JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus tindak pidana korupsi pelaksanaan ibadah haji di Kementerian Agama yang menjadikan mantan menteri agama Suryadharma Ali sebagai terpidana, masih mempunyai ganjalan tersendiri. Perkara ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal pengembalian kerugian keuangan negara.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta memang telah menjatuhkan voni 6 tahun penjara dan membebankan uang pengganti kepada Suryadharma Ali sebesar Rp1,8 miliar. Tetapi jika dilihat jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan tentunya jumlah itu belum cukup.

Atas perbuatannya, Suryadharma mengakibatkan negara rugi hingga Rp27,283 miliar dan juga Saudian Real (SR(17,967 juta. Jika Suryadharma dibebankan mengganti Rp1,8 miliar, berarti lebih dari Rp25 miliar dan SR17,967 miliar masih berada pada pihak lain yang menikmati uang ini.

Dalam putusan majelis hakim, Suryadharma memang disebut memperkaya pihak-pihak lain mulai dari Petugas Pelaksana Ibadah Haji (PPIH), penyedia pemondokan, Wardhatul Asriyah yang merupakan istri Suryadharma Ali, serta sejumlah anggota DPR terutama yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Nama-nama lain yang disebut menerima sejumlah uang dari korupsi haji ini adalah Hasrul Azwar, Chairunnisa, Jazuli Juwaini Said Abdullah, dan juga Zulkarnaen Djabar. Dari sederetan nama tersebut, Hasrul Azwar menjadi salah satu penikmat korupsi terbanyak.

Nama Hasrul, juga secara konsisten disebut dalam surat dakwaan, surat tuntutan, hingga amar putusan majelis hakim. Salah satu anggota majelis yaitu hakim Sutio Djumagi Akhirno tidak segan menyebut Hasrul sebagai salah satu pihak yang ikut diperkaya Suryadharma dari perbuatan korupsi yang dilakukannya.

"Hasrul Azwar menerima fee dari Salim Saleh Badegel sebesar SR30 per jemaah, sehingga fee yang diterima Hasrul Azwar untuk penyewaan rumah di Madinah SR138 ribu," kata Hakim Sutio Djumagi. Senin (12/1) malam. Jumlah jamaah pada pemondokan itu adalah 46.366.

Kemudian Hasrul kembali menerima sejumlah imbalan dari bantuannya agar meloloskan hotel transito At-Thoiroh Towers dan Al-Mukhtarah yang kapasitas totalnya 49.891 jemaah. Ia menerima fee SR20 per jamaah sehingga mendapat SR99.782. Dan jika ditotal, Hasrul berarti mendapat SR237.782 atau sekitar Rp880 juta dengan taksiran SR1 sama dengan Rp3.700.

Sementara itu, dua jaksa KPK yang menangani perkara Suryadharma Ali yaitu Abdul Basir dan juga Kristanti Yuni Purnawanti mengatakan, pihaknya akan terus mencoba mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dalam perkara ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjerat pihak-pihak yang paling banyak menerima uang tersebut.

Hal itu disampaikan jaksa Abdul Basir kepada gresnews.com seusai sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. "Ya itu kan ada pihak-pihak yang menerima. Kalau PPIH itu kan banyak, agak sulit," kata Basir.

Saat ditanya apakah salah satu nama yang akan diminta pertanggungjawabannya adalah Hasrul Azwar, Basir tidaka menampiknya. "Pokoknya siapa saja yang bisa kita proses di penuntutan," pungkas Basir.

Senada dengan koleganya, jaksa Kristanti Yuni Purnawanti yang merupakan ketua tim penuntut umum dalam perkara ini juga mengindikasikan hal yang sama. Wanita yang kerap disapa Yuni ini bahkan secara tidak langsung mengakui bahwa beberapa nama termasuk Hasrul Azwar menjadi salah satu bidikan utama KPK.

"Kalau itu ditunggu aja (Hasrul Azwar-red) sebentar lagi," ujar jaksa yang juga menangani perkara kasus Ketua Hakim PTUN Medan, Tripeni Irianto Putro ini kepada gresnews.com.

KETERLIBATAN HASRUL - Keterlibatan Hasrul terungkap dalam surat dakwaan dan berlanjut dalam surat tuntutan. Awalnya, dalam penyewaan perumaah Jemaah Haji di Arab Saudi pada 2012. Semenjak dilantik menjadi Menteri Agama, Suryadharma meminta Hasrul untuk tidak keluar dari Komisi VIII dengan tujuan untuk membantu kegiatan Kementerian Agama termasuk mendukung segala kebijakan Suryadharma.

Keduanya memang berasal dari kendaraan politik yang sama yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Suryadharma merupakan ketua umum dan Hasrul merupakan pendamping dengan jabatan wakil ketua.

Pada sekitar 2010, Suryadharma bertemu dengan Saleh Saleem Badegel, Hasrul Azwar dan Sami Almatravi selaku pemilik muasassah Al-Mukhtarah di hotel Intercontinental Madinah guna membicarakan permintaan Sami Al-Matravi agar majmuah (pemondokan) Al Mukhtarah dipergunakan sebagai jemaah haji Indonesia.

Sebelum pertemuan, Saleh Saleem Badegel meminta bantuan agar Al-Mukhtarah disewa oleh pemerintah Indonesia, karena selama bertahun-tahun pemondokan itu tidak pernah disewa. Terhadap permintaan Saleh Saleem Badegel, kemudian Hasrul menyanggupinya. Ia berkata akan menyampaikan hal itu ke rekan-rekannya di Kementerian Agama agar menjadi perhatian.

Permintaan itu pun akhirnya terealisasi. Sebab, pada musim haji pada 2011 selama 2012 pemondokan itu akhirnya selalu disewa oleh pemerintah Indonesia.

Selanjutnya, pada sekitar 2010, Suryadharma juga melakukan pertemuan dengan pemilik pemondokan lain yaitu Undang Sahroni di Kantor Kementerian Agama. Dalam pertemuan itu, Undang yang mewakili pemondokan Makarim Madinah meminta bantuan agar tempatnya disewa pemerintah Indonesia.

Setelah pelaksanaan haji 2010, Suryadharma memerintahkan Slamet Riyanto agar mulai 2011 penyewaan perumahan di Madinah dan Jeddah menggunakan harga plafon. Perintah itu dimasukkan dalam Keputusan Dirjen Pelaksanaan Haji dan Umroh (PHU) No. D/3 tahun 2011 serta Keputusan Dirjen PHU Nomor D/30 tahun 2012.

Dalam pedoman tersebut ditetapkan untuk penyewaan perumahan di Madinah menggunakan harga plafon sebesar SR650 per jamaah untuk pelayanan selama 9 hari. Dan untuk penyewaan hotel transito Jeddah menggunakan harga plafon sebesar SR100 per jemaah per hari.

Ada yang menarik dari sosok Hasrul Azwar ini. Di satu sisi, namanya tidak pernah lepas disebut menerima sejumlah uang dalam perkara korupsi haji Suryadharma Ali. Tapi disisi lain, Hasrul juga merupakan salah satu anggota Komisi III DPR RI yang ikut menyeleksi calon pimpinan KPK.

Dalam proses uji kelayakan, Hasrul juga pernah menyindir Johan Budi Sapto Pribowo mantan pelaksana tugas sekaligus calon pimpinan ketika itu. Menurut Hasrul gaya bicara Johan Budi dengan jargonnya mempunyai dua alat bukti yang cukup pada saat menetapkan tersangka dianggap tidak etis.

Padahal, Hasrul sendiri sudah dicegah keluar negeri sejak kasus Suryadharma masuk dalam proses penyidikan. Pencegahan Hasrul dilakukan pada Senin 8 September 2014 lalu.

Hasrul pula yang mengatakan bahwa kader partai politik bisa menjadi pimpinan KPK. Hal ini dicetuskan pada saat salah satu kader PPP Ahmad Yani disebut-sebut ingin mendaftar menjadi calon pimpinan lembaga antirasuah itu.

Ketua Fraksi PPP di DPR ini juga pernah membuat kontroversi yang diingat publik. Ia merupakan anggot dewan yang membanting meja pada sidang paripurna yang digelar pada 28 Oktober 2014 lalu. Ketika itu Hasrul tidak puas dengan keputusan pimpinan sidang Agus Hermanto.

VONIS SURYADHARMA ALI - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukum Suryadharma Ali dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp300 juta subsidair 3 bulan kurungan. Dia itu dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada saat menjabat menteri agama.

Suryadharma dinyatakan terbukti melanggar dakwaan kedua Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juncto Pasal 18 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana.

"Menyatakan terdakwa Suryadharma Ali terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan kedua," kata Hakim Ketua Aswijon saat membacakan amar putusan, Senin (11/1).

Menurut majelis hakim, Suryadharma melakukan berbagai kesalahan pada saat pelaksanaan ibadah haji pada sekitar 2010 hingga 2013. Kesalahan itu meliputi penunjukan Petugas Pelaksana Ibadah Haji (PPIH), dalam penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM) periode 2011 hingga 2014,

Selanjutnya, Suryadharma juga dipersalahkan melakukan korupsi dalam penyewaan perumahan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi pada 2010 dan 2012. Suryadharma juga dianggap bersalah dalam pemanfaatan Sisa Kuota Haji Nasional pada 2010 hingga 2012.

"Terdakwa telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain, sehingga kewenangan itu digunakan secara salah oleh terdakwa," kata Hakim Anggota Sutarjo.

Dalam keterangannya, hakim anggota Sutarjo membeberkan kesalahan yang diperbuat Suryadharma selama menjabat sebagai menteri agama yang dimulai dari penunjukkan PPIH. Hakim Sutarjo menerangkan, penunjukan petugas haji harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan.

Diantaranya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berasal dari kementerian/lembaga yang memang mempunyai hubungan dengan Kementerian Agama seperti Kementerian Kesehatan, dan lainnya. Selain itu, PPIH juga harus menjalani tes yang diselenggarakan.

Tetapi dalam praktiknya, Suryadharma melanggar hal itu. Ia "Terdakwa mengakomodir permintaan anggota DPR Komisi VIII," kata Hakim Sutarjo.

Tak hanya itu, sejumlah kerabat dekat seperti mantan ajudan, simpatisan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta pihak-pihak lain yang tidak sesuai dengan persyaratan juga diikutsertakan sebagai petugas haji.

Akibat dari kesalahan ini, negara dirugikan lebih dari Rp13 miliar. Pertama pada 2010, pembayaran kepada 37 orang petugas haji yang tidak memenuhi syarat totalnya mencapai Rp2,5 miliar. Kemudian pada 2011 kepada 40 orang yang nilainya Rp2,8 miliar.

Untuk pertama kalinya, Suryadharma juga menunjuk pendamping Amirul Haj pada tahun haji 2012. Padahal istilah ini sama sekali tidak ada dalam pelaksanaan ibadah haji sebelumnya serta tidak dialokasikan dalam APBN. Dan parahnya lagi, pendamping Amirul Haj itu salah satunya adalah istrinya sendiri dan mendapat bayaran dari negara sekitar Rp56 juta dari keseluruhan pendamping sebanyak 7 orang dengan total sekitar Rp354 juta.

"Pembayaran PPIH yang tidak memenuhi syarat pada tahun haji 2012 kepada 39 orang sebesar Rp2,8 miliar. Dan pada 2013 pembayaran PPIH kepada 64 orang sebesar Rp4,5 miliar," tutur Hakim Sutarjo.

Selanjutnya dalam penggunaan DOM juga tidak sesuai dengan peruntukkan yang ada. Suryadharma menggunakan Rp1,8 miliar dana DOM untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun para koleganya. Dan hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tahun 2006 tentang DOM.

"Terdakwa selaku pengguna anggaran telah mempergunakan uang untuk terdakwa, keluarga sebesar Rp1,8 miliar. Dan hal itu tidak sesuai dengan PMK 2006 tentang DOM yang seharusnya berdasarkan pertimbangan kebijakan, tidak untuk kepentingan pribadi," kata hakim anggota lainnya Sutio Djumagi Akhirno.

Kesalahan lainnya yaitu dalam hal penunjukkan penyewaan pemondokan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Suryadharma memilih lokasi yang sebelumnya ditolak tim verifikasi Indonesia yang ada di Arab Saudi. Syare´ Mansyur dan Thandabawi yang dijadikan lokasi penyewaan dianggap tidak memenuhi syarat.

Alasannya, lokasi itu tidak familiar dengan para jamaah haji, rawan kriminalitas karena banyak orang kulit hitam yang tinggal. Kemudian lokasi tersebut juga tidak memiliki fasilitas yang memadai, dan terakhir lokasi yang dimaksud juga jauh dari tempat ibadah para jamaah.

"Rumah pemondokan yang diajukan muchlisin awalnya ditolak. Tetapi dengan bantuan terdakwa akhirnya diterima dengan syarat tim Kementerian Agama meminta Muchlisin menyediakan bus shalawat, tetapi kenyataannya keberadaan bus hanya beberapa hari saja," pungkas Hakim Sutio.

Kesalahan berikutnya yang diperbuat Suryadharma yaitu terkait pemanfaatan Sisa Kuota Haji Nasional (SKHN). Sebelumnya, Suryadharma menetapkan usia 75 tahun untuk orang yang berhak mendapatkan SKHN.

Tetapi, pada 2012, batas usia itu tiba-tiba dinaikkan menjadi 87 tahun. Hal ini dilakukan agar SKHN yang diisi oleh khalayak jauh lebih sedikit dan bisa dimanfaatkan Suryadharma untuk memasukkan orang-orang dekatnya maupun titipan dari Komisi VIII DPR RI.

KEMUNGKINAN BANDING - Dalam amar putusannya, majelis hakim juga mengenakan pidana tambahan yang ada dalam pasal 18 Undang-Undang Tipikor. Suryadharma diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,8 miliar, dari jumlah keseluruhan kerugian negara mencapai Rp27,283 miliar dan juga Saudian Real (SR)17,967 juta.

Jumlah uang senilai Rp1,8 miliar itu merupakan uang DOM yang digunakannya untuk keperluan pribadi maupun keluarganya. Mantan Ketua Umum PPP ini dianggap menyalahgunakan dana DOM yang seharusnya hanya digunakan untuk operasionalnya sebagai menteri.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa untuk membayar pidana pengganti Rp1,8 miliar. Apabila tidak dibayar maka diganti pidana penjara selama 2 tahun," kata Hakim Ketua Aswijon.

Namun, Majelis Hakim tidak setuju dengan adanya pencabutan hak politik bagi Suryadharma selama 5 tahun sesuai surat tuntutan jaksa. Menurut Hakim Aswijon, hukuman pidana yang dijatuhkan dianggap sudah cukup adil.

"Apalagi jika dilihat pelaksanaan ibadah haji pada saat terdakwa menjadi Menteri Agama jauh lebih baik dari tahun sebelumnya," imbuh Hakim Ketua Aswijon.

Mendengar putusan ini, Suryadharma tampak kecewa. Menurutnya apa yang diputuskan majelis hakim masih jauh dari fakta persidangan dan juga rasa keadilan terhadap dirinya. Tetapi, ia mengaku masih memerlukan waktu untuk memikirkan apakah akan mengambil langkah hukum selanjutnya ataupun menerima putusan tersebut.

"Setelah saya menerima secara seksama pertimbangan hukum yang disampaikan sampai dengan putusan yang ditetapkan maka izinkan saya berpendapat apa yang disampaikan sama sekali tidak mempertimbangkan fakta yang terjadi di dalam pengadilan yang diselenggarakan atas nama Tuhan dan bagi agama saya tas nama Allah SWT. Berikan saya kesempatan untuk berpikir-pikir bersama penasehat hukum saya," imbuh Suryadharma.

Hal yang sama dikatakan jaksa KPK yang diwakili Abdul Basir. Meskipun putusan ini belum mencapai 2/3 dari tuntutan selama 11 tahun. Biasanya jika belum mencapai persentasi itu, jaksa KPK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. "Kami penuntut umum akan pikir-pikir sesuai tenggat waktu yang diberikan," cetus Jaksa Basir.

BACA JUGA: