JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penanganan kasus-kasus korupsi di Kejaksaan Agung makin tak jelas arahnya. Keberadaan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) yang awalnya untuk menangani perkara besar kini turun kelas. Kasus korupsi dan gratifikasi tingkat kecamatan pun ditangani jaksa-jaksa yang diklaim terbaik se-Indonesia ini.

Salah satu kasus yang ditangani jaksa Gedung Bundar ini adalah kasus dugaan gratifikasi pembebasan lahan yang melibatkan mantan Camat Kronjo Kabupaten Tangerang Dedy Ruswandi (DR). Bahkan DR ini telah ditetapkan sebagai tersangka sebulan lalu.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum mengatakan, penetapan tersangka didasari bukti-bukti yang dimiliki penyidik, baik keterangan saksi-saksi maupun bukti dokumen. Saat ini penyidikan kasus ini terus dikembangkan oleh penyidik.

"Kasusnya dugaan gratifikasi dalam proses pembebasan lahan,‎" kata Rum di Kejaksaan Agung, Senin (17/10).

Penanganan kasus ini sedikit menggelitik sebab penyidik enggan membeberkan posisi kasus ini. Bahkan, saat disinggung soal nilai dugaan gratifikasi, Rum enggan membeberkannya.

Mantan Wakajati DKI ini menyatakan, mantan Camat Kronjo itu ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar.‎ DR ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-126/F.2/Fd.1/09/2016 tanggal 26 September 2016. Dan hingga kini penyidik sudah memeriksa 15 orang saksi untuk mengungkap dugaan gratifikasi ini.

Dalam kasus ini, DR diduga menerima gratifikasi dari pihak PT Gunung Balaraja untuk pemberian izin lokasi dan pemanfaat ruang di wilayah Kronjo. Sebelum ditetapkan tersangka, DR pernah diperiksa bersama-sama dengan Fenny Lei selaku pihak PT Gunung Balaraja, HM Suyatno selaku pihak PT Gunung Balaraja dan Chairudin selaku pemodal.

Dalam pemeriksaan, keempat saksi tersebut, memberi keterangan kepada penyidik soal mekanisme yang dilakukan masing-masing pihak dalam pembebasan lahan tersebut. Dedy Ruswandi menerangkan soal izin lokasi dan izin pemanfaatan ruang (IPR). Sedangkan, Fenny Lei menerangkan adanya pemberian uang masuk dari HM Suyanto dan Chairudin kepada Dedy Ruswandi.

Sebaliknya, HM Suyatno menerangkan pemberian uang masuk dari Fenny Lei dan Chairudin kepada Dedy Ruswandi. Sedangkan, Chairudin menerangkan sebagai pemodal dalam proses pengeluaran uang untuk operasional PT Gunung Balaraya tidak memerlukan persetujuan yang bersangkutan selaku pemodal melainkan langsung oleh Direksi PT Gunung Balaraya.

TIDAK LEVEL - Tim Satgassus yang belakangan menangani korupsi di tingkat kecamatan dinilai bukan level Kejaksaan Agung. Apalagi yang menangani kasus tersebut adalah tim Satgassus yang dibentuk khusus dari jajaran jaksa-jaksa terbaik.

"Itu sungguh menghina Kejaksaan Agung sendiri, kalau level camat itu malu-maluin," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman di Jakarta saat ditemui wartawan di Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu.

Menurutnya, ‎Kejaksaan Agung itu institusi besar yang harusnya level untuk menindak kasus korupsi yakni pejabat eselon satu dan dua seperti gubernur atau satu level di bawahnya. Jadi bukan hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa.

"Kalau cuma camat atau bupati itu kan Kejari dan Kejati saja," tandas Boyamin.

Selain kasus gratifikasi mantan Camat Kronjo, kasus korupsi yang tangani Kejaksaan Agung adalah kasus proyek penyalahgunaan dana swakelola pada Sudin Pekerjaan Umum (PU) Tata Air Jakarta yang terjadi di lima wilayah Jakarta. Dari sekian banyak tersangka yang ditetapkan, jabatan Kasi Kecamatan paling dominan jadi tersangka.

Mereka adalah ZMS (mantan Kepala Seksi Tata Air Kecamatan Ciracas Jaktim), W (Kepala Seksi Perencanaan Bidang Sungai dan Pantai Aliran Timur/mantan Kasie Perencanaan Suku Dinas PU Tata Air Jaktim), dan IS (mantan Kasie Tata Air pada Kecamatan Cipayung dan Plh Kecamatan Pasar Rebo).

Lalu SS, mantan Kasie Kecamatan Jatinegara periode Januari 2013-2014, S (mantan Kasie Kecamatan Matraman Jaktim), E (mantan Kasie Kecamatan Pulogadung), dan S (mantan Kasie Pemeliharaan periode Januari 2013-14 April 2014).

Selanjutnya HT (Kasie Konservasi Sudin Tata Air Jaktim), Z (mantan Kasie Tata Air pada Kecamatan Makassar tahun 2013-2014), dan AD (mantan Kasubbag Tata Usaha Sudin Tata Air Jaktim periode Januari 2013 sampai April 2014.

Sementara itu Rum mengatakan, penanganan kasus korupsi oleh Kejagung dilakukan secara komprehensif. Jaksa pidana khusus menurut Rum punya pertimbangan matang untuk menyidik dan menetapkan mantan camat sebagai tersangka kasus gratifikasi.

Penanganan kasus-kasus baru yang hanya menyentuh level camat disayangkan Boyamin. Sebab banyak kasus-kasus besar yang saat ini dipertanyakan penanganannya oleh publik. Di antaranya kasus Bank Mandiri dengan debitur PT Lativi Media Karya. Tiga tersangka yakni Abdul Latief, Hasyim Sumiana dan Usman Dja’far tak tersentuh.

Lalu kasus pembobolan dana Bali Tour Development Corporation (BTDC) di Bank Permata, Kenari, Jakarta Pusat, dengan tersangka Dwika Noviarti (Kepala Bank Permata Cabang Kenari) dan Direktur Keuangan BTDC Solichin juga tak jelas penuntasannya.

Dalam kasus jaringan sampah di Dinas PU DKI, Kejagung juga tengah meneliti tidak berlanjutnya berkas perkara mantan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Ery Basworo. Padahal tersangka lain telah dibuktikan bersalah.

Juga kasus kasus BJB Tower dengan tersangka Dirut PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyasa. Status Tri Wiyasa tak jelas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan dari Tri Wiyasa atas penetapan tersangkanya.

Kemudian kasus manipulasi restitusi pajak PT Mobile-8. CEO MNC Grup Harry Tanoesoedibjo telah diperiksa. Namun kasus ini tak kunjung ada tersangka.

Lanjut penanganan kasus korupsi pemanfaatan spektrum 2,1 Ghz untuk jaringan 3G oleh PT Indonesia Mega Media (IM2) Tbk, anak usaha PT Indosat dengan 4 tersangka. Empat tersangka yang sejak 2012 tidak diajukan ke pengadilan yakni mantan Dirut PT Indosat Tbk., Johnny Swandi Sjam, Hary Sasongko ‎dan dua tersangka korporasi PT IM2 Tbk dan PT Indosat Tbk.

Johnny Swandi Sjam dan Hary Sasongko‎ dalam putusan Indar Atmanto (mantan Presdir PT IM2) disebut secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Indar divonis 8 tahun penjara dan mewajibkan korporasi membayar uang pengganti Rp 1,3 triliun.

"Saat kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap, tak ada alasan Kejagung untuk tidak melanjutkan empat tersangka lainnya," kata Boyamin.

BACA JUGA: