JAKARTA, GRESNEWS.COM – Eksistensi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas pelaksanaan kode etik para hakim sedang mengalami ujian berat. Ujian itu datangnya dari seorang hakim kontroversial yang memenangkan gugatan praperadilan yang dilayangkan Komjen Budi Gunawan yang menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Dialah Sarpin Rizaldi, yang kini bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Terkait putusan praperadilan Budi Gunawan itu, belakangan KY melakukan serangkaian penyelidikan terhadap Sarpin. Hasilnya, Sarpin dinilai melanggar etika dengan memutus perkara melebihi yang dimohonkan oleh pemohon. Sarpin juga dinilai menabrak banyak UU dalam putusan itu sehingga profesionalismenya sebagai seorang hakim dipertanyakan.

KY pun merekomendasikan agar Sarpin diberi sanksi berupa skorsing alias dinonpalukan selama enam bulan. Hanya saja, alih-alih patuh, Sarpin malah seperti menantang KY. Dia dengan tegas mengatakan tak akan mematuhi rekomendasi yang telah dikeluarkan KY.

Bahkan Sarpin menyatakan, rekomendasi itu adalah rekomendasi palsu. "Bilang sama KY kalau rekomendasinya itu abal-abal. Saya tidak peduli, tak ada urusan. Itu sifatnya hanya rekomendasi. Tidak bisa melarang saya sidang," kata dia beberapa waktu lalu.

Sarpin juga dengan tegas mengatakan hanya akan mematuhi putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung atas rekomendasi KY itu. Sepanjang putusan MA belum keluar, Sarpin mengatakan dia tetap berhak bersidang. "Memang dia (KY) bisa menghukum saya? Kalau sudah ada putusan MA baru saya laksanakan, tapi ini jalannya masih panjang," katanya.

Tentunya sikap Sarpin yang berani menantang lembaga negara seperti KY ini tampak sangat keterlaluan. Apalagi KY memang berwenang mengawasi perilaku hakim termasuk mengawasi perilaku hakim dalam memutus perkara. Sayangnya, selama ini KY memang dibentuk sebagai lembaga tanggung.

KY diberi kewenangan menjatuhkan sanksi, namun itu hanya berupa rekomendasi dan kewenangan melakukan eksekusi tetap berada di MA. Aturan tanggung inilah yang kerap membuat KY seperti menjadi lembaga tanpa taji.

Selain itu, dengan kewenangan nan tanggung ini, KY juga menjadi terlihat tidak berwibawa di mata MA. Dalam suatu kasus, misalnya, para hakim agung di MA yang tergabung dalam organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), malah menggugat kewenangan KY dalam soal rekrutmen hakim.

DI-BACK UP MA - Sikap ngeyel MA kepada KY ini rupanya menjadi contoh mujarab bagi para hakim untuk kerap kali melecehkan keputusan atau rekomendasi KY. Apalagi dalam kasus Sarpin, misalnya, ada kesan MA justru malah membela Sarpin sehingga Sarpin bisa terlihat begitu jumawa.

Juru bicara MA Suhadi mengatakan, pihak MA hingga kini belum menerima secara resmi berkas rekomendasi KY terhadap Sarpin. Hanya saja, kata Suhadi, MA tak akan melaksanakan rekomendasi itu jika menyangkut masalah teknis.

"Kalau di dalam rekomendasi ada hal-hal yang menyangkut teknis yuridis, MA tidak akan merespons rekomendasi KY. MA akan membalas rekomendasi KY dengan alasan dan argumentasi bahwa yang direkomendasikan masuk kode etik atau tidak atau kewenangan KY atau bukan," ujar Suhadi saat dihubungi gresnews.com, Senin (6/7).

Suhadi menegaskan, dalam pelaksanaan kode etik sudah diatur bahwa masalah teknis yuridis merupakan kewenangan MA. Sehingga ketika ada persoalan yuridis yang dilaporkan pada KY, seharusnya KY menyerahkan pada MA untuk menindaklanjutinya.

"Kalau masalah putusan pengadilan itu masalah teknis yuridis, mau dipenggal pendapat orang dimana atau satu buku dikutip, itu tergantung hakim itu sendiri," ujar Suhadi.

Terkait rekomendasi KY yang menyebut Sarpin terbukti menerima gratifikasi berupa jasa kuasa hukum gratis dari advokat saat melaporkan dua komisioner KY ke kepolisian, Suhadi bilang, secara normatif, tugas seorang hakim harus dipisahkan dengan masalah personal hakim bersangkutan.

"Kalau dalam konteks proses seorang hakim di peradilan, maka hakim tidak boleh diintervensi pihak lain atau harus steril dari pengaruh apapun," katanya.

Tetapi ketika hakim sebagai pribadi memiliki masalah hukum seperti dihujat karena masalah pribadinya yang membuatnya menjadi korban perbuatan orang lain, maka hakim bersangkutan berhak mencari penasihat hukum bagi dirinya. Misalnya, mendapatkan bantuan hukum dari pihak lain atau yang mau berkontribusi terhadap dirinya.

"Bantuan jasa hukum dari negara tidak ada kecuali mendapat ancaman hukuman 5 tahun ke atas dan hakim bersangkutan tidak mampu," lanjut Suhadi.

Sikap MA yang terkesan membela Sarpin ini memang tak aneh mengingat selama ini ada semacam esprit de corps alias semangat membela korps yang dimiliki MA untuk melindungi sesama hakim. Tak heran jika dalam soal Sarpin, MA juga menunjukkan sikap itu.

Suhadi bilang, dalam soal putusan terhadap Budi Gunawan, Sarpin selaku hakim memiliki independensi dalam mengambil keputusan yang dijamin Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, menurut MA, sah saja jika Sarpin memutuskan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK masuk dalam obyek gugatan praperadilan.

Padahal ketika itu, gugatan atas pasal-pasal praperadilan di KUHAP belum diputus MK. Saat itu Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih menegaskan penetapan tersangka tidak masuk dalam obyek gugatan praperadilan.

Sikap pimpinan MA lain pun terhadap kasus Sarpin sama saja. Ketua MA Hatta Ali, misalnya, dalam pertemuan dengan pimpinan KPK beberapa waktu lalu menegaskan MA tetap berkomitmen mengedepankan kemandirian hakim. MA menilai putusan Sarpin mengedepankan kemanfaatan.

Putusan Sarpin dinilai menjadi jalan keluar bagi KPK untuk terus bisa bekerja karena tak tersandera kasus Budi Gunawan. MA juga menegaskan tak akan mencampuri hakim dalam putusan perkaranya, termasuk putusan Sarpin.

KY MEMANG TAK BERTAJI - Dilihat dari cara MA membela Sarpin, jelas bisa dirasakan bahwa MA memang tak mau menghargai KY secara kelembagaan. Alhasil rekomendasi KY terhadap Sarpin boleh dibilang memang tak bertaji. Padahal, apa yang terjadi dalam kasus ini, sejatinya juga menyimpan persoalan serius terkait perilaku Sarpin sebagai hakim dalam menangani perkara.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang melaporkan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Sarpin, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan dalam Pasal 22E Ayat (1) UU 18 Tahun 2011 tentang KY diatur ketika ada perbedaan pendapat antara MA dan KY, maka dilakukan pemeriksaan bersama. Jika dalam waktu 60 hari tidak kesepakatan maka tetap menggunakan rekomendasi KY.

"Dalam praktiknya, banyak rekomendasi KY tidak dijalankan oleh MA. Artinya sebenarnya kita sudah mengetahui standar etik yang dimiliki MA. MA tidak memiliki etika dalam menjalankan UU. Aturan-aturan KY secara organik kan berasal dari konstitusi. Jadi ketika MA tidak menaati KY seharusnya Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menegur MA," ujar Erwin kepada gresnews.com, Senin (6/7).

Terkait hal ini, Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengatakan, kewenangan KY dalam memberikan masukan pada MA untuk hakim yang melanggar etik sebenarnya tak bermasalah selama dilaksanakan oleh MA. Sebagian besar rekomendasi KY, menurutnya, memang dilaksanakan oleh MA.

Tapi ia mengakui memang beberapa kali rekomendasi KY tak dilaksanakan MA misalnya dalam perkara etik yang menjadi perhatian publik. "Kalau rekomendasi KY tak dilaksanakan MA sebenarnya melanggar undang-undang (UU). Tapi kan tidak ada sanksi untuk MA. Jadi artinya suka-suka MA ketika ingin melaksanakan rekomendasi KY," ujar Imam pada gresnews.com, Senin (6/7).

Imam menambahkan dalam Pasal 22E Ayat (1) UU KY disebutkan aturan jika MA memiliki pendapat lain maka harus dilakukan pemeriksaan bersama. Tapi dalam praktiknya, pemeriksaan bersama belum pernah ada. Belakangan terkadang MA memberikan jawaban atas rekomendasi KY sebagai bukan kewenangan KY.

Sehingga menurutnya "area abu-abu" antara kewenangan KY dan MA perlu dihilangkan. "Yang disebut teknis yudisial seperti apa? Kalau MA menilainya yang menyangkut isi putusan tidak boleh disentuh oleh KY. Tapi kalau KY jelas-jelas melihat itu ada penyimpangan karena hakim harus profesional," tegas Imam.

Imam mengatakan dalam kasus dugaan pelanggaran etik oleh Sarpin, KY menilai Sarpin tidak profesional karena mengutip pendapat ahli, tapi tidak sesuai dengan yang disampaikan ahli. Ia menganalogikan kesalahan mengutip tersebut dengan kiasan. Menurutnya semua orang tahu langit berwarna biru, tapi hakim malah menyebutkan berwarna kuning. Iman kokoh berpandangan hal yang terjadi pada Sarpin tersebut adalah tidak profesional.

Menanggapi tudingan ini, Suhadi mengatakan banyak rekomendasi KY yang dilaksanakan dalam sidang majelis kehormatan hakim (MKH). Menurutnya kebanyakan rekomendasi dari KY memang diteliti lebih dulu. Sehingga ketika memang dianggap melanggar kode etik maka MKH disetujui dan dibentuk.

"Tapi putusan MKH belum tentu pemecatan. Bisa juga hukuman lebih ringan misalnya non palu satu atau dua tahun tergantung isi materi dan penilaian," ujar Suhadi.

KESADARAN MAU DIAWASI - Imam mengatakan, dalam hal pengawasan hakim memang sangat penting kesadaran untuk mau diawasi. Menurutnya kesadaran mau diawasi ini yang belum penuh dipahami. Akibatnya pengawasan eksternal dilihat hanya sebagai bagian yang mengganggu.

Padahal KY bukan mau mengganggu tapi menjadi partner untuk sama-sama mengawasi hakim. "MA memiliki badan pengawas internal, KY mengawasi dari luar. Ibaratanya kalau sedang berenang bersama, ketika ada teman yang salah kita tidak tahu. Tapi kalau melihat dari luar akan tahu kesalahannya," kata Imam.

Dia mengatakan perlu ada kesadaran dari MA bahwa lembaga-lembaga hukum harus diawasi. Pengawasan tersebut tentu untuk mejaga kebaikan, martabat, dan kehormatam hakim. Sehingga KY meluruskan dan menegur kesalahan-kesalahan hakim ketika ada kesalahan kecil. Tapi ketika ada pelanggaran yang merusak wibawa hakim maka harus "diamputasi" agar tidak merembet dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Untuk diketahui, dalam pertimbangan putusan, KY menskors Sarpin selama 6 bulan. Dalam merekomendasikan sanksi tersebut KY memiliki sejumlah pertimbangan. Pertama, KY menilai Sarpin tidak teliti dan profesional karena yang disampaikan ahli bertentangan dengan yang dimuat Sarpin dalam putusannya. Kedua, Sarpin melakukan kesalahan karena salah menuliskan identitas ahli dari Prof Sidharta yang merupakan ahli filsafat hukum menjadi ahli hukum pidana.

Ketiga, KY menyatakan Sarpin terbukti menerima gratifikasi berupa fasilitas pembelaan atau jasa kuasa hukum dari kuasa hukum secara gratis. Meskipun dalam konteks ini, KY menyatakan tidak berhasil memperoleh konfirmasi langsung dari Sarpin dan kuasa hukum yang bersangkutan lantaran Sarpin tidak bersedia mendatangi panggilan KY.

Keempat, Sarpin dianggap melanggar etika karena memberikan respons berlebihan di hadapan publik dan tidak bersikap rendah hati. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY (UU KY), rekomendasi KY terhadap MA soal Sarpin memang digolongkan "sedang" sesuai dengan Pasal 22D Ayat (2) huruf b UU KY.

Rekomendasi KY merupakan tindak lanjut atas laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Sarpin saat mengadili permohonan praperadilan Budi Gunawan. PN Jaksel melalui hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan status tersangka Budi lantaran saat itu Budi dianggap bukan bertindak sebagai penegak hukum.

BACA JUGA: