JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah pemerintah secara sporadis menggenjot program swasembada daging sapi dinilai sejumlah pihak akan mengancam para pelaku usaha. Pasalnya kondisi saat ini, pasokan daging sapi dari peternak lokal masih belum mencukupi.  Di sisi lain tingginya kebutuhan akan daging sapi dan langkanya pasokan telah mengakibatkan harga daging melonjak tinggi.

Kebutuhan konsumen terhadap daging sapi saat ini sangat tinggi, seperti untuk industri, rumah tangga dan pariwisata membutuhkan daging sapi sebagai konsumsi. Namun, dalam kondisi memprihatinkan,  pemerintah justru bersikeras  mempertahankan program swasembada sapi.

Ketua Dewan Daging Sapi Nasional Soehadji mengatakan, apabila pemerintah ingin melakukan swasembada sapi  harus tahu lebih pentingnya asas kemandirian secara bertahap untuk mengurangi impor.  

"Jika ingin melakukan swasembada sapi, harus tahu secara bertahap asas kemandirian, untuk mengurangi impor, dengan cara menghitung asas kelestarian, ditambah jumlah populasi, ditambah kelahiran, dikurangi angka kematian, kemudian baru dihitung keseimbangan supply demand," kata Soehadji di Kantor HIPMI Bidakara 2 Jakarta, Rabu (24/2).

Sebab, kata dia, hanya dengan cara itu, Indonesia pernah mengalami kelimpahan stok daging sapi pada tahun 1984. Bahkan  produksi sapi dalam negeri bisa mencapai 35 ribu ton daging. Soehadji juga mengingatkan untuk meredam tingginya harga daging dan guna memenuhi kebutuhan pasar, peternak sapi harus melakukan produksi terukur dan berkelanjutan agar ada supply demand di pasar.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang, mengatakan, jika pemerintah benar-benar serius menggenjot swasembada sapi maka harus menyusun blue print jangka panjang dan melakukan langkah yang tepat.

"Kemudian, bisa dengan menarik investor untuk membuka peternakan yang berbasis industri di Indonesia, sebab jika hanya mengandalkan peternak lokal berbasis tradisional  tidak akan berhasil," tegasnya ditemui di lokasi yang sama, Rabu (24/2).

Sarman mengingatkan, jangan sampai  program swasembada sapi tersebut malah merugikan pelaku usaha dan masyarakat.  Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian harus selalu sinergi karena keduanya memiliki pengaruh yang kuat dalam memasok daging sapi di pasaran.

"Jadi untuk swasembada sapi tidak boleh mengorbankan kepentingan pelaku usaha, dan masyarakat. Selanjutnya soal impor perizinan daging sapi sepenuhnya harus diserahkan Kemendag sebagai instansi yang memang menguasai pasar. Namun untuk produksi diserahkan ke Kementan yang memang fokus pada produksi, sementara untuk bisa layak swasembada sapi Indonesia harus memiliki populasi sapi mencapai 40-50 juta ekor," pungkasnya.

PICU KECURANGAN - Sementara itu Sarman mengungkapkan tingginya harga daging sapi menjadi ancaman bagi pelaku usaha, terutama yang bergerak dalam pengelolaan daging, sehingga banyak pelaku usaha yang akhirnya berbuat kecurangan untuk mengantisipasi mahalnya daging sapi .

"Pelaku usaha  adalah pihak yang terancam apabila ketersediaan daging sapi tidak stabil, maka banyak yang menggunakan daging celeng," katanya. Menurut dia, semestinya pemerintah bisa mengontrol harga daging sapi di pasaran sehingga tidak bermunculan kasus-kasus pengoplosan daging sapi dengan daging lainnya.

Sarman menjelaskan, konsumsi daging sapi di dalam negeri masih tergolong sangat sangat rendah yakni hanya 2,61 kg per kapita per tahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Argentina yang tingkat konsumsi daging sapinya mencapai 55 kg perkapita per tahun dan Singapura sekitar 15 kg perkapita per tahun, serta Filipina 7 per kg per tahun. Tetapi harga yang dipatok untuk daging sapi di Indonesia lebih mahal dari negara lain, yakni bisa mencapai  Rp 130 ribu per kilogram.

Menurutnya, semestinya hal inilah yang  diperhatikan pemerintah, dengan menjamin adanya ketersediaan daging sapi, sebab selama ini pemerintah hanya mengandalkan sapi dari rakyat, bukan sapi ternak dari pengusaha. Selain itu, kapal ternak yang disediakan pemerintah juga hanya untuk menekan biaya transportasi dan mempercepat pengiriman, bukan menekan harga daging sapi.

"Untuk tahun ini pemerintah menyediakan 6.075 ton atau 3,9 juta ekor yang bersumber dari lokal dan impor untuk tahun ini cuma 600 ribu ekor, kemudian ditambah 8 ribu ton daging  beku. Menjadi pertanyaan siapa yang dipakai, maka pemerintah harus evaluasi," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah diketahui selalu menghadapi persoalan klasik yang tak kunjung selesai, yakni persoalan gejolak dan fluktuasi harga daging sapi. Kenaikan harga daging sapi yang dipicu kelangkaan stok ini pun semakin tak logis, apalagi menjelang hari-hari besar nasional.

Pembukaan kran impor seolah menjadi senjata utama andalan pemerintah dalam mengatasinya kurangnya ketersediaan sapi dalam negeri. Selanjutnya, juga diperparah oleh permainan mafia sapi yang sengaja mengambil keuntungan dan tentu hal ini kian menambah keadaan semakin parah. Lebih dari itu, tata niaga industri daging perlu perbaikan serius. "Seharusnya pemerintah memperbaiki kekurangan pasokan sapi ini," tandasnya.

Langkah pemerintah meredam gejolak harga daging sapi ini selalu ditunggu masyarakat. Akankah harapan masyarakat yang memimpikan harga daging sapi murah mampu diwujudkan?

BACA JUGA: