JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah kain kiswah atau potongan kain Ka´bah yang diterima Suryadharma Ali ketika menjabat Menteri Agama, masih terus menjadi perdebatan. Baik pihak SDA (panggilan Suryadharma Ali) maupun Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai pendapat masing-masing, tentang arti pemberian tersebut.

Dalam sidang dengan agenda tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan SDA pada sidang pekan lalu, Jaksa mengungkapkan alasan menyematkan pemberian kiswah dalam surat dakwaan.  Pada awalnya, Jaksa Abdul Basir mengakui bahwa kiswah itu tidak mempunyai nilai ekonomis. Meskipun begitu, hal tersebut bukan alasan untuk tidak menjerat SDA dengan pasal tindak pidana korupsi.

Sebabnya, pemberian kain kiswah itu termasuk dalam delik tindak pidana korupsi mengenai pemberian sesuatu atau janji kepada pejabat negara yang berkaitan dengan jabatan yang sedang diemban. SDA kala itu memang masih aktif sebagai Menteri Agama.

Jaksa juga menampik anggapan penetapan tersangka SDA hanya berdasarkan pemberian kiswah. KPK, katanya, sudah mempunyai bukti yang cukup untuk menetapkan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu.

Menurut Basir, sejak 1958, para pendiri bangsa telah merumuskan apa saja yang termasuk dalam delik tindak pidana korupsi. Salah satunya tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga menguntungkan korporasi atau orang lain.

Jaksa Basir malah menganggap pendapat SDA dan tim kuasa hukumnya bahwa pemberian kiswah tidak termasuk pidana adalah pengkerdilan upaya pemberantasan korupsi. "Pemikiran itu secara tidak langsung telah mengkerdilkan upaya pemberantasan korupsi, karena korupsi hanya dipandang sebagai perbuatan yang menguntungkan terdakwa saja," kata Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/9).

Basir juga menjelaskan, aspek historis mengenai arti tindak pidana korupsi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak puluhan tahun lalu, yaitu pada 1957. Dan hal itu juga sudah sesuai dengan pendapat para ahli hukum.

Salah satunya yang ada dalam buku yang berjudul The Control of Birocratic Corruption karya Leisle Palmer. "The use of public power for private provit. in a way constitues a break of law.." This Covers the case not only an official who receives bribes either to act or not to act, but also of the one who takes non, but uses his offices to enrich himself illegally," ujar Jaksa Basir membacakan kutipan tersebut.

Pendapat itu, pada intinya menyebut bahwa korupsi tidak hanya memperkaya/menguntungkan diri sendiri semata, namun harus dipandang sebagai perbuatan yang menguntungkan/memperkaya orang lain dan keuntungan yang didapatkan dari korupsi tidak harus ditukar dengan uang.

"Oleh karena itu sudah tidak lagi relevan dalil penasehat hukum yang memandang korupsi hanya menguntungkan diri sendiri, apalagi memaknai suatu benda yang didapatkan diukur dengan uang," pungkas Basir.

Pendapat Palmer juga sejalan dengan definisi dari Transparansi Internasional yang menyebut korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi sehingga memuat tiga unsur. Pertama menyalahgunakan kekuasaan, kedua yaitu yang dipercayakan baik di sektor publik maupun swasta.

Kemudian untuk yang terakhir keuntungan pribadi yaitu tidak hanya keuntungan untuk diri sendiri bagi orang yang menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi juga bagi anggota keluarga dan teman-temannya.

Dikonfirmasi terpisah, Pelaksana Harian (plh) Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andrianti mengatakan, pihaknya memandang kain kiswah sama seperti barang lainnya yang diduga diberikan karena terkait jabatan atau kedudukan seseorang sebagai pejabat negara.

Menurut Yuyuk, pemberian kiswah tetap nilai. "KPK memandang kain kiswah tetap memiliki nilai seperti halnya lukisan atau barang antik," terang Yuyuk.

PESIMIS EKSEPSINYA DITERIMA - Meski telah berupaya mengajukan nota keberatan atau eksepsi namun pihak SDA maupun kuasa hukumnya pesimis bahwa nota keberatan mereka akan diterima majelis hakim. Sehingga pengadilan akan melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi. "Saya berharap dugaan saya minggu depan hakim akan menetapkan bahwa eksepsi saya ditolak maka sidang dilanjutkan," ujar SDA.

Dasar SDA mengatakan hal itu sebab ia beranggapan beberapa hal yang tertuang dalam eksepsinya dianggap Jaksa sudah masuk materi perkara sehingga harus dibuktikan dipersidangan. Oleh karena itu, ia berasumsi Majelis Hakim akan melanjutkan perkara ini dengan pemeriksaan para saksi.

SDA juga tidak berhenti berkontroversi. Menurutnya, jika kiswah bisa termasuk dalam delik pidana, maka tidak menutup kemungkinan doa yang diberikan seseorang untuk penyelenggara negara juga bisa terjerat pidana.

"Ini menjadi riskan bagi penyelenggaraan hukum di Indonesia. Artinya doa, untuk pejabat itu bisa disebut gratifikasi. Sekarang bisa ditanyakan pejabat yang mana, kalo datang ke pondok pesantren tidak didoakan. Jadi pendapat hakim seperti itu artinya bahwa doa itu bisa menjadi gratifikasi," ujar SDA.

Dengan selesainya pengajuan jawaban atas nota keberatan terdawa maka Majelis Hakim yang diketuai Aswijon akan memberikan putusan sela, pada Senin pekan depan. Apakah majelis hakim itu akan menerima eksepsi SDA, atau kah  menolak, sehingga kasus ini dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi.

DIDAKWA RUGIKAN NEGARA PULUHAN MILIAR - Sebelumnya Mantan Menteri Agama ini dijerat Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan korupsi karena memperkaya diri sendiri hingga mencapai Rp 1,8 miliar dari pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013 dan menerima 1 lembar potongan kain penutup Ka´bah yang disebut kiswah. Seperti dakwaan penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin, 31 Agustus lalu.

Selain menerima sejumlah uang, Suryadharma, selaku Menteri Agama periode 2009-2014, juga diduga melakukan korupsi dana haji,  dengan cara menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, sebanyak 180 orang  hingga merugikan negara senilai Rp 12,778 miliar. Ia juga mengangkat Petugas Pendamping Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan, yakni pendamping Amirul Hajj, sejumlah Rp 354,273 juta.

Juga menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak sesuai peruntukan. Antara lain untuk membayar kepentingan Suryadharma dan keluarga, seperti membayar visa, tiket pesawat, dan pengobatan. Ia juga didakwa memperkaya orang lain dan memperkaya pihak korporasi seperti hotel.

Akibat perbuatannya  terdakwa didakwa merugikan keuangan negara Rp 27,2 miliar dan 17,967. "Atau setidak-tidaknya sejumlah itu, sebagaimana laporan perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan," kata jaksa saat pembacaan dakwaan.

BACA JUGA: