JAKARTA, GRESNEWS.COM - Untuk menepis kecurigaan banyak pihak dalam hal pembelian PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), perlu digelar proses audit. Dengan audit ini maka pemerintah bisa lebih jelas dalam mengelola pabrik pengolahan bauksit menjadi alumunium tersebut.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menjelaskan keputusan DPR RI untuk menyetujui pembelian 58,9 persen saham Nipon Asahan Asia (NAA) di PT Inalum sudah benar. DPR RI tidak berwenang sampai memutuskan harga pembelian PT Inalum karena hanya mempunyai kedudukan memberikan fungsi pengesahan anggaran, sedangkan harga saham ditentukan oleh pihak Pemerintah Indonesia.

"Sudah betul itu. Karena DPR hanya menyediakan platform, sementara harganya ada ditangan pemerintah," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (1/10).

Namun Said Didu menilai keputusan Komisi XI untuk menyetujui pembelian saham PT Inalum memang sulit. Di satu sisi apabila DPR menolak maka konsekuensinya Inalum akan tetap dikuasai oleh asing. Sedangkan bila mengesahkan dianggap hanya mau lempar-tangan bila ada permasalahan setelah Inalum resmi menjadi milik Indonesia.

Karenanya, menurut Said Didu, untuk menghindari permasalahan ke depan, DPR ataupun Pemerintah dapat mengajukan audit atas besaran anggaran yang sudah dikeluarkan. Audit itu dapat dilakukan dua cara. Pertama, audit harga yang dapat diajukan oleh pemerintah atau DPR. Bila yang mengajukan DPR maka bisa meminta konsultan independen internasional atau melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sedangkan bila yang mengajukannya pihak pemerintah, maka bisa mengajukan melalui Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sementara audit kedua adalah audit secara hukum yang bisa dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Audit hukum ini untuk memastikan langkah yang diambil pemerintah tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Said Didu pun berpendapat menyangkut pengelolaan PT Inalum bila kelak sudah 100 persen milik Indonesia, dapat dikelola oleh BUMN yang sudah ada ataupun membentuk BUMN baru.

"Bisa meneruskan nama yang ada atau nama baru. Kalau perlu BUMN ini yg sahamnya 100% milik pemerintah dijadikan induk holding BUMN pertambangan," kata Said Didu.

Terkait dengan pembagian sahamnya bila sudah 100 persen menjadi milik negara, Said Didu mengatakan bila sudah menjadi anak perusahaan maka pemerintah secara otomatis akan memiliki saham di Inalum. Besarannya berapa antara pemerintah pusat dan daerah tergantung negosiasi keduanya.

Selama ini masih ada ganjalan yang harus diselesaikan kendati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kendati sudah memberikan lampu hijau penggunaan anaggaran negara untuk membeli 58,8 persen saham Inalum dari konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA).

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anna Muawanah mengatakan masih ada permasalahan, belum ada kesepakatan harga dengan konsorsium NAA dan DPR juga belum menyetujui usulan harga yang diajukan pemerintah. Anna mengatakan DPR berharap harga yang disepakati sesuai dengan penetapan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang pertama kali yakni US$ 453 juta. Ia bilang persetujuan dari Komisi Anggaran untuk menyetujui nasionalisasi adalah hanya sebatas untuk memberikan persetujuan.

"DPR itu kan hanya menyetujui, sedangkan bila nanti ada konsekuensi ke depan setelah adanya audit atau permasalahan (dalam kesepakatan antara Indonesia dan NAA) itu tanggung jawab pemerintah Indonesia," katanya kepada Gresnews.com pada Kamis (31/10).

Ia bilang keputusan Komisi XI DPR RI mengesahkan pengajuan anggaran untuk nasionalisasi PT Inalum pada Rabu malam (30/10) karena tenggat waktu dalam surat kontrak yang sudah harus segera diputus pada Kamis, (31/10).  Keputusan itu diambil karena Komisi XI menginginkan Inalum segera dinasionalisasikan paling lambat pada 1 November 2013.

Meski demikian Anna yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Prolegnas DPR RI mengatakan ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam pengambilalihan PT Inalum. Misalnya harus jelas pola bisnis yang hendak dijalankan agar Inalum tidak merugi dan harus diperhatikan dampak sosial dan lingkungan sekitar tambang.  

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait menyatakan pemerintah harus mempertimbangkan tentang audit lingkungan dan potensi kerugian negara dari pembelian PT Inalum. Harus ada pola bisnis yang jelas terkait pasokan bahan mentah ke pabrik pengolahan Inalum.

Demikian juga dengan aspek lingkungan dari perusahaan tambang harus dikelola dengan baik. "Seperti kita tahu bahwa selama ini dampak kerusakan lingkungan karena perusahaan tambang itu sangat besar," katanya.

Dalam rapat Komisi XI DPR yang membahas akuisisi PT Inalum ini Rabu (30/10/2013) kemarin, DPR setuju, pemerintah menggunakan dana di APBN 2012 sebesar Rp 2 triliun dan di APBN 2013 dengan nilai anggaran Rp 5 triliun untuk akuisisi Inalum. Sehingga total dana yang disetujui DPR membeli 58,8 persen saham PT Inalum Rp 7 triliun.

Chatib mengakui ada satu kendala belum ada kesepakatan harga dengan konsorsium NAA. Tapi berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPKP, nilai 58,8 persen saham Inalum per 31 Maret 2013 setara US$ 453 juta.

Namun, bila menilik kenaikan harga saham Inalum per 31 Oktober 2013, BPKP memproyeksikan harga saham Inalum menjadi US$ 558 juta. Kenaikan nilai saham ini menurut Chatib karena selama tujuh bulan, sejak dilakukannya audit telah terjadi peningkatan nilai aset karena aktivitas bisnis yang berkembang, dan aktivitas lainnya dari Inalum.

Sementara dalam negosiasi terakhir, NAA masih meminta agar 58,8 persen saham mereka dihargai US$626 juta, lebih murah ketimbang permintaan pertama yakni US$ 650 juta.

Nah sebenarnya dengan modal akuisisi yang dimiliki pemerintah sebesar Rp 7 triliun atau setara US$ 630,6 juta sudah mencukupi untuk membayar 58,8 persen saham Inalum sesuai permintaan NAA. Namun Chatib optimistis nilai saham  Inalum bisa lebih rendah, bahkan dari proyeksi BPKP.

Masalah lain yang muncul setelah pembelian saham Inalum dari investor Jepang selesai adalah menyikapi keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah kabupaten/kota di kawasan Inalum yang ingin ikut andil menjadi pemegang saham Inalum. Namun Chatib menegaskan, pembagian saham ini harus menunggu saham Inalum 100 persen dikuasai oleh pemerintah Indonesia lebih dahulu, baru dibagi ke daerah. Sementara, DPR telah menentukan porsi saham yang bisa diambil oleh Pemda maksimal sebesar 30 persen.

(Mungky Sahid/GN-04)

BACA JUGA: