JAKARTA, GRESNEWS.COM - Belakangan ini Kejaksaan Agung seolah ingin unjuk gigi, melakukan berbagai gebrakan dengan menangani sejumlah kasus-kasus korupsi besar, seperti mobil listrik Kementerian BUMN. Itu wajar dan sudah seharusnya namun Kejaksaan juga jangan lupa menuntaskan kasus-kasus lama yang kental aroma permainan yang mungkin saja melibatkan oknum di Kejaksaan.

Salah satu kasus korupsi di Kejaksaan Agung yang hingga saat ini masih belum tuntas adalah korupsi pengadaan flame turbine pada pengerjaan Life Time Extention (LTE) Major Overhouls Gas Turbine (GT) 1.2 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di PLN sektor Pembangkit Belawan, Sumatera Utara 2007-2009.  Satu tersangkanya bernama Yuni masih buron dan belum diperiksa.

Yuni merupakan Direktur CV Sri Makmur, pihak swasta yang menggarap proyek ini. Nama Yuni masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak tahun 2013 tapi hingga kini masih berkeliaran menghirup udara bebas. Padahal lima tersangka lainnya telah disidang dan vonis.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan enam tersangka. Lima dari unsur PT PLN Sumut yakni Albert Pangaribuan, Edward Silitonga, Robert Manzuyar, Fahmi Rizal Lubis dan Ferdinand Ritonga dan satu unsur swasta Direktur CV Sri Makmur, Yuni.

Tak heran belum tertangkapnya tersangka bernama Yuni menyebabkan kerja pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung menjadi sorotan. Bahkan, penggiat anti korupsi menuding Kejaksaan tak serius menuntaskan kasus ini, terutama dalam mengejar Yuni.

KERJA INTELIJEN DIPERTANYAKAN - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik lambannya kerja tim intelijen dan penyidik Pidana Khusus di Kejaksaan Agung. "Kelihatan kurang serius, apalagi ini sudah dua tahun DPO," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada gresnews.com, Jumat (26/6).

Padahal di Kejaksaan Agung sendiri ada Adhyaksa Monitoring Center (AMC) yang bertugas melacak dan menemukan buronan Kejaksaan di seluruh Indonesia. AMC sendiri memiliki alat lacak dan sadap hibah dari Jerman. Alat ini dikenal canggih yang sejatinya dapat memantau pergerakan para buron tersebut yang menggunakan perangkat elektronik.

Sayangnya, entah kenapa AMC belum bisa melacak keberadaan Yuni. MAKI pun melihat, Yuni sengaja diistimewakan, bahkan kuat dugaan ada oknum Kejaksaan yang membiarkannya bebas berkeliaran.

Namun Kejaksaan Agung menepis dugaan tersebut. "Tidak, Yuni itu masih kita buru terus, belum jelas keberadaannya," kata Kasubdit Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Sarjono Turin di Kejaksaan Agung, Jumat (26/6).

Turin mengatakan, tim penyidik telah bekerjasama dengan tim intelijen untuk menangkap Yuni. Jaksa tetap komit menuntaskan kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp23,6 miliar tersebut.

DISOROTI KOMISI KEJAKSAAN - Tak hanya Yuni yang belum dieksekusi, tetapi ada tersangka Alexia Tirtawidjaja dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia. Alexia kabur ke Amerika Serikat dan hingga kini belum diperiksa penyidik Kejaksaan Agung.

Komisi Kejaksaan tak tinggal diam dengan banyaknya buron yang kabur itu. Komisi melihat lemahnya kerjasama dan koordinasi tim intelijen dan jaksa Pidsus salah satu sebab. Padahal Kejaksaan telah memiliki alat canggih untuk melacak buronan.

"Koordinasinya perlu diperkuat lagi, apalagi para buronan juga punya jaringan yang kuat juga," kata Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen kepada gresnews.com, Jumat (26/6).

Komisi Kejaksaan memang menyayangkan ada tersangka masuk DPO namun belum tertangkap selama dua tahun ini. Ini menjadi tantangan tim intelijen Kejaksaan Agung untuk menangkap para buron yang makin pintar menyamarkan dirinya.

Menurut pengamat intelijen Nuning Kertopati, dalam kasus pencarian buronan korupsi, tim intelijen tidak bekerja sendiri. Keberadaannya bagian dari tim lainnya. Tugas intelijen mencari informasi dan membuat analisa intelijen. Dan tugas intel bukan menangkap buronan.

"Jika Jamintel sudah laporkan temuan tapi oleh jaksa eksekutor tidak menindaklanjuti berarti bukan salah intel," kata Nuning kepada gresnews.com.

KETERLIBATAN YUNI - Yuni merupakan Direktur CV Sri Makmur. Sri Makmur merupakan perusahaan yang mengerjakan pemasangan LTE GT 1.1 dan 1.2 PLTGU Belawan tahun anggaran 2007-2009. Dalam proyek ini CV Sri Makmur mendapat pasokan spare part dari PT Siemens Indonesia.

Kasus Yuni berawal saat PT PLN KITSBU membuka tender pengadaan onderdil generator berupa flame tube DG 10530 merek Siemens pada 2007. Nilai proyek ini Rp 23,98 miliar, dengan rincian harga material Rp 21,8 miliar ditambah Ppn 10 persen dari Rp 2,18 miliar.

CV Sri Makmur menjadi pemenang tender. Sri Makmur kemudian melakukan kerja sama pengadaan dengan PT Siemens Indonesia. Barang tersebut diperiksa oleh Ferdinan Ritonga selaku Ketua Tim Pemeriksa Mutu Barang. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Mutu Barang Nomor: 101/620/PPMBJ-KITSU/2007 tanggal 19 Desember 2007, kondisi flame tubedinyatakan baik, jumlah fisik cukup, spesifikasi teknik sesuai dengan kontrak. Juga ada certificate of warranty dan certificate of manufacture.

Nyatanya, spesifikasi onderdil tidak sesuai dengan kontrak, yang berujung terjadi kerusakan fatal pada April 2012. Sehingga Kejaksaan melakukan penyelidikan setelah sebelumnya menyelidiki dugaan korupsi proyek perbaikan GT 2.1 dan GT 2.2. Dari penyelidikan 2.1 dan 2.2 penyidik menemukan bukti awal berupa patahnya rotor blade compressor gas turbin, pada 17 April 2012. Kerusakan fatal ini mengakibatkan pembangkit tersebut mati total, padahal perbaikan baru jalan empat tahun.Semestinya, setelah diperbaiki total, umur pembangkit bisa bertambah menjadi 100.000 jam lagi atau kurang lebih 11 tahun.

KASUS YANG MEMBELIT ALEXIA - Mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexia yang merupakan salah satu kunci kasus korupsi bioremediasi melarikan diri sejak dua tahun lalu.

Kejaksaan Agung memang telah memasukkan nama Alexia dalam DPO. Hanya saja, hingga kini Alexia tak juga bisa dipulangkan untuk diperiksa terkait kasus korupsi bioremediasi Chevron ini. Akibatnya, kasus korupsi bioremediasi Chevron ini tak kunjung tuntas.

Alexia adalah tersangka terakhir yang belum diajukan ke pengadilan, setelah enam tersangka lain dinyatakan bersalah dan dipidana berkisar dari dua sampai lima tahun. Enam tersangka yang sudah divonis bersalah, adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah (PT CPI). Lalu ada juga dua dari rekanan Chevron, yakni Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo.

Upaya memulangkan Alexia yang kabur ke Amerika Serikat memang tak mudah. Apalagi diduga Alexia telah menjadi pegawai Chevron di Amerika Serikat sehingga mendapat perlindungan. Itu salah satu alasan Kejaksaan Agung kesulitan memulangkan Alexia melalui jalur ektradisi.

Secara resmi Kejaksaan telah meminta bantuan interpol di Amerika Serikat melalui interpol Indonesia untuk menangkap Alexia. Bahkan tim khusus yang dipimpin Sekretaris Jampidsus Arnold Angkouw telah pergi ke Amerika Serikat untuk mengejar Alexia. Namun tetap belum ada hasil.

Seperti diketahui, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Alexia sudah terlebih dulu kabur ke Amerika Serikat. Kejaksaan Agung pun kesulitan melakukan pemanggilan atas Alexia untuk diperiksa.

Alexia mengelabui pihak Kejagung dengan memberikan keterangan melalui surat dari rumah sakit bahwa dia tidak bisa pulang ke tanah air. Salah satu alasannya karena masih menemani suaminya yang sedang sakit. Dia mengaku baru akan pulang usai suaminya sembuh.

Namun Kejagung kecele, sebab saat dipanggil untuk pemeriksaan penyidik, Alexia kembali mangkir.

Kasus korupsi bioremediasi Chevron berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan adanya dugaan korupsi proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp200 miliar dalam kasus korupsi bioremediasi Chevron ini.

BACA JUGA: