JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Pidana Korupsi, Jakarta akhirnya menghukum mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron dengan pidana penjara delapan tahun. Majelis Hakim pimpinan Muchammad Muchlis ini juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp1 miliar kepada Fuad. 

Fuad yang juga mantan Ketua DPRD Bangkalan itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap dari PT Media Karya Sentosa melalui Direktur HRD Antonius Bambang Djatmiko. Uang suap itu diterima Fuad baik saat menjabat sebagai Bupati Bangkalan, maupun setelah menjadi Ketua DPRD Bangkalan.

Kemudian ia juga dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan surat dakwaan kedua dan ketiga jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini berarti, seluruh sangkaan jaksa terhadap pria yang mengklaim telah kaya sejak lahir ini telah terbukti.

"Menyatakan Fuad Amin terbukti sah meyakinkan bersalah melakukan korupsi bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu primer dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua dan ketiga," ucap Hakim Ketua Muchlis, Senin (19/10).

Fuad, sebelumnya dijerat oleh tiga dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. Pertama dia didakwa menerima suap yang diancam Pasal 12 b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Untuk dakwaan kedua dan ketiga ia dijerat dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 3 Ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Yang membedakan hanya terkait dalam jabatannya. Untuk dakwaan kedua, Fuad dijerat saat menjabat Bupati Bangkalan, kemudian untuk dakwaan ketiga saat ia menjadi Ketua DPRD Bangkalan.

Selain menjatuhkan pidana penjara, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp1 miliar. Majelis hakim juga menetapkan harta milik Fuad yang diduga berasal dari tindak pidana tersebut dirampas untuk negara. Jumlahnya cukup mencengangkan, yaitu Rp234,7 miliar dan US$563,32 ribu.

"Majelis berkesimpulan terdakwa telah menerima uang Rp234,7 miliar dan US$563,32 ribu yang disimpan di rekening penampungan KPK," ujar Hakim anggota Syaiful Arif.

Jumlah ini memang tidak berbeda jauh dengan harta yang disita oleh penyidik KPK. Pada 23 Februari 2015 saja, tim penyidik telah menyita Rp250 miliar. Angka sebesar itu, belum ditambah aset-aset Fuad Amin yang lain yang telah disita.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KP Priharsa Nugraha ketika itu menyebut, berbagai aset yang disita diantaranya 1 kondominium di Bali yang berisi 50-60 kamar, 19 unit mobil, 14 rumah dan apartemen, serta 70 bidang tanah di berbagai daerah.

MINTA HARTA DIKEMBALIKAN - Dalam persidangan itu, Hakim Syaiful juga memutuskan agar penuntut umum mengembalikan sisa uang Fuad yang menurutnya tidak terkait kasus korupsi. "Karena uang di rekening telah bercampur dengan perolehan terdakwa yang sah. Jadi selain jumlah di atas harus dikembalikan," ucapnya.

Terkait hal ini, sebelumnya dalam pembacaan pledoi, Fuad Amin memang meminta sederet aset harta kekayaan yang disita KPK, dikembalikan. "Memohon agar Majelis Hakim Yang Mulia dapat memutuskan agar seluruh aset berupa tanah dan bangunan uang yang ada dalam rekening yang disita di KPK baik bentuk deposito telah tersita KPK dapat dikembalikan," pinta Fuad, dalam nota pembelaan pribadi yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/10).

Fuad membantah menerima duit total Rp15,450 miliar dari PT MKS atas jasanya mengarahkan tercapainya kerjasama dengan PD Sumber Daya dalam penyaluran gas alam. "Sesungguhnya saya tidak pernah mengarahkan siapa pun dalam perjanjian tersebut. Kenyataannya sampai sekarang tidak terjadi penyaluran gas alam ke Gilitimur," sebutnya.

Fuad hanya mengaku menerima duit Rp4,4 miliar yang diterima dari Abdur Rouf dan Taufiq Hidayat bukan bos MKS Abdul Bambang Djatmiko sebagaimana diyakini Jaksa KPK. "Uang tersebut kemudian saya berikan ke Abdul Hakim selaku Direktur PD SD untuk disetorkan ke bank atas nama Abdul Hakim dan untuk dimiliki Abdul Hakim dan uang tersebut dipinjamkan Rp2,2 miliar, dipinjamkan kepada Saifudin, dan sisanya ada di salah satu tas saat saya ditangkap di Bangkalan," tuturnya.

Fuad juga membantah memotong realisasi anggaran SKPD Bangkalan sebagaimana masuk dalam surat tuntutan Jaks. "Dalam fakta persidangan ada 97 saksi dari SKPD yang dihadirkan dalam persidangan memberikan keterangan tidak pernah ada perintah atau arahan dari saya selaku Bupati Bangkalan untuk melaukan pemotongan 5 persen 10 persen setiap realisasi anggaran SKPD. Saya juga tidak perrnah menerima uang dari kepala SKPD dan bendahara SKPD," imbuhnya.

Karena itu Fuad memprotes penyitaan harta dan aset pribadi termasuk warisan yang dilakukan KPK. "Saya sangat bersyukur dilahirkan dari keluarga terhormat dan berada sehingga saya menjadi ahli waris yang memiliki harta peninggalan cukup banyak," kata dia.

Sayangnya, kesaksian mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mementahkan argumen Fuad. Fuad diketahui kerap menggunakan identitas milik orang lain dalam pembelian aset. Ini, kata Yunus, merupakan salah satu cara menyembunyikan asal usul harta yang berasal dari tindak pidana.

Modus ini kerap digunakan untuk melakukan pidana pencucian uang. "Kalau menggunakan nama orang lain atau KTP orang lain sudah tentu indikasi menyembunyikan asal usul harta yang berasal dari tindak pidana," ujar Yunus dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Senin (7/9).

Terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang tahun 2003-2010, Fuad Amin diketahui menempatkan harta kekayaan di penyedia jasa keuangan dengan saldo akhir Rp904,39 juta, membayar asuransi Rp6,979 miliar.

Kemudian membayar pembelian kendaraan bermotor Rp2,21 miliar, membayar pembelian tanah dan bangunan Rp42,42 miliar, yang diduga hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan tugas dan jabatannya selaku Bupati Bangkalan.

Meski punya aset kekayaaan dengan nilai puluhan miliar, pendapatan resmi Fuad Amin selaku Bupati Bangkalan, menurut Jaksa pada KPK pada Maret 2003-September 2010 seluruhnya Rp3,69 miliar.

KPK BANDING - Atas putusan yang dijatuhkan majelis hakim itu, Jaksa KPK menyatakan ketidakpuasannya. KPK menilai, putusan itu terlalu jauh dari tuntutan 15 tahun penjara. Majelis hakim ternyata hanya mengabulkan setengahnya yaitu 8 tahun.

KPK juga menuntut Fuad Amin membayar denda sebesar Rp3 miliar. Tetapi, majelis mempunyai pertimbangan lain sehingga hanya menghukum Fuad dengan denda Rp1 miliar.

Majelis hakim juga mempunyai pertimbangan baik yang memberatkan maupun meringankan. "Pertimbangan memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya memberantas korupsi. Pertimbangan meringankan, terdakwa berlaku sopan, belum pernah dihukum, lanjut usia dan sakit-sakitan," ujarnya.

Jika dilihat, hukuman ini belum sampai 2/3 dari tuntutan Jaksa KPK. Dan biasanya, jika belum mencapai persentase tersebut, jaksa melakukan upaya banding. Tetapi tim jaksa yang digawangi Titik Utami masih menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim.

Pernyataan itu langsung berubah saat tim Jaksa kembali ke kantornya. Pelaksana Harian Kabiro Humas Yuyuk Andriati menyatakan pihaknya akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Menurut Yuyuk, KPK tidak puas atas vonis yang djatuhkan majelis hakim.

"Iya hari ini jaksa penuntut umum KPK menyatakan banding atas vonis Fuad Amin Imron. Jaksa kecewa atas keputusan majelis hakim yang menyatakan terdakwa terbukti tindak pidana pencucian uang tetapi aset-aset terdakwa dikembalikan. Tadi saya cek ke JPU jam 14.30 dinyatakan banding," ujar Yuyuk kepada para wartawan.

Bagi kubu Fuad Amin, vonis ini juga dinilai bukan merupakan akhir nasib Fuad. Salah satu penasehat hukum Fuad, Rudy Alfonso menyatakan Fuad akan mempertimbangkan untuk mengajukan banding. Namun sikap itu akan ditentukan setelah menunggu keputusan jaksa kelak. "Kalau jaksa banding, kita juga pasti banding," ujar Rudy kepada gresnews.com. (dtc)

BACA JUGA: