JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keinginan pemerintah Indonesia menjadikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) kembali ke pangkuan Indonesia hampir terwujud hari ini (1/11). Namun masih ada ganjalan yang harus diselesaikan kendati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memberikan lampu hijau penggunaan anaggaran negara untuk membeli 58,8 persen saham Inalum dari konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA).

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anna Muawanah mengatakan masih ada permasalahan, belum ada kesepakatan harga dengan konsorsium NAA dan DPR juga belum menyetujui usulan harga yang diajukan pemerintah. Anna mengatakan DPR berharap harga yang disepakati sesuai dengan penetapan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang pertama kali yakni US$ 453 juta. Ia bilang persetujuan dari Komisi Anggaran untuk menyetujui nasionalisasi adalah hanya sebatas untuk memberikan persetujuan.

"DPR itu kan hanya menyetujui, sedangkan bila nanti ada konsekuensi ke depan setelah adanya audit atau permasalahan (dalam kesepakatan antara Indonesia dan NAA) itu tanggung jawab pemerintah Indonesia," katanya kepada Gresnews.com pada Kamis (31/10).

Ia bilang keputusan Komisi XI DPR RI mengesahkan pengajuan anggaran untuk nasionalisasi PT Inalum pada Rabu malam (30/10) karena tenggat waktu dalam surat kontrak yang sudah harus segera diputus pada Kamis, (31/10).  Keputusan itu diambil karena Komisi XI menginginkan Inalum segera dinasionalisasikan paling lambat pada 1 November 2013.

Meski demikian Anna yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Prolegnas DPR RI mengatakan ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam pengambil-alihan PT Inalum. Misalnya harus jelas pola bisnis yang hendak dijalankan agar Inalum tidak merugi dan harus diperhatikan dampak sosial dan lingkungan sekitar tambang.  

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait menyatakan pemerintah harus mempertimbangkan tentang audit lingkungan dan potensi kerugian negara dari pembelian PT Inalum. Harus ada pola bisnis yang jelas terkait pasokan bahan mentah ke pabrik pengolahan Inalum.

Demikian juga dengan aspek lingkungan dari perusahaan tambang harus dikelola dengan baik. "Seperti kita tahu bahwa selama ini dampak kerusakan lingkungan karena perusahaan tambang itu sangat besar," katanya.

Dalam rapat Komisi XI DPR yang membahas akuisisi PT Inalum ini Rabu (30/10/2013) kemarin, DPR setuju, pemerintah menggunakan dana di APBN 2012 sebesar Rp 2 triliun dan di APBN 2013 dengan nilai anggaran Rp 5 triliun untuk akuisisi Inalum. Sehingga total dana yang disetujui DPR membeli 58,8 persen saham PT Inalum Rp 7 triliun.

Chatib mengakui ada satu kendala belum ada kesepakatan harga dengan konsorsium NAA. Tapi berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPKP, nilai 58,8 persen saham Inalum per 31 Maret 2013 setara US$ 453 juta.

Namun, bila menilik kenaikan harga saham Inalum per 31 Oktober 2013, BPKP memproyeksikan harga saham Inalum menjadi US$ 558 juta. Kenaikan nilai saham ini menurut Chatib karena selama tujuh bulan, sejak dilakukannya audit telah terjadi peningkatan nilai aset karena aktivitas bisnis yang berkembang, dan aktivitas lainnya dari Inalum.

Sementara dalam negosiasi terakhir, NAA masih meminta agar 58,8 persen saham mereka dihargai US$626 juta, lebih murah ketimbang permintaan pertama yakni US$ 650 juta.

Nah sebenarnya dengan modal akuisisi yang dimiliki pemerintah sebesar Rp 7 triliun atau setara US$ 630,6 juta sudah mencukupi untuk membayar 58,8 persen saham Inalum sesuai permintaan NAA. Namun Chatib optimistis nilai saham  Inalum bisa lebih rendah, bahkan dari proyeksi BPKP.

Masalah lain yang muncul setelah pembelian saham Inalum dari investor Jepang selesai adalah menyikapi keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah kabupaten/kota di kawasan Inalum yang ingin ikut andil menjadi pemegang saham Inalum. Namun Chatib menegaskan, pembagian saham ini harus menunggu saham Inalum 100 persen dikuasai oleh pemerintah Indonesia lebih dahulu, baru dibagi ke daerah. Sementara, DPR telah menentukan porsi saham yang bisa diambil oleh Pemda maksimal sebesar 30 persen.

Sebelumnya Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pudjo Nugroho menegaskan pemda Sumut siap untuk ikut bagian dalam membeli saham Inalum. Pemda Sumut paling tidak akan membeli sekitar 20 persen saham Inalum. Rencananya pemda akan menggandeng kerjasama dengan PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA) dan Apemindo (Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia).

Rencana pengambilalihan saham Inalum dari NAA semakin menguat karena kerjasama yang terjalin selama ini merugikan pemerintah Indonesia. Menurut mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo pemerintah menderita kerugian selama 22 tahun sejak proyek kerjasama pengolahan aluminium berlangsung 30 tahun lalu.

Besaran kerugian itu bisa dihitung dari selisih harga 1 ton bauksit  dengan harga 1 ton alumunium. Bauksit ini adalah bijih utama alumunium yang belum diolah dan masih terdiri dari campuran beberapa mineral. Selisih antara harga 1 ton alumunium dengan bauksit bisa mencapai 148 kali lipat.

Belum lagi Indonesia bisa menghemat devisa karena tidak perlu lagi mengimpor alumunium. Bahkan Indonesia bisa menjadi eksportir alumunium mengingat memiliki cukup banyak bahan bauksit yang siap diolah menjadi alumunium. Keuntungan lainnya, Inalum juga memiliki pembangkit listrik berkapasitas 600 Megawatt. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berasal dari Danau Toba yang biaya produksi menghasilkan listriknya sangat murah karena berbahan bakar tenaga air.

(Mungky Sahid/GN-04)

BACA JUGA: