JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah menggelontorkan ribuan ton daging sapi beku impor ke pasar demi mencapai target menurunkan harga daging sapi di pasaran yang sudah menyentuh angka Rp120 ribu-Rp130 ribu per kilogram. Pemerintah berupaya keras agar harga di pasaran bisa mencapai Rp80 ribu seperti yang ditetapkan Presiden Joko Widodo.

Sayangnya, strategi mendatangkan daging sapi beku impor itu sepertinya salah sasaran. Pasalnya, masyarakat justru mencari daging sapi segar alias yang baru dipotong untuk keperluan sehari-hari pada bulan puasa dan lebaran nanti.

Suyono (45) seorang pedagang daging sapi di kawasan pasar Pondok Labu, Jakarta Selatan mengatakan, daging sapi beku impor yang dilepas pemerintah ke pasar kurang diminati konsumen. Kebanyakan pembeli, kata dia, mencari daging yang segar dan kualitas baik, pasalnya konsumen masih ragu dengan kualitas daging sapi yang dibekukan.

"Konsumen masih suka daging sapi yang langsung dipotong, bukan yang dibekukan," kata Suyono kepada gresnews.com, Selasa (7/6).

Karena itu, kata dia, secara praktis di pasaran harga daging sapi tidak mungkin turun dengan adanya daging beku impor itu. Pedagang juga menolak untuk menjual daging sapi segar dengan harga seperti yang diminta pemerintah yaitu Rp80 ribu per kilogram karena akan merugikan bagi pedagang daging daging sapi di pasaran.

"Ya kalau kita ikuti kebijakan pemerintah dengan harga jual Rp80 ribu per kilogram, kita rugi karena harga dari distributor yang kita terima diatas harga itu. Di sini kita saja menjual Rp120 ribu per kilogram," kata Suyono.

Menurutnya pedagang juga ingin harga daging sapi disesuaikan dengan permintaan konsumen, tetapi jika harga yang didapatkan dari distributor tinggi, maka pihaknya tidak bisa mengurangi harga tersebut. "Kalau pedagang minta harga stabil, biar pembeli juga ramai. Kita juga tidak ambil untung banyak dari penjualan daging sapi," jelasnya.

Dia berharap agar pemerintah lebih memperhatikan juga para pedagang daging yang ada di pasaran. "Kita maunya pendistribusian kepada pedagang bebas dari mafia daging sapi dan kualitas daging terjamin," katanya.

Peneliti Intitute for Development Economics and Finance (Indef) Aryo Irharma mengatakan, permasalahan harga daging sapi memang tidak akan selesai hanya dengan impor, jika pemerintah tidak segera memperbaiki tata niaga daging sapi. Dia menilai tata niaga daging sapi saat ini sudah tak sehat.

Karena itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus turun tangan. "Salah satu upayanya ialah dengan memperkuat fungsi KPPU, sebab harga pasar daging sapi tidak sehat," kata Aryo kepada gresnews.com, Selasa (7/6).

Aryo menegasan, jika KPPU tidak diperkuat, maka masalah daging sapi akan terus muncul dan solusinya selalu impor dan operasi pasar yang kerap kali menjadi strategi yang tak tepat. "Operasi pasar dan impor daging sapi tidak menjadi solusi untuk menekan harga daging sapi lebih murah, karena akarnya adalah kurangnya stok daging segar dan pendistribusian yang tidak merata," tegasnya.

Sementara itu, terkait masih tingginya harga daging sapi, Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah akan terus melakukan pemantauan, termasuk harga kebutuhan pokok lainnya sepanjang bulan Ramadan ini. Jokowi meminta masyarakat bersabar karena penurunan harga tak bisa terjadi dengan cepat.

"Kita lihat kan sudah dimulai, kalau turun dalam satu sampai dua hari tidak mungkin, nanti dilihat saja perkembanganya," kata Jokowi, di Jakarta, Selasa (6/6).

Jokowi menambahkan, pihaknya akan menyerahkan persoalan tersebut kepada menteri-menteri terkait. Yang jelas, pemerintah tak akan bergeser dari target harga daging sapi di angka Rp80 ribu per kilogram. "Kan ini demand dan supply, kalau sudah sampai, baru saya bicara, sementara ini saya belum bisa ngomong banyak terkait persoalan ini," ucapnya.

KPPU TURUN TANGAN - Sementara itu, Ketua KPPU M Syarkawi Rauf menegaskan, pihaknya juga sudah berupaya untuk membantu pemerintah menstabilkan harga daging sapi. Belum lama ini, KPPU juga telah memberikan hukuman bagi 32 feedloter (usaha penggemukan sapi potong) yang terbukti melakukan praktik kartel daging sapi. "Kita memberikan hukuman bagi 32 feedloter yang terbukti melakukan praktik kartel," kata Syarkawi di Jakarta, Selasa (7/6).

Menurutnya, pada nyaris setiap komoditas ada perusahaan yang dominan menguasai pasar sehingga timbulnya praktik persekongkolan harga. Bahkan KPPU juga mengawasi para importir yang menerima jatah impor daging sapi beku. Hal ini dilakukan karena tidak banyak perusahaan mendapatkan kuota besar.

"Saya tidak tahu, tapi ada 55 importir kurang lebih mendapatkan kuota impor, kita awasi mereka semua, dan tidak banyak yang dapat kuota besar, hanya ada lima sampai tujuh importir besar," ujarnya.

Syarkawi mengatakan, praktik mafia ini juga tumbuh karena panjangnya rantai distribusi pada berbagai macam komoditas pangan di Indonesia. "Di komoditas pangan kita itu masalahnya tidak mudah. Apalagi rantai distribusi yang begitu panjang sudah lama. Penyederhanaan rantai distribusi ini juga akan menghilangkan potensi income bagi sebagian orang. Kalau mereka dipotong rantai distribusinya pendapatan mereka mau nyerap kemana? Sehingga ini memang tidak mudah. Perlu waktu yang jangka menengah panjang," kata Syarkawi.

Syarkawi menyontohkan ketika dirinya berkunjung ke Makassar beberapa minggu lalu. Di sana, harga daging sapi lokal pada 3 minggu sebelum puasa dijual sekitar Rp90 ribu/kg. Dengan jarak tidak jauh, harga di peternak masih sekitar Rp75 ribu/kg atau paling murah Rp70 ribu/kg. Ongkos margin yang diambil oleh pedagang, ditambah dengan biaya-biaya lain membuat harga daging sapi di end user menjadi Rp90 ribu/kg.

Bila distribusi dipangkas, Syarkawi menilai harga daging di bawah Rp80.000/kg seperti yang ditargetkan oleh pemerintah sebenarnya dapat tercapai. "Keuntungan tidak wajar itu hanya bisa dicapai dengan cara melakukan praktek bisnis yang tidak sehat/kartel. Jadi dimana margin yang terlalu tinggi kemungkinan besar di situ terjadi titiknya," pungkasnya.

Hanya saja, kata dia, memangkas rantai distribusi dan menghapus mafia distribusi pangan, khususnya daging, tidak mudah. Ia menilai diperlukan koordinasi yang baik antar Kementerian/Lembaga agar dapat mengatasi panjang distribusi harga pangan seperti daging sapi.

"Perlu waktu yang jangka menengah panjang untuk menyelesaikan persoalan ini. Sehingga koordinasi misalnya dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, termasuk Kementerian Perindustrian sangat penting karena ini yang akan menyiapkan pekerjaan sebagian orang yang berada di rantai distribusi yang panjang itu," katanya.

Penyederhanaan rantai distribusi, kata Syarkawi, membuat margin di masing-masing channel distribusi akan berkurang. Harga di end user juga akan berkurang. "Segala bentuk retribusi, baik yang dipungut oleh pemerintah secara resmi maupun misalnya di pasar-pasar itu kan ada pemain-pemain informal juga. Nah ini juga kadang-kadang menambah margin. Ini semua dibereskan, sehingga membuat harga di end user itu menjadi sama seperti harapan pemerintah Rp80 ribu/kg," tambahnya.

GANDENG KPK - KPPU sendiri dalam memberantas mafia pangan ini juga bekerjasama dengan beberapa instansi, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK akan membantu KPPU menangani persoalan mafia dengan membagi informasi langsung kepada KPPU untuk bisa ditangani lebih lanjut.

"Salah satu fokus yang dikerjakan KPK itu korupsi di bidang pertanian. Karena itu menyangkut kemaslahatan orang banyak. Setelah kami lihat ternyata ada beberapa unsur korupsi di dalamnya," kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif ketika ditemui usai perayaan ulang tahun KPPU ke-16 di Gedung KPPU, Jakarta Pusat, Selasa (7/6).

Pada kesempatan itu, Laode mengungkapkan bahwa beberapa titik di sektor pangan yang rawan adanya praktik korupsi antara pembuat kebijakan dan pebisnis. "Unsur korupsi ini diantaranya kuota impor yang berhubungan dengan sapi dan subsidi rawan korupsi, misalnya komoditas pupuk yang kita tetapkan tersangka dan bansos, di pertanian juga banyak dikorupsi pemda-pemda," tambahnya.

Sementara itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan praktik korupsi ini bisa dicegah dengan memotong rantai distribusi yang terlalu panjang saat ini. Beberapa solusi jangka pendek dan jangka panjang menurutnya bisa menjadi pencegah dan penghambat praktik mafia pangan.

"Solusinya adalah jangka pendek, seperti operasi pasar besar-besaran dengan menggandeng produsen-produsen. Solusi jangka panjangnya adalah toko tani Indonesia, tujuannya memotong rantai pasok. Ini akan buat konsumen untung dan tersenyum, pedagang makmur," pungkasnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan, untuk memastikan impor daging berdampak positif terhadap turunnya harga daging di pasaran, pihaknya akan melakukan pengawasan hingga konsumen. "Langkah konkret yang ingin kami lakukan termasuk melacak pengeceran daging sapi sampai ke tingkat konsumen," tegasnya, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6).

Kesalahan pada tahun sebelumnya, saat impor diberikan kepada BUMN, namun tidak ada pengecekan sampai ke konsumen. Sehingga harga tetap tinggi pada level konsumen.

"Tahun lalu terus terang, kalau BUMN ditugaskan melepas ke pasar, diambil pedagang. Belum tentu pedagang itu menjual ke konsumen dengan harga murah. Bisa saja pedagang menjual dengan harga yang lebih tinggi, Jadi upaya pemerintah seperti hanya mempertebal profit pedagang," paparnya.

Thomas menambahkan, dampak dari tambahan pasokan daging impor memang belum berpegaruh terhadap harga di pasar. Thomas menjanjikan dalam dua pekan mendatang penurunan harga akan terjadi.

"Harus saya akui yang masuk baru ratusan dan ribuan, jadi belum ribuan yang masuk atau terealisasi, yang lain masih on going. Saya yakin dalam dua minggu ini akan terjadi akselerasi pemasokan dengan impor. Sehingga kita bisa mencapai target puluhan ribu ton," tukasnya. (dtc)

BACA JUGA: