JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beberapa bulan terakhir harga daging sapi potong melonjak tinggi. Muncul dugaan ada kartel penjualan memainkan harga daging sapi saat ini. Kartel tersebut diduga merupakan importir yang juga pemilik perusahaan penggemukan sapi di Indonesia.

Untuk mengungkap kasus tersebut maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hari ini mulai menggelar sidang kasus dugaan kartel di bisnis sapi. Selama proses persidangan KPPU akan memanggil 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) sebagai terlapor.

"Hari ini baru pertama. Kalau proses sidang masih lama, agenda hari ini hanya mendengarkan tuntutan dari investigator kita. Sama seperti di pengadilan umum, hari pertama adalah pembacaan tuntutan dari jaksa," kata Majelis Komisi KPPU Saidah Sakwan sebelum sidang di kantor KPPU, Jakarta, Selasa (15/9).

Ia mengatakan bila terbukti adanya kartel maka sanksi denda hingga rekomendasi pencabutan izin usaha para terlapor sudah menanti. Bentuknya dari sanksi administrasi dengan denda maksimal Rp 25 miliar hingga pencabutan usaha.

"Karena ini kasus menyangkut kepentingan publik, kami siapkan lima hakim komisioner," ujar Saidah yang  memimpin sidang perdana ini sejak pukul 14.00 WIB di kantor KPPU ini.

Saidah mengatakan, sidang praktik dugaan kartel tersebut mencakup tiga tahapan. Tahapan pertama adalah pendahuluan yang meliputi pembacaan tuduhan dan tanggapan dari terlapor yang memakan waktu maksimal 30 hari.

Selanjutnya adalah tahapan pemeriksaan lanjutan, yakni memeriksa alat bukti, dokumen, dan saksi ahli yang membutuhkan waktu 60 hari, dan bisa diperpanjang 30 hari lagi. Terakhir adalah pembacaan putusan yang maksimal 30 hari kerja.

DUGAAN KARTEL - KPPU mencatat ada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang diduga melakukan praktik kartel.  KPPU akan mencari bukti-bukti adanya kartel yang sempat melambungkan harga sapi hingga lebih dari Rp 100 ribu per kilogram.

Perusahaan feedloter di bawah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mengatur atau mengendalikan pasokan sapi ke rumah potong hewan (RPH) sehingga berdampak pada pasokan dan harga daging di pasar. Mereka sengaja membatasi pasokan ke RPH karena alokasi impor triwulan III-2015 hanya 50.000 ekor sapi bakalan. Padahal pada triwulan II-2015 mencapai 200.000 ekor sapi bakalan.

Direktur Eksekutif Apfindo Joni Liano pernah mengatakan konsekuensinya alokasi impor yang turun drastis membuat para anggotanya mengendalikan pasokan ke RPH. Tujuannya harga stok yang ada saat ini 140.000 ekor ditambah 50.000 ekor bisa tersedia sampai Desember 2015.

"Anggota kami merestrukturisasi penjualannya, karena stok menipis. Mengatur suplai agar stok sampai Desember, sebab kalau November-Desember nggak ada itu bisa ada PHK pegawai," kata Joni beberapa waktu lalu.

MENGENDUS SEJAK LAMA - Sejatinya KPPU sudah mengendus adanya kartel dalam penyediaan daging sapi sudah sejak beberapa tahun lalu. President Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF) Sutrisno Iwantono mengatakan ditengarai ada kartel, dalam proses investigasi KPPU diketahui ada 24 perusahaan impor sapi yang terlibat. Menurutnya struktur pasar impor sapi ini tidak sehat.

Sutrisno yang juga mantan Ketua KPPU ini menjelaskan jumlah pelaku usaha yang sedikit menciptakan ruang gerak yang leluasa untuk membentuk kartel. Secara teori pasar yang strukturnya oligopoli maka cenderung membentuk kartel alias tend to form cartel.

Menurutnya beberapa indikasi sudah nampak misalnya hasil temuan Bareskrim Polri saat melakukan sidak di Banten ada satu perusahaan yang memiliki stok sapi cukup banyak, bahkan ada 500 ekor yang siap di potong tetapi tidak di potong. Ada yang memiliki 4000 ekor siap potong, tetapi tetap dikandangkan.

Ia menegaskan pengendalian pasokan yang dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan untuk meningkatkan harga adalah perilaku anti persaingan. Perilaku tersebut dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sutrismo memaparkan sejak 2013 peristiwa seperti ini telah terjadi, dan KPPU pada waktu itu juga sudah melakukan monitoring, sayangnya sampai sekarang hasilnya belum jelas. "Tinggal bagaimana KPPU dengan kewenangannya membuktikan bahwa praktik kartel itu memang terjadi," katanya, Jumat (21/8).

BERDAMPAK JANGKA PANJANG - Ia meminta agar pemerintah mengambil langkah cepat menurunkan harga daging sapi. Hal ini dikaitkan dengan dampak penurunan kecerdasan generasi mendatang. Daging adalah sumber protein hewani yang menentukan tingkat kecerdasan anak-anak.

Sutrisno mengkhawatirkan harga daging yang tinggi akan sangat mengurangi konsumsi daging sebagaai sumber protein hewani yang penting. Menurut sebuah penelitian raata-rata IQ orang Indonesia masih rendah hanya 87 masih dibawah Malaysia 92, Thailand 91 atau Singapore 108.

Hal ini ada kaitannya dengan gizi yang kurang baik. Rata-rata konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya sekitar 2-2,5 kg per capita per tahun, sedang Malaysia sudah 15 kg, dan Phillipina saja sudah 7 kg per tahun per capita.

Menurutnya harga yang tinggi dan kelangkaan daging sapi jelas akan punya dampak bagi masa depan kecerdasan anak bangsa akibat kekurangan asupan gizi. "Kenaikan harga daging sapi saat ini terjadi karena kelangkaan pasokan di pasar, para pedagang mogok karena kesulitan menjual daging dengan harga tinggi," katanya.

Menurutnya, dari sejumlah sumber data diketahui bahwa kebutuhan daging sapi nasional sekitar 650.000 ton daging atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi atau rata-rata 300.000 ekor per bulan. Pasokan sapi lokal hanya sekitar 400.000 ton atau kurang lebih 2,3 juta ekor sapi. Dengan demikian masih terjadi defisit sekitar 250.000 ton, atau 1,3 juta ekor atau sekitar 325.000 ekor per triwulan.

Defisit ini biasanya dipenuhi dengan cara impor. Persoalan timbul ketika pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian hanya mengizinkan impor sebanyak 50.000 ekor sehingga terjadi kelangkaan yang mengerek harga secara tidak normal hingga harga daging mencapai Rp 130-140 ribu per kg. (dtc)

BACA JUGA: