JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri mengaku menemukan bukti awal yang cukup untuk menetapkan tersangka atas melonjaknya harga daging sapi. Saat ini penyidik masih menunggu keterangan ahli untuk memperkuat sangkaan polisi atas dugaan penimbunan sapi oleh sejumlah feedloter.

Pada Senin (24/8) kemarin penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) telah melakukan gelar perkara kasus dugaan pidana penimbunan sapi. Hadir dalam forum gelar perkara itu pihak Kementerian Perdagangan dan Pertanian dan sejumlah ahli. Namun dari gelar perkara itu, ahli menyatakan belum menyatakan ada unsur pidana.

"Kami akan panggil ahli lagi untuk menyatakan ada pidana," kata Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso di Mabes Polri, Selasa (25/8).

Polisi memastikan baru menetapkan tersangka setelah mendapatkan keterangan ahli. Sebab, polisi khawatir dalam persidangan pidana yang disangkakan pada para pemilik feedloter lemah. Tim penyidik masih melakukan kajian atas aturan yang menyatakan penimbunan sapi bukan pidana.

Polisi menyatakan penyidikan kasus ini telah selesai. Pemeriksaan saksi termasuk calon tersangka telah dilakukan. Saat ini hanya menunggu keterangan ahli untuk memperkuat sangkaan penyidik. "Pemberkasan kami sudah selesai, calon tersangka sudah ada," tandas pria yang akrab disapa Buwas ini.

TERGANJAL PERPRES - Langkah Bareskrim mempidanakan feedloter karena diduga melakukan penimbunan terganjal sejumlah aturan. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 107 dan 29 UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan menyatakan penimbunan bahan pokok bisa dipidana.

Namun dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting lebih rinci dijelaskan syarat penimbunan harus mencapai 15 ribu plus  1 ekor. Sementara temuan Bareskrim sapi yang ditimbun baru 5 ribuan ekor. "Jadi para ahli menyatakan dengan mengacu perpres tersebut belum ada unsur pidana," kata Buwas.

Sebelumnya Direktur Dittipedeksus Brigjen Victor E Simanjuntak mengatakan para tersangka dugaan kasus penimbunan sapi ini akan dikenakan sejumlah pasal berlapis. Di antaranya Pasal 53 UU 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 107 dan 29 UU 7 tahun 2014 tentang Perdagangan yang dikaitkan dengan Perpres Nomor 71 tahun 2015. "Sapi itu merupakan bahan pokok, sehingga bila seseorang terbukti menimbun daging sapi berarti dia telah melanggar pasal itu," kata Victor.

Diketahui Perpres 71 tahun 2015 ditandatangani Presiden Joko Widodo dengan tujuanya untuk menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga barang yang beredar di pasar. Presiden Joko Widodo berharap masalah kelangkaan dan gejolak harga barang bisa diatasi dengan segera.

Dalam salah satu pasal perpres disebutkan adanya larangan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting di gudang ketika terjadi kelangkaan barang, gejolak harga atau ketika terjadi hambatan lalu lintas perdagangan barang. Barang kebutuhan pokok yang dimaksud dalam perpres ini adalah hasil pertanian (beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, bawang merah), hasil industri (gula, minyak goreng, tepung terigu), dan hasil peternakan dan perikanan (daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang).

Sedangkan barang penting meliputi benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

Melalui perpres ini, dalam kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah pusat wajib menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting. Misalnya jika terjadi gangguan pasokan atau harganya berada di atau atau di bawah harga acuan yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan.

BUKAN GANJALAN - Sementara menurut pengamat pangan Chudori dengan adanya Perpres 71 tahun 2015 akan lebih mudah polisi untuk menindak pengusaha yang melakukan penimbunan bahan pokok. Sebab sebelum adanya perpres ini, definisi menimbun tidak jelas.

"Dengan perpres ini yang dimaksud menimbun menjadi jelas, jadi bukan ganjalan untuk menindak," kata Chudori kepada gresnews.com, Selasa (25/8).

Chudori memaklumi kesulitan polisi mengungkap dugaan pidana dalam kasus ini. Untuk mengungkap praktik kartel dan mafia tidak mudah.

Namun Chudori menegaskan, Perpres 71 tersebut lebih memperjelas apa itu menimbun. Hanya memang ada beberapa yang dikecualikan seperti menimbun bahan baku. Misalnya sebuah pabrik terigu harus menyediakan pasokan bahan baku dasar berupa gandum dalam beberapa bulan. Sehingga pengusaha perlu melakukan penimbunan untuk ketersediaan pabriknya.

"Yang dikecualikan masuk penimbunan yang masuk bahan baku dasar, itu lepas dari pidana," kata Chodori.

BEREDAR SURAT LARANGAN - Polisi mensinyalir ada upaya menimbulkan keresahan dengan membuat daging langka yang dilakukan dengan sistematis dan terorganisir. Salah satu temuan penyidik adanya surat edaran yang berisi larangan berjualan daging sapi. Akibat larangan itu daging langka dan harga melonjak tinggi.

Menurut Victor penyidik tengah mendalami surat edaran tersebut dengan memanggil pihak asosiasi. Asosiasi yang telah diperiksa adalah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), serta Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI).

"Pemeriksaan untuk mendalami surat tersebut terkait dugaan adanya unsur melawan hukum," jelas Victor.

Polisi bahkan menemukan adanya edaran dari asosasi yang melarang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) untuk memotong sapi. "Surat itu ada, ada 2 surat edaran. Satu dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), satu lagi dari asosiasi pedagang daging sapi," kata Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Agung Marlianto di Jakarta, Senin (24/8/2015).

Menurut Agung, surat edaran tersebut berisi provokasi yang di antaranya melarang RPH untuk memotong sapi. Surat edaran juga melarang pedagang sapi untuk menjual daging sapi.

"Kalau sebetulnya bisa saya katakan (isi surat edaran) provokatif dan. Intimidatif. Formatnya edaran, tapi isinya semua RPH dilarang melakukan pemotongan sapi selama 4  hari, sementara untuk pedagang sapi dilarang menjual daging sapi walaupun dalam bentuk daging sapi beku," jelasnya.

Dalam surat edaran itu pula, asosiasi menekankan akan memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar surat edaran tersebut. "Apabila ada (yang memotong atau menjual daging sapi-red) maka akan dikenakan sanksi. Sanksinya bukan hanya tertera di situ, tapi juga diintimidasi bahkan sampai ada kekerasan psikis dan fisik," imbuhnya.

Untuk diketahui, Bareskrim Polri lebih dulu menemukan surat edaran yang melarang RPH untuk memotong sapi ini. Diduga, dengan adanya surat edaran tersebut, daging sapi menjadi langka. Kalau pun ada, harganya melonjak tinggi. Kenaikan harga daging sapi ini lah yang dikeluhkan oleh para pedagang daging sapi. Bahkan para pedagang daging sapi berdemo karena mahalnya harga daging.

Seperti diketahui, Bareskrim telah menggeledah sejumlah perusahaan penggemukan sapi itu di antaranya PT BPS dan PT TUM di Tangerang, Banten. Di PT BPS, penyidik menemukan 3.164 ekor sapi, 500 ekor di antaranya sudah layak jual atau potong, namun tetap berada di peternakan. Pemilik perusahaan tersebut adalah BH, PH, dan SH yang juga pemilik PT TUM.

Sementara saat penggeledahan di PT TUM, penyidik menemukan data 18.524 ekor sapi, 4.000 ekor di antaranya masih di peternakan. Selain itu, penyidik kepolisian juga telah melakukan penggrebekan di tempat penimbunan 2.500 sapi milik PT. WMP di Desa Mampir, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. (dtc)

BACA JUGA: