JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyak cara yang dilakukan para tersangka kasus korupsi untuk menyamarkan uangnya agar sulit terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Salah satunya dengan menyimpan uang hasil korupsi di bank dengan menggunakan identitas palsu. Seharusnya bank melakukan proses cek dan ricek lebih ketat guna menghindari masuknya uang hasil tindak kejahatan ke dalam industri perbankan.

Hal itu dilakukan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron. Ia menyimpan uang di tiga lokasi berbeda yaitu Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI) serta Bank Mandiri dengan dugaan melakukan pencucian uang. Dugaan itu muncul dikarenakan Fuad menggunakan identitas palsu.

Dalam pembukaan rekening di beberapa bank, Ketua DPRD Bangkalan nonaktif itu menggunakan nama KH. Fuad Amin dan pekerjaannya adalah wiraswasta. Padahal, dalam identitas sebenarnya nama yang tertera hanya Fuad Amin, dan bekerja sebagai penyelenggara negara yaitu Bupati Bangkalan ketika itu.

BANK MERASA CUKUP LIHAT KTP - Pihak bank pun seakan lepas tangan, mereka hanya berpatokan kepada identitas Fuad tanpa memverifikasi lagi hal tersebut. Salah satu bank tempat menyimpan uang yaitu BNI, malah mengaku tidak tahu kalau Fuad menyuruh kakak iparnya, Abdur Rouf, untuk menandatangani formulir pembukaan rekening. Mereka bersikukuh jika Abdur Rouf datang sendiri untuk membuka rekening.

BNI juga mengklaim bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sudah cukup untuk mengetahui identitas seseorang dan tanpa perlu melakukan verifikasi kembali. "Secara hukum KTP adalah bukti yang paling autentik untuk membuktikan identitas seseorang," kata Corporate Secretary BNI Tribuana Tunggadewi kepada gresnews.com, Senin (22/6).

Tribuana seakan lepas tangan jika calon nasabah tidak memberikan identitas yang sebenarnya. Menurut Tri, hal itu merupakan kesalahan nasabah itu sendiri dan tidak bisa dibebankan kepada perusahaannya. Sebab, prosedur untuk membuka rekening dengan menunjukkan KTP adalah sama dengan prosedur lain seperti membuat akta Notaris, membuat paspor.

"Jadi prosedur tersebut berlaku umum. Dengan demikian secara yuridis bank atau pihak manapun harus percaya kebenaran KTP, kecuali ada pihak lain yang membuktikan bahwa KTP tidak benar. Dan pembuktian tersebut harus melalui proses hukum," ujar Tri. Namun sayang saat gresnews.com menanyakan bagaimana prosedur pengawasan transaksi rekening nasabah, hingga berita ini diturunkan, Tri masih belum menjawabnya.

Pada persidangan Fuad Amin, Kamis (18/6), Erika Susanti yang merupakan Supervisor BNI cabang Jatinegara mengaku mempunyai nasabah bernama Fuad Amin dan Abdur Rouf. Tetapi saat ditanya bagaimana Rouf membuka rekening, Erika menyebut bahwa kakak ipar Fuad itu datang sendiri ke kantor tempatnya bekerja.

Padahal, Rouf dalam sidang sebelumnya mengatakan bahwa ia hanya diminta datang untuk menandatangani formulir pembukaan rekening, tanpa mengetahui untuk apa rekening tersebut. Sebabnya, setelah pembukaan rekening, Rouf sama sekali tidak memegang buku tabungan dan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Jaksa KPK Pulung Rinandoro mempertanyakan kesaksian Erika. Terlebih lagi, ia menyebut transaksi yang ada direkening Rouf yang dijalankan Fuad Amin dianggap wajar. "Transaksi satu bulan tanggal 7 sebesar Rp 1,654 miliar, kemudian dua transaksi di tanggal yang sama juga ada beberapa miliar. Apanya yang wajar? Apa ada kewajiban bank laporan kalau mencurigakan?" tanya Pulung dalam persidangan ketika itu.

Selanjutnya Erika pun terdiam. Pasalnya ia memang tidak mengetahui persis mengenai transaksi tersebut. Erika hanya menjawab pertanyaan Pulung mengenai laporan bank jika ada transaksi mencurigakan. "Lapor di sistem. Transaksi di atas Rp500 juta per transaksi," cetus Erika.

Pihak BCA saat dikonfirmasi gresnews.com juga bersikukuh bahwa KTP merupakan identitas yang sah untuk pembukaan rekening. Untuk itu, pihaknya tidak menaruh curiga jika Fuad ternyata menggunakan identitas berbeda-beda dalam setiap pembukaan rekening di bank.

"Kalau kami mengacu pada prosedur bank. Ada beberapa syaratnya, salah satunya ya membawa kartu identitas (KTP)," pungkas staf humas BCA Evony.

Evony pun membeberkan syarat-syarat pembukaan rekening :
  1. Penabung adalah perorangan atau yayasan
  2.  Mengisi dan menandatangani formulir permohonan pembukaan rekening Tahapan BCA
  3.  Membawa bukti identitas diri yang masih berlaku serta NPWP
  4.  Setoran awal minimum Rp 500.000 dan setoran selanjutnya minimum Rp 50.000
  5.  Saldo minimum ditahan Rp 10.000
  6.  Biaya administrasi bulanan, sesuai dengan kartu paspor BCA yang dimiliki.

Saat ditanya bagaimana bentuk pengawasan terhadap rekening mencurigakan yang diduga dilakukan untuk pencucian uang, Evony menjawab diplomatis. "Nanti saya konsultasikan dulu ke biro hukum," tandas Evony.

Gresnews.com juga telah mengkonfirmasikan kepada Bank Mandiri melalui Humasnya Eko Noviansyah. Pihak Mandiri, ketika itu juga dihadirkan menjadi saksi. Tapi sayang, hingga kini belum ada konfirmasi dari pihak bersangkutan.

Dalam beberapa rekening di tiga bank itu, yaitu BNI cabang Jatinegara, BCA cabang Dewi Sartika, serta Mandiri cabang Matraman Fuad mempunyai saldo ratusan juta rupiah. Belum lagi di bank lain yang berada di Surabaya, Bali dan Bandung, harta Fuad juga mengalir disana hingga puluhan miliar.

Padahal, Fuad hanya menjabat sebagai Bupati dan ia tidak mempunyai penghasilan lain. Anehnya, jumlah uang yang dimiliki dalam berbagai rekeing itu mencapai Rp139 miliar ditambah US$326 ribu. Harta ini tidak sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pada 2002 yang hanya Rp1,7 miliar. 

LANGGAR ATURAN BANK INDONESIA - Dikutip dari situ bi.go.id, Bank Indonesia telah menerbitkan ketentuan terkait dengan pencucian uang sejak tahun 2001 mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Selanjutnya ketentuan dimaksud disempurnakan pada tahun 2009 dengan mengadopsi rekomendasi dengan standar internasional yang lebih komprehensif untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF. 

Rekomendasi tersebut juga digunakan oleh masyarakat internasional dalam penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). Terdapat penyesuaian terminologi dari sebelumnya menggunakan terminologi “KYC” berubah menjadi terminologi CDD/Customer Due Dilligence.

Seiring dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks dikhawatirkan dapat meningkatkan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan produk/jasa bank dalam membantu tindak kejahatannya, Untuk itu, agar penggunaan bank sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme dapat diminimalisir, diperlukan peranan bank yang lebih besar dari sebelumnya yaitu dengan menerapkan Program APU dan PPT yang optimal dan efektif.

Penerapan program APU dan PPT oleh bank tidak saja penting untuk pemberantasan pencucian uang, melainkan juga untuk mendukung penerapan prudential banking yang dapat melindungi bank dari berbagai risiko yang mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi dan risiko operasional.

Selain itu, dalam rangka mewujudkan rezim APU dan PPT yang lebih optimal, Bank Indonesia senantiasa secara aktif dan berkesinambungan melakukan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) dan universitas. 

BANK WAJIB LAPORKAN TRANSAKSI MENCURIGAKAN - Guru Besar Hukum Perbankan Universitas Airlangga Prof Sutan Remi Sjahdeini mengatakan setiap bank atau penyedia jasa keuangan lainnya wajib melaporkan transaksi mencurigakan kepada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Harus lapor PPATK, sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana pencucian uang," imbuh Sutan melalui pesan singkatnya kepada gresnews.com.

Saat ditanya apa konsekuensi jika suatu bank tidak melaporkan adanya transaksi mencurigakan, ini jawaban Sutan. "Kalau tidak melapor maka bank dapat didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang," ucapnya.

BACA JUGA: