JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akhirnya berketetapan hati untuk membuang jauh-jauh janji tak mengimpor pangan. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok pada bulan puasa ini membuat pemerintah menetapkan untuk membuka keran impor sebesar-besarnya demi menstabilkan harga.

Ketetapan untuk membuka keran impor pangan termasuk daging sapi itu diambil dalam rapat koordinasi yang dilakukan di Kementerian Pertanian, Kamis (9/6). Hadir dalam rapat itu, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Alasan dibukanya keran impor adalah karena harga-harga sudah melambung di luar kewajaran. Harga daging, misalnya, yang sebelum Ramadan berada pada kisaran harga Rp75 ribu-Rp80 ribu per kilogram, kini melonjak hampir dua kali lipat ke angka Rp120 ribu-Rp150 ribu/kg. Pemerintah kemudian berupaya menekan harga daging agar kembali ke Rp80 ribu per kilogram.   

"Masih akan kami tambah terus kuota impornya," kata Menteri BUMN Rini Soemarno di kantor Kementan, Ragunan, Kamis (9/6).

Kebijakan ini, kata Rini, diambil lantaran selama ini Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sudah melakukan operasi pasar untuk menekan harga. Bulog menjual daging seharga Rp80 ribu per kg. Sayangnya harga di tingkat pedagang masih masih saja tinggi.

Untuk melakukan impor pangan ini, pemerintah telah menunjuk dua BUMN yakni Perum Bulog dan PT Berdikari. "Kedua BUMN itu bertanggung jawab mengendalikan harga berbagai kebutuhan, khususnya bawang merah dan daging menyusul ada instruksi presiden," kata Rini.

Ia pun berharap kedua BUMN tersebut dapat dengan baik mengoptimalisasi penjagaan pasokan dan harga yang terdapat di pasaran. Khususnya untuk empat bahan pokok utama yaitu, beras, daging sapi, bawang merah, dan gula pasir. "Guna mengakali harga, beberapa kebutuhan pangan tersebut dibeli dari produsennya langsung," ujar Rini.

Pemerintah sendiri berjanji bahwa kebijakan impor ini tak akan merugikan petani maupun peternak lokal. Alasannya, nantinya Bulog akan membeli bahan pangan tersebut dengan harga normal dan tanpa ada pengurangan harga, berapapun impornya.

Sayangnya dalam kesempatan tersebut, Rini belum membuka data berapa kuota impor yang akan dijalankan. "Nanti tanyakan ke Pak Menko Darmin," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong mengatakan, saat ini sudah ada 27.400 ton daging impor siap masuk Indonesia. Impor tersebut dilakukan Perum Bulog sebanyak 10.000 ton dan PT Berdikari sebanyak 5.000 ton. "Selain itu importasi 10 perusahaan swasta ada sekitar 23.200 ton. Itu garis besarnya," jelas Thomas.

TAKUT KARTEL PANGAN - Sementara itu, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang mengatakan, permasalahan melambungnya harga pangan khususnya daging sapi adalah karena tidak kompaknya kementerian yang mengurusi masalah pangan yaitu Kementan, Kemendag dan Menteri BUMN.

Karena tak kompak, masing-masing memiliki data berbeda-beda sehingga menjadi permainan kartel pangan dan kartel daging sapi. Hal inilah, kata Oesman, yang mengakibatkan harga daging sapi, misalnya, bisa tembus Rp150 ribu meski ada gelontoran daging impor.

Selain tidak kompak, para pejabat di ketiga kementerian itu juga tak ada yang berani membongkar sindikat mafia pangan, khususnya daging sapi. "Saya berharap pers ikut ambil bagian dan berani menulis serta mengkritisi soal daging ini," ujarnya, di Jakarta, Kamis (9/6).

Dia menyebutkan, sebenarnya kebutuhan daging Indonesia rata-rata per tahun mencapai sebanyak 650 ton/tahun, yang setara dengan 3,9 juta sapi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, stok sapi dalam negeri tidak mencukupi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pemerintah harus melakukan impor.

Menurut catatan, konsumsi daging warga Indonesia termasuk paling rendah, yaitu 2 kg/kapita/tahun. Bandingkan dengan Brasil yang mencapai 90 kg/kapita/tahun, Amerika Serikat 80 kg/kapita/tahun dan Eropa 60 kg/kapita/tahun.

Karena itu, kata Oesman Sapta, pemerintah seharusnya bisa menekan harga daging di angka Rp80 ribu. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, harus berani bertindak menekan harga daging.

Hal tersebut sangat penting karena menyangkut gizi anak-anak bangsa di masa depan. "Jangan salahkan anak-anak kita nanti kalau mereka kekurangan gizi. Kita yang bersalah karena takut menghadapi kartel," tegasnya.

Untuk menghadapi kasus daging yang dari tahun ke tahun selalu terulang maka pemerintah harus membangun sistem yang mengatur perlakuan terhadap pengusaha pribumi sehingga tidak dihambat oleh kartel. "Para kartel ini bermain mulai dari perizinan, jaminan ke bank, stok daging di Australia, sampai distribusi ke Indonesia," tegasnya.

PENUH ANOMALI - Terkait hal ini, Menteri Pertanian Amran Sulaiman sebelumnya menegaskan, sektor pangan memang penuh dengan anomali. Pasalnya di lapangan stok beberapa kebutuhan pokok seperti minyak goreng, bawang merah, cabai, daging ayam dan lainnya melimpah. Anehnya, harga-harga barang kebutuhan pokok tersebut tetap naik. "Fenomena ini, jelas hukum ekonomi supply-demand untuk Indonesia tidak berlaku," jelas Amran.

Amran menjelaskan solusi jangka pendek yang dilakukan untuk mengurai fenomena tersebut yakni, pertama, membangun komitmen produsen terbesar minyak goreng, gula pasir, daging sapi, daging ayam, untuk berpartisipasi menurunkan harga, menggelar bazar pangan, dan lainnya. Kedua, perlu melakukan pemetaan sentra produksi yang siap panen Juni-Juli 2016, produk petani dibeli dan langsung dikirim ke konsumen, melibatkan Bulog, Toko Tani Indonesia, Koperasi Pasar, Puskop TNI dan Polri, Gapoktan dan Kelompok Tani.

"Ketiga, perlu melakukan pengendalian harga di tingkat konsumen melalui bazar pangan murah secara besar besaran," jelas Amran,

Menurutnya, untuk solusi jangka menengah dan panjang tentunya dengan memperpendek rantai pasok dan membentuk struktur pasar baru sehingga petani menikmati untung. "Dengan demikian pedagang memperoleh normal profit dan konsumen tersenyum," tutur Amran.

Sementara itu, Direktur Kajian Pangan dan Ekonomi Kerakyatan Nawacita Watch Tenri Ajeng mengapresiasi capaian produksi pangan pokok yang saat ini tersedia dari produksi dalam negeri. Namun, menurutnya, produksi yang tersedia ini diperlukan kerjasama atau sinergitas antar lembaga untuk mengamankan produksi dan sampai ke konsumen tanpa ada anomali harga.

Tenri mengatakan, permasalahan besar pangan yakni pada aspek pendistribusian dari petani ke konsumen. "Di sisi produksi pemerintah sudah sukses, namun pada konsumen yang belum dikerjakan," ujarnya.

Ia menjelaskan, ini dapat dilakukan dengan membentuk mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi. Di sini yang menjadi kelemahan pemerintah selama ini, ketika produksi melimpah tidak dibarengi sirkulasi atau pendistribusian yang lancar dan pendek ke konsumen, sehingga menyebabkan harga melonjak padahal stok dalam negeri tersedia.

"Akhirnya lagi-lagi pemerintah melalui Bulog langsung mengambil jalan pintas impor untuk memadamkan harga dengan alasan berpihak pada konsumen padahal di satu sisi mencekik petani," ungkapnya. (dtc)

BACA JUGA: