JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengamat hukum  menilai Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menghindari pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium  (Inalum) melalui jalur arbitrase internasional  seperti dikehendaki PT Nippon Asahan Aluminiun Co, Ltd (NAA).   

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan arbitrase bisa digagalkan bila kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah itu secara damai. Menurutnya, pengajuan ke arbitrase internasional biasanya dilakukan karenak adanya deadlock antara dua pihak yang bersengketa. "Kalau arbitrasenya sudah mau jalan, masih bisa dibatalkan kalau kedua pihak sepakat demikian," katanya kepada Gresnews.com pada Jumat (1/11).

Hikmahanto menambahkan arbitrase dibedakan menjadi dua jenis. Arbitrase permanen dan ad hoc. Arbitrase permanen adalah badan permanen yang sudah ada di sejumlah negara, salah satunya Badan Arbitrase Nasional (BANI) yang ada di Indonesia. Sedangkan arbitrase ad hoc adalah arbiter yang ditunjuk oleh kedua pihak. "Kalau ad hoc bentuknya bisa mahkamah atau ditunjuk. Jumlah arbiternya bisa tunggal, satu, dua, dan seterusnya, tergantung kesepakatan kedua pihak," kata Hikmahanto.

Hikmahanto mengingatkan bila akan tetap maju ke arbitrase internasional maka prosesnya akan memakan waktu lama. "Bisa setahun, dua tahun atau lebih tergantung prosesnya," imbuhnya.

Sedangkan keputusan arbitrase adalah mengikat dan wajib dijalankan. Layaknya pengadilan di sebuah negara, maka bila tidak menaatinya pihak yang kalah akan terkena sanksi.

Proses pengambilalihan 100 persen saham PT Inalum yang telah berakhir masa kerjasamanya antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan Jepang  NAA, per 31 Oktober lalu tidak berjalan mulus. Pihak Jepang yang semula menyepakati untuk menerima nilai buku pengambil alihan sebesar US$ 558 juta belakangan mengingkari. Mereka justru memilih membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.  

Pemerintah Indonesia pun memutuskan untuk menerima tawaran pihak PT Nippon Asahan Aluminiun Co, Ltd ke arbitrase internasional. Menteri Perindustrian, MS Hidayat, dalam keterangannya kepada media di Istana Negara, Jumat (1/11), menyatakan kesepakatan maju ke arbitrase internasional dilakukan karena dalam perundingan kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan.

Ketidaksepakatan itu, kata Hidayat, karena pihak Jepang tidak menginginkan dilakukan audit. Sementara pemerintah Indonesia menginginkan dilakukan audit terlebih dahulu sebelum dibayarkan.

Sebelumnya, berdasarkan hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per tanggal 31 Maret 2013 nilai buku Inalum sebesar US$ 424 juta. Akan tetapi setelah diproyeksikan hingga tanggal 31 Oktober 2013 nilainya menjadi US$ 558 juta. Sementara pihak NAA menyatakan nilai bukunya seharga US$ 626 juta.

Menperin mengatakan, semula  pihak NAA sepakat untuk melepas Inalum sesuai tawaran pihak Indonesia senilai US$ 558 juta, tetapi Jepang tidak bersedia jika harus dilakukan audit.

Ketua Tim Negosiator Indonesia, Agus Tjahajana, mengatakan telah menunjuk Menteri Hukum dan HAM RI untuk memproses pengajuan proposal arbitrase. Namun menurutnya, belum bisa ditentukan penyelesaian dari pembuatan proposal tersebut. "Kita kan baru memutus tadi (kemarin-red). Tadi pak Menteri (Perindustrian) sudah menemui Menteri Hukum dan HAM, jadi akan segera ditindak lanjuti. Tapi saya belum tahu kapan selesainya," kata Agus kepada Gresnews.com pada Jumat (1/11).

Sementara itu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan yang terpenting adalah Inalum sudah diputuskan oleh pemerintah dan DPR untuk diambil alih menjadi BUMN Indonesia. Terkait persoalan arbitrase, Didu mengatakan, "Yang diarbitrase kan nilai belinya, ya kalaupun kalah tidak ada masalah," imbuhnya melalui pesan instan Blackberry pada Gresnews.com pada Jumat (1/11). (Mungky Sahid/GN-02)

BACA JUGA: