JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keputusan pemerintah membuka keran impor daging kerbau dari India dengan alasan untuk mendorong turunnya harga daging sapi di pasaran mendapatkan kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo mengatakan, keputusan tersebut jelas akan merugikan peternak lokal karena tidak mampu bersaing akibat mahalnya daging lokal.

Daging lokal menjadi mahal karena bibit sapi yang baik sulit didapat dan mahal. Pakan ternak juga menjadi tak terjangkau oleh peternak lokal. "Dengan sistem sekarang ini swasembada daging sulit terbukti dan sulit berhasil karena pemerintah tidak mempunyai komitmen yang jelas," kata Firman kepada gresnews.com, Kamis (22/9).

Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, itu menilai, kebijakan pemerintah yang selalu mengambil jalan pintas akan semakin merusak sistem yang sudah dibangun. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian dan semua sektor juga hanya bisa mengaminkan kebijakan impor daging kerbau tersebut.

"Kalau impor solusinya, maka ini kemenangan kaum importir dan ini target para importir yang tidak ada keberpihakan terhadap peternak atau feedloter lokal," jelasnya.

Dia menilai kebijakan ini bakal sia-sia dan tak bakal mampu menurunkan harga daging sapi di pasaran. Masyarakat Indonesia, kata Firman, tak bisa serta merta mensubstitusi kebutuhan daging sapi dengan daging kerbau meski harganya lebih murah. Tidak semua orang Indonesia senang mengkonsumsi daging kerbau, hanya di daerah tertentu saja.

"Seperti di Sumatera, itu dipakai untuk acara adat, kalau ada upacara kematian itu harus disembelih sendiri, bukan daging beku dan masyarakat Indonesia juga tidak senang dengan daging beku impor, masyarakat selalu mencari daging yang masih fresh (daging segar)," ungkap Firman.

Apalagi, pemerintah mengimpor dari India yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku. Ini semua menambah kacau pasaran dalam negeri karena masyarakat tak yakin kualitas daging yang diimpor berkualitas baik.

Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi memberikan pendapat senada. Dia mengatakan, meski harga daging kerbau India dijual seharga Rp65 ribu per kilogram, belum akan berpengaruh menurunkan harga daging sapi di pasaran. Asnawi mengatakan, saat ini, daging sapi segar masih dijual di kisaran Rp114 ribu-Rp120 ribu/kg.

"Kalau disebut turun, turun daging sapi di mana? Orang sumber daging sapi yang dijual pedagang sama. Orang nyatanya masih rata-rata Rp115 ribu/kg, turun iya tapi daging kerbau yang Rp65 ribu/kg," ujarnya.

Asnawi menjelaskan, selama pola konsumsi masyarakat yang sebagian masih menggantungkan sumber protein hewani pada daging sapi, berapa pun besaran daging kerbau yang digelontorkan ke pasar tidak cukup efektif mengubah harga daging sapi segar.

"Orang makan daging sapi yang fresh sudah puluhan tahun, ini kan mindset. Logikanya padahal sumber protein banyak, ada ayam, makan bebek, ada juga ikan melimpah dan lebih murah, tapi apa otomatis pindah makan ikan? Tetap saja makan sapi meski mahal. Jadi ubah dulu cara berpikirnya masyarakat dalam hal konsumsi protein," terangnya.

Dia mencontohkan impor daging sapi beku yang juga gagal menurunkan harga daging sapi segar di pasaran. "Sudah berapa banyak di pasar, dijual murah tetap saja tidak ada yang beli. Di pasar tradisional dan supermarket beda, orang mau beli yang beku ya datangnya ke supermarket," imbuhnya.

Di luar itu, kata Asnawi, daging sapi segar juga tidak akan turun jika sumber daging dari feedloter atau pun peternak lokal masih juga belum turun. Saat ini, kata Asnawi, pedagang membeli karkas (daging dan tulang) sapi Brahman seharga Rp89 ribu-Rp90 ribu/kg. Sapi lokal seperti sapi Bali karkasnya Rp92 ribu/kg.

"Kemudian ada batasan harga yang ditetapkan pemerintah, tetap saja tidak efektif kalau harga dari asalnya sudah mahal. Orang belinya sudah mahal, masa di pasar dijual lebih murah sesuai maunya pemerintah. Hitungan dimana itu?" ujarnya.

MERUSAK SISTEM - Asnawi sendiri mengaku tidak mempersoalkan kebijakan pemerintah mengimpor daging kerbau dari India. Dia hanya ingin pemerintah tidak merusak sistem yang sudah dibangun sejak lama. Tetapi pada kenyataannya dari keputusan tersebut, pemerintah hanya menguntungkan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).

Asnawi mengatakan, pemerintah hanya menunjuk Bulog sebagai pendistribusikan daging kerbau yang hingga akhir tahun ditargetkan mencapai 10 ribu ton. Harga beli daging kerbau di India sekitar Rp46 ribu per kg dengan tambahan ongkos operasional, sehingga modal Bulog mencapai Rp53 ribu per kg.

Daging kerbau tersebut dijual dibeberapa pasar di Indonesia, yakni 43 wilayah. Nah di tingkat pedagang, mereka harus menjual dengan harga antara Rp59 ribu hingga Rp60 ribu per kilogram dan tidak boleh melebihi harga Rp65 ribu per kilogram. Ini menurutnya tak adil.

Pasalnya, pihak Bulog mendapatkan keuntungan sangat besar yaitu mencapai Rp10 ribu hingga Rp19 ribu per kilogram. Sementara pedagang mengambil keuntungan di bawah Rp10 ribu per kilogram. Apalagi Bulog hanya menunggu saja, sebab modal, izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah disiapkan pemerintah.

"Dalam kebijakan tersebut yang diuntungkan Bulog, karena semuanya dalam pendistribusian melalui Bulog, dia modal diberikan dengan bunga murah, izin disiapkan, termasuk Rumah Pemotongan Hewan (RPH) disediakan," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, impor daging kerbau dari India hanya sebuah bentuk kepanikan pemerintahan Jokowi saja. "Impor kerbau ini hanya sebuah ide untuk harga daging di pasar bisa dikendalikan pemerintahan. Karena harga daging, dengan daging sapi dari Australia, harga tidak turun turun, dan selalu naik sehingga bikin pusing Presiden Jokowi," kata Uchok kepada gresnews.com, Kamis (22/9).

Karena panik, untuk menjaga stabilitas harga daging, maka dicobalah melakukan impor daging kerbau dari India. Persoalannya, kata Uchok, pemerintah tak berpikir masyarakat atau pasar saat ini susah untuk menerima daging kerbau ini.

"Rasa seperti apa, jika daging kerbau jadi bakso, dan kalau daging sapi, jadi bakso, mayarakat mengkonsumsi jadi nikmat di lidah. Jadi dengan impor daging kerbau ini, memperlihatkan pemerintah kalah dengan mafia daging yang menguasai pasar," jelasnya.

Hal ini, kata Uchok, juga memperlihatkan pemerintahan tidak punya atau tidak peduli dengan ketahanan pangan. "Jadi, siapapun yang bisa membisik sesuatu ke Presiden Jokowi, bisa jadi menjadi sebuah kebijakan negara ini," ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediono mengatakan, pemerintah terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk mengimpor daging kerbau dari India. Pasalnya kerbau India belum masuk kategori bebas dari penyakit mulut dan kuku.

Dia bahkan meminta agar pemerintah untuk menunggu, sebelum memutuskan untuk impor kerbau dari India, karena saat ini terkait aturan pemberian akses masuknya daging dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Untuk proses judicial review dalam tingkat sidang pemeriksaan, jadi kami meminta pemerintah untuk menunggu, karena hal ini menentukan sekali," ujarnya di Jakarta, Rabu (21/9).

PEMERINTAH OPTIMISTIS - Berkebalikan dengan sikap para pengusaha dan anggota DPR, pemerintah justru yakin masuknya daging kerbau India bisa menurunkan harga daging sapi segar. "Harga daging sapi segar yang berasal dari feedloter bisa segera turun. Penurunan harga bisa terjadi setelah daging kerbau impor asal India mulai membanjiri pasar," kata Enggar, saat blusukan ke Pasar Grogol, Jakarta Barat, Jumat (19/9).

Untuk tahap pertama, daging kerbau yang sudah masuk sebanyak 700 ton. Yang ditargetkan sampai akhir September masuk sebanyak 9.500 ton, dan akan segera didistribusikan ke pasar-pasar. Enggar mengatakan dengan masuknya daging kerbau impor dari India berdampak pada harga jual dari feedloter alias pusat penggemukan sapi. "Apa yang terjadi masuknya daging kerbau impor dari india, harga daging dari feedloter mulai turun," ujar Enggar.

Ia menambahkan, setiap pasar harus mempunyai suplai yang cukup, agar tidak ada lagi pedagang bermain dengan harga yang lebih jauh. "Jadi ini pasar harus diisi dengan suplai yang cukup, agar tidak ada lagi spekulan bermain lebih jauh dari situ. itu yang kita lakukan," ujar Enggar.

Enggar menambahkan, ia masih berupaya untuk memotong mata rantai yang masih panjang, agar harga daging sapi bisa turun. "Kita masih berupaya untuk memotong mata rantai yang panjang ini, agar harga daging bisa di bawah Rp100 ribu per kilogram," tutur Enggar.

Untuk payung hukum masuknya daging kerbau itu sendiri, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemasukan Daging Ternak dan Daging Hewan. Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Kemenko bidang Perekonomian Jafi Alazagladi mengatakan, keputusan pemerintah melakukan impor daging kerbau India dilakukan dengan pertimbangan matang.

"Pemerintah tidak sembarangan mengimpor daging kerbau dari India, karena itu pemerintah menerbitkan PP tentang pemasukan daging ternak dan daging hewan," kata Jafi, di Jakarta, Rabu (21/9).

Jafi menilai, keputusan pemerintah untuk mengimpor daging tersebut diberlakukan berdasarkan pertimbangan zona base. Pemerintah juga menjamin, daging kerbau impor India itu telah dicek dari segi kesehatannya. "Jadi sudah dilihat secara dianalisis risiko, aman dikonsumsi, sehat dan bermutu serta halal," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: