialami oleh Pemohon bisa saja terjadi pada Hakim Konstitusi. Menurutnya, dalam rangka menjaga martabat dan wibawa Hakim Agung maupun KY, maka dalam pemeriksaan permasalahan hukum harus terlebih dahulu ada izin dari Presiden.

Untuk itu, dalam petitumnya Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 10 Ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepajang tidak dimaknai: "Ketua, Wakil ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden.”

Demikian juga dengan Pasal 17 Ayat (1) UU MA, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan persetujuan Presiden".

GUGATAN SERUPA PERNAH DIBATALKAN - Menyikapi gugatan uji materi yang dilakukan oleh komisioner KY, mantan Wakil Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, gugatan yang dilakukan oleh komisioner KY tersebut sebelumnya pernah dibatalkan oleh MK. Hanya saja, Sodiki mengaku tidak ingat secara persis kapan dan siapa yang mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap pejabat negara itu harus seizin Presiden RI.

"Dulu gugatan itu sudah pernah kami tolak sebelumnya di MK," kata Achmad Sodiki kepada gresnews.com usai menghadiri diskusi Menyikapi Putusan MK atas Wajib Belajar 12 Tahun di Kemendikbud, Jakarta Selatan, Kamis (29/10).

Namun, ia tampak mengkritisi putusan MK setelah periodenya yang telah memutuskan agar pemeriksaan anggota DPR RI harus dengan seizin Presiden. Menurut Sodiki, sebelumnya memang pernah ada peraturan yang mengatur pemeriksaan pejabat negara harus dengan seizin Presiden. Dalam peraturan itu, telah dinyatakan dalam tempo 60 hari kalau izin tidak dikeluarkan, maka jaksa boleh memeriksa yang bersangkutan.

"Lah praktiknya walaupun lebih dari 60 hari, jaksa-jaksa itu tetap tidak berani memeriksa pejabat negara itu. Nah, akhirnya berdasarkan asas persamaan dimuka hukum dalam hal ini peraturan itu kita batalkan. Kok kemudian ada undang-undang lagi yang menyatakan begitu, sebenarnya siapa yang ingin dilindungi. Sementara, ketika para pejabat meminta izin itu, mereka memiliki kesempatan untuk menghilangkan barang bukti dan sebagainya," ucap mantan Wakil Ketua MK itu memaparkan.

Ketika disinggung dengan uji materi yang dilakukan oleh komisioner KY itu bertujuan untuk meminimalisir konflik antar lembaga negara dan mencegah kekisruhan politik, Achmad Sodiki pun menegaskan, itu semua tidak berhubungan dengan konflik antar lembaga negara. Ia menambahkan, Presiden RI sudah memiliki banyak beban dalam menjalankan tuganya sebagai kepala negara.

Karena itu, kata dia, jika permohonan uji materi seperti itu dikabulkan oleh MK, proses permintaan izin kepada Presiden akan sangat menambah beban politik seorang pemimpin negara. "Masa Presiden harus mengurusi izin yang seperti itu sih. Dan itu kan sebenarnya ranah pengadilan bukan ranah Presiden," tegasnya.

Selain itu, menurutnya, proses permintaan izin kepada Presiden adalah sebuah proses birokrasi yang bertele-tele. Hal itu dianggap mengganggu jalannya proses sebuah perkara yang tengah diselidiki oleh aparat penegak hukum.

Achmad Sodiki berharap, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memangkas birokrasi yang dianggap bertele-tele tersebut atas dasar persamaan atau kesetaraan dimata hukum. "Jadi kalau memang para pejabat negara memiliki persoalan hukum, ya sudah diproses saja. Nggak perlu harus menunggu izin Presiden, karena kesetaraan dimata hukum itu," kata guru besar Universitas Brawijaya itu menegaskan.

KISRUH HAKIM DAN PENGAWAS HAKIM – Diketahui sebelumnya, uji materi yang dilakukan komisioner KY dengan meminta impunitas ini berawal dari konflik antara hakim yang dinaungi oleh Mahkamah Agung dengan lembaga pengawasan hakim (KY).

Kasus ini berawal ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan status tersangka kepada Komjen Pol. Budi Gunawan yang saat itu sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Komjen Pol. Budi Gunawan kemudian mengajukan praperadilan atas penetapan stasus tersangkanya oleh KPK itu ke PN Jakarta Selatan.

Pada prosesnya, pada tanggal 16 Februari 2015, PN Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan perwira tinggi polisi berbintang tiga itu, sehingga otomatis status tersangka yang disandang sebelumnya lucut atas pertimbangan hakim yang memimpin persidangan. Hakim itu adalah Sarpin Rizaldi.

Putusan hakim Sarpin pun telah menjadi sorotan banyak pihak, pasalnya hakim Sarpin telah mencatat sejarah baru dalam sejarah penghilangan status tersangka yang telah diberikan penyidik lembaga antirasuah yang dikenal tak kompromi menggarap pejabat negara yang terindikasi korupsi. Bukan hanya sorotan yang didapat oleh Hakim Sarpin, hujan kritik pun tak terhindarkan bagi Hakim Sarpin karena telah memutuskan perkara yang kontroversial tersebut.

Tak terkecuali, Komisi Yudisial selaku lembaga negara yang bertugas sebagai pengawas kode etik hakim pun angkat bicara. Komisioner KY, Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan atas putusan hakim Sarpin yang kontroversial itu. Dalam perjalanannya, KY mengeluarkan putusan hasil pemeriksaan atas putusan hakim Sarpin tersebut.

Akhirnya KY memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan sanksi kepada hakim Sarpin dengan hukuman 6 bulan non palu (tidak boleh memimpin persidangan). Namun putusan (rekomendasi) KY tersebut dikesampingkan oleh Mahkamah Agung, hingga saat ini rekomendasi untuk Hakim Sarpin itu pun masih belum dijalankan oleh MA.

Tidak selesai disitu, belakangan hakim Sarpin pun melaporkan dua orang komisioner KY ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan pencemaran nama baik terhadap dirinya. Dua orang komisioner KY yang dilaporkan adalah Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki.

Saat ini para komisioner KY itu pun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri atas kasus pencemaran nama baik hakim Sarpin. Sementara Hakim Sarpin sendiri hingga saat ini masih tetap dapat memegang palunya lantaran rekomendasi KY tersebut tidak dijalankan oleh MA. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: