JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keterlibatan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam kasus korupsi haji semakin menguat. Sejumlah nama anggota Komisi VIII periode 2009-2014 telah masuk dalam daftar bidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditetapkan sebagai tersangka melalui Laporan Kejadian Tindak Pidana (LKTP).  

Dalam sidang pembacaan tuntutan kepada terdakwa korupsi haji mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Sejumlah anggota dewan khususnya Komisi VIII periode 2009-2014 itu disebutkan turut menerima sejumlah fee dari korupsi dana haji yang diduga dilakukan Suryadharma.

Nama-nama yang disebut dalam pembacaan tuntutan adalah Hasrul Azwar, Chairunnisa, Jazuli Juwaini Said Abdullah, dan juga Zulkarnaen Djabar. Dari nama-nama tersebut, Hasrul Azwar paling sering disebut dalam surat tuntutan tersebut.

Diungkapkan Jaksa Abdul Basir, awal keterlibatan Hazrul bermula dari proses sewa menyewa pemondokan Jemaah Haji di Arab Saudi pada 2012. Semenjak dilantik menjadi Menteri Agama, Suryadharma meminta Hasrul untuk tidak keluar dari Komisi VIII dengan tujuan untuk membantu kegiatan Kementerian Agama termasuk mendukung segala kebijakan Suryadharma.

Maklum saja, keduanya berasal dari partai politik yang sama yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dimana Suryadharma merupakan ketua umum PPP dan Hasrul merupakan wakil ketua umum.

Diungkapkan Jaksa pada sekitar 2010, Suryadharma bertemu dengan Saleh Saleem Badegel, Hasrul Azwar dan Sami Almatravi selaku pemilik muasassah Al-Mukhtarah di hotel Intercontinental Madinah guna membicarakan permintaan Sami Al-Matravi agar majmuah (pemondokan) Al Mukhtarah dipergunakan sebagai penginapan jemaah haji Indonesia.

Sebelum pertemuan, Saleh Saleem Badegel meminta bantuan agar Al-Mukhtarah disewa pemerintah Indonesia, karena selama bertahun-tahun pemondokan itu tidak pernah disewa. Terhadap permintaan Saleh Saleem Badegel, kemudian Hasrul menjawab, "Ya, nanti saya sampaikan kepada teman-teman yang berada di Departemen Agama biar diperhatikan," ujar Jaksa Basir dalam transkip percakapan surat dakwaan.

Permintaan itu pun akhirnya terealisasi. Sebab, pada musim haji 2011 -2012 pemondokan itu akhirnya selalu disewa oleh pemerintah Indonesia.

Pada sekitar 2010, Suryadharma juga melakukan pertemuan dengan pemilik pemondokan lain yaitu Undang Sahroni di Kantor Kementerian Agama. Dalam pertemuan itu, Undang yang mewakili pemondokan Makarim Madinah meminta bantuan agar tempatnya juga disewa pemerintah Indonesia.

"Bahwa setelah pelaksanaan haji 2010, terdakwa memerintahkan Slamet Riyanto agar mulai 2011 penyewaan perumahan di Madinah dan Jeddah menggunakan harga plafon. Perintah itu dimasukkan dalam Keputusan Dirjen Pelaksanaan Haji dan Umroh (PHU) No. D/3 tahun 2011 serta Keputusan Dirjen PHU Nomor D/30 tahun 2012.

"Dalam pedoman tersebut ditetapkan untuk penyewaan pemondokan di Madinah menggunakan harga plafon sebesar SR (Saudi Real)650 per jamaah untuk pelayanan selama 9 hari. Dan untuk penyewaan hotel transito Jeddah menggunakan harga plafon sebesar SR100 per jemaah per hari," tutur Jaksa Basir.


KEMUNGKINAN JERAT HASRUL - Jaksa KPK lainnya Muhammad Wirasakjaya juga mengungkap berapa besaran imbalan yang diterima Hasrul Azwar dalam penyewaan pemondokan pada tahun haji 2012. Menurut Jaksa Wira, sebagai realisasi kesepakatan fee, Saleh Saleem Badegel memberikan kepada Hasrul SR30 atau Rp111 ribu per jamaah.

Adapun jumlah majmuah yang ditawarkan Saleh Saleem dan dikontrak adalah pemondokannya dengan kapasitas 46.366 jemaah. Sehingga fee yang diterima Hasrul untuk penyewaan di Madinah sejumlah SR138 ribu.

Hasrul juga mendapat imbalan lain dari penyewaan hotel transito yaitu sebanyak SR20 per jamaah dari Saleh Saleem. Adapun hotel yang ditawarkan yang akhirnya dikontrak adalah At-Thoiroh Towers dan Al-Mukhtarah yang kapasitas totalnya 49.891 jemaah.

"Sehingga fee yang diterima sejumlah SR99.782," tutur Jaksa Wira. Dari imbalan tersebut jika dijumlahkan dan dikonversi dengan nilai rupiah versi Bank Mandiri pada 23 Desember 2015, SR1 sama dengan Rp3.791. Jumlah yang diterima Hasrul lebih dari Rp880 juta.

Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk menjerat Hasrul yang diduga terlibat perkara ini. "Selama ditemukan alat bukti  cukup yang berkaitan dengan kasusnya ya mungkin saja," tutur Yuyuk kepada gresnews.com, Kamis (24/12).

Informasi yang diperoleh gresnews.com, dari hasil gelar perkara dan berdasarkan fakta dan bukti dipersidangan, maka Laporan Kejadian Tindak Pidana (LKTP) atas nama Hasrul Azwar sudah ada. Demikian juga dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Hasrul juga disebut-sebut telah disusun dan berada di meja pimpinan.

Hanya saja karena bertepatan dengan ada berganti kepemimpinan KPK, maka Sprindik itu sementara ini ditunda dan belum ditandatangani. Yuyuk saat dikonfirmasi perihal ini mengaku belum bisa memastikan hal itu. "Nanti coba dicek setelah liburan ini," ujar Yuyuk.

BACA JUGA: