JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso berencana mengenakan pasal-pasal UU Pidana dan UU Terorisme kepada para pengusaha penggemukan sapi (feedloter) yang terbukti sengaja menahan stok sapi siap potong yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan daging sapi. Kelangkaan ini sempat mengakibatkan pedagang mogok tak mau menjual daging sapi karena harganya yang kelewat mahal sehingga pembeli enggan.

"Nggak sulit (pidanakan), saya mau konstruksikan UU Pidana dan UU Terorisme. Dengan harga yang tinggi ini apa, jadinya teror terhadap masyarakat dan pemerintah. Harga tinggi ini siapa yang resah, kan masyarakat," kata pria yang akrab disapa Buwas ini, di Jakarta, Jumat (14/8).

Mabes Polri memang menduga ada sekelompok pengusaha yang melakukan sesuatu secara bersamaan dengan tujuan tertentu. "Ini akan kami kaitkan ini dengan itu. Tujuannya memaksa seseorang atau pemerintah melakukan sesuatu," sambung Buwas menjelaskan.

Kendati feedloter merupakan tempat usaha penggemukan dan bukan pemotongan sapi, Buwas mengatakan antara dua hal itu merupakan saling berkaitan. Sebab tidak mungkin feedloter berdiri sendiri, butuh jaringan distribusi.

"Ini kan keterkaitan. Hubungannya seperti apa, bisa jadi kerjasama antara perusahaan pemotongan dengan penghematan. Importir itu harus bikin jaringan distribusi. Ini sudah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan. Semua ada," ujarnya.

Menurut Buwas, pihaknya telah memiliki bukti permulaan pada penemuan ini. Bukti permulaan itu berupa 5.000 ekor sapi siap potong tapi tidak dipotong, hingga berujung pada kelangkaan daging sapi.

"Sapi itu kalau sudah maksimal kalau nggak dipotong akan turun beratnya dan kualitas daging. Lalu mengapa pengusaha ini mau rugi, ini pasti ada tujuan lagi. Ini pasti ada tujuan teror pada pemerintah dan masyarakat. Jadi jangan main-main masalah sembako," pungkasnya.

Ancaman Buwas ini membuat para pengusaha feedloter ketar-ketir. Mereka meminta polisi mendalami dulu kasus kelangkaan daging sapi ini sebelum menentukan langkah hukum. Pasalnya, para pengusaha feedloter justru merasa menjadi kambing hitam dalam perkara ini.

"Kami menjadi pihak yang kejatuhan tangga dalam kasus lonjakan harga daging sapi ini," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter John Liano kepada gresnews.com, Minggu (16/8).

PEMERINTAH SALAH HITUNG STOK SAPI - John Liano mengatakan, kejadian naiknya harga daging sapi ini terjadi justru lantaran ulah pemerintah sendiri. Dia mengatakan, pemerintah salah hitung soal stok sapi siap potong yang tak mau diakui pemerintah. "Justri malah feedloter yang dijadikan sebagai kambing hitam," keluhnya.

Ini, kata dia, seperti kejatuhan tangga dua kali. Pertama, pemerintah menumpahkan kesalahan dan akan mempidanakan dengan UU terorisme. Kedua, hasil produksi feedloter pun tak laku dijual lantaran aksi mogok yang dilakukan para pedagang.

"Disamakan dulu persepsinya, apa yang dimaksud penimbunan. Pemerintah sekarang bilangnya mau menggenjot investasi dalam negeri, tapi kami seolah dimatikan," ujarnya.

Kesalahan hitung pemerintah, kata Liano, adalah menganggap pasokan daging lokal sangat cukup sehingga kran impor dibatasi. Padahal, permintaan pasar semakin naik sementara pemerintah tak menggenjot produksi lokal dan menutup kran impor.

Tentu dalam hal ini supply atau pasokan menjadi terganggu dan terjadi lonjakan harga daging. "Perhitungan harusnya akurat, karena akan dikoreksi pasar imbasnya seperti ini. Jangan kekeliruan hitung supply lokal ditumpahkan ke kita, dikira kita menimbun," keluhnya.

Ia pun membalikkan kondisi dimana saat Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan pasokan daging sapi cukup untuk 4 bulan ke depan namun di sisi lain Menteri Perdagangan saat itu, Rachmat Gobel, malah mau mengimpor sapi dengan memberdayakan Perum Bulog. Dua hal kontradiktif ini pun dipertanyakan Liano. Menurutnya, jika memang pasokan cukup, maka tentu kran impor tak perlu dibuka. Hal inilah yang diindikasikan olehnya sebagai bukti kosong ketersediaan stok daging di lapangan yang dinyatakan Mentan Amran Sulaiman.

Liano menjelaskan, jika memang stok yang ada mencapai 170 ribu ekor sapi dan cukup hingga 4 bulan seperti yang dikatakan, maka jatah per bulan bisa dikatakan sekitar 40,25 ribu ekor sapi per bulan. Kebutuhan daging sapi nasional pun diketahui mencapai 300 ribu ekor per bulan. "Lalu dari mana kekurangan stok sebanyak 250,75 ribu ekor lainnya?" tanya Liano.

Padahal, dalam kondisi normal, feedloter dapat mengeluarkan lebih dari 60 ribu ekor sapi setiap bulannya. Namun, dalam kondisi ini, sapi dikeluarkan hanya sebesar 40 ribu ekor saja. "Ini masalah simpel tapi dibuat rumit, pemerintah tak mau akui demand meningkat tapi supply-nya  kosong," ujarnya.

POSISI FEEDLOTER - Dalam rantai pasokan daging, ketika sapi pertama masuk ke kandang akan dikarantina hingga dua minggu lamanya. Lalu setelah dinyatakan lolos, sapi-sapi itu akan memasuki proses produksi, dimana sapi-sapi ini harus ditingkatkan lagi bobot dagingnya selama 4 bulan. Disinilah pihak feedloter berperan dalam menggemukkan sapi-sapi itu.

Dalam sehari, sapi-sapi ini diberi makan 1-1,3 kg yang menghabiskan dana sekitar Rp38 ribu/ekor/hari hingga beratnya mencapai 280-450 kg alias siap untuk dipotong.

Setelah beratnya memenuhi, maka sapi akan dijual ke rumah pemotongan hewan atau jagal, atau pengusaha pemotongan sapi. Dari pengusaha potong inilah daging-daging sapi didistribusi ke penjual-penjual kecil atau industri. Karena itu, ketika feedloter menyimpan stoknya, kata Liano, belum bisa dipersepsikan sebagai penimbunan.

"Kita samakan dulu apa sih yang disebut penimbunan? Jika kami menimbun, maka cost untuk makan harus keluar, tak ekonomis. Sementara sekarang distribusi terhambat karena pedagang mogok," katanya.

Ketika feedloter tetap memilih memasok sapi, maka di tempat penjagalan pun akan terbengkalai begitu saja. Sebaliknya, jika memang pasokan sapi tercukupi oleh stok dalam negeri, ia pun mendukung tak dilakukannya impor. Bahkan untuk menormalkan harga daging, para feedloter bersedia menjual sapinya tanpa menunggu jangka penggemukan selama empat bulan.

Langkah ini tentu dengan catatan mendapat penggantian dari pemerintah yang pantas. Sebab dikhawatirkan setelah semua stok sapi dikeluarkan, selang 4 bulan tak ada lagi daging sapi lokal yang bisa dikonsumsi.

Liano bahkan menantang pemerintah untuk membuktikan adanya penimbunan seperti yang dituduhkan. Sebab setiap hari pun perusahaan masih selalu mengeluarkan stok sapinya. "Tidak menimbun, menimbun itu sama sekali tak menjual. Kami ini masih proses produksi, beri replacement dong!" serunya.

Liano mengatakan, justru keberadaan feedloter sebenarnya dapat dijadikan sebagai penyeimbang harga, dimana feedloter merupakan buffer stock alias penyangga stok sapi. Setiap stok yang ada dapat diawasi Kementan, maka harus ada pengkondisian pasokan. Jika tak cukup maka harus ada penggantian, di samping itu Kementan harus mendorong populasi program sehingga bulan-bulan ke depan tak terjadi kekosongan.

Para pengusaha sapi pun bersedia untuk dipanggil dan dilakukan pembinaan untuk menyetabilkan harga. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, tak pernah ada pemanggilan untuk membicarakan duduk masalah.

Tahu-tahu pemerintah teriak-teriak, dan feedloter dikambinghitamkan. "Mantan Mentan Suswono juga sudah katakan swasembada daging sapi tak akan tercapai karena salah hitung. Kok mentan sekarang malah tak tangkap sinyal ini?" ujarnya.

ANGGOTA DPR TERBELAH - Rencana Buwas menerapkan pasal-pasal UU Terorisme kepada pengusaha feedloter yang diduga melakukan penimbunan stok sapi, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan anggota DPR. Anggota Komisi III DPR RI Desmon Mahesa menyatakan keheranannya atas rencana Buwas itu.

Desmon merasa UU ini dibuat dengan tujuan menjerat para teroris bukan penimbun daging. "Harus melihat dulu apa hubungannya? Saya pikir berlebihan memakai UU Terorisme untuk ini," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (16/8).

Menurutnya ada UU yang lebih cocok ditempatkan sebagai sanksi bagi para penimbun, yakni UU Perdagangan tentang Monopoli. UU terorisme terlalu keras dan menyeramkan untuk diterapkan pada persoalan kelangkaan daging sapi.

"Polisi jangan buat aturan yang tak berdasar, tujuan baik tanpa ada aturan yang benar akan menjadikan hasil yang buruk," ujarnya.

Berbeda dengan Desmon, anggota Komisi III lainnya Arsul Sani malah menyatakan apresiasinya terhadap usulan ini. Ia mengkaji bahwa terorisme saat ini perkembangannya tak hanya bersifat fisik tapi juga dalam bentuk asimetrik.

Jika memang penimbunan daging masuk dalam ancaman teror maka Polri dipersilakan memakai UU tersebut untuk menjerat.

"Walaupun ada yang lebih tepat yakni UU Perdagangan, tapi dalam proses penegakan hukum bukan soal pilih yang mana tapi pesan sosial dan moral juga," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (16/8). (dtc)

BACA JUGA: