JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Indonesia mencium gelagat tidak baik dari PT Nippon Asahan Alumunium (NAA) dalam proses pengembalian PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari tangan Jepang. Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, berdasarkan master of agreement antara pemerintah dan NAA, dalam pengambilalihan Inalum tersebut disepakati untuk menggunakan mekanisme share transfer atau transfer harga saham.

Namun pada detik-detik terakhir, tanggal 29 Oktober lalu, pihak NAA meminta waktu perpanjangan dua hari untuk mempertimbangkan tawaran pemerintah Indonesia. "Akan tetapi tiba-tiba keesokan harinya NAA memutuskan tidak akan menggunakan mekanisme share transfer tetapi menggunakan asset transfer," kata  Dahlan di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (1/11).

Menurut Dahlan, pengambilalihan dengan asset transfer bisa dilakukan, tetapi tidak bisa dengan keputusan mendadak yang dilakukan NAA. Pemerintah justru mengindikasikan pihak NAA akan menempuh jalur arbitrase.

Namun Dahlan menegaskan meskipun ada perubahan mekanisme pembayaran pihak pemerintah kepada NAA, hal itu tidak akan mengubah keputusan pemerintah untuk mengambil alih 100 persen saham Inalum. Akan tetapi yang menjadi kesulitan antara pemerintah dan pihak Jepang adalah penentuan harga yang akan dibayar oleh pemerintah Indonesia. "Tetap 100 persen akan milik pemerintah. Asetnya diserahkan dan sahamnya juga diserahkan," kata Dahlan.

Dahlan mengungkapkan, perubahan mekanisme pembayaran yang diminta oleh NAA itu membuat pemerintah Indonesia kaget, mengingat dokumen yang sudah disiapkan dengan mekanisme share transfer harus diubah menjadi asset transfer. Kendati demikian, Dahlan mengaku tidak ada perbedaan antara share transfer dan asset transfer karena share transfer merupakan bagian dari asset transfer.

Sebelumnya, kata Dahlan, dalam kesepakatan antara pemerintah dan NAA, NAA meminta, ketika Inalum sudah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia NAA, agar tidak ada klaim apapun yang memberatkan pihaknya. "Misalnya ketika diambil alih, pemerintah Indonesia menemukan ada salah satu pembangkit yang rusak kemudian complain kepada NAA. Nah tidak boleh ada yang seperti itu, jadi final deal," kata Dahlan.

Di satu sisi, kesulitan lainnya dalam pengambilalihan Inalum adalah adanya perbedaan penawaran harga yang diajukan oleh pemerintah kepada NAA. Menurut Dahlan, posisi pemerintah sangat berhati-hati dalam menentukan harga tersebut, maka dari itu perlu audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Setelah dilakukan audit oleh BPKP, ternyata harga yang diajukan oleh pemerintah berdasarkan tinjauan BPKP lebih rendah dari harga yang diajukan oleh NAA. Dahlan meminta kepada NAA agar memaklumi kondisi pemerintah Indonesia jika pemerintah sangat hati-hati dalam menentukan harga. "Kalau tidak diaudit nanti pemerintah dianggap korupsi. Jadi bukan kaku, bukan tidak mau menaikkan harga, tetapi karena terikat kepada akuntabilitas dan GCG (Good Corporate Governance)," kata Dahlan.

Berbeda dengan NAA, Dahlan menilai NAA merupakan perusahaan swasta yang sifat perusahaannya lebih fleksibel mengingat dalam menentukan keputusan berdasarkan kepada pemegang saham mayoritas. "Jadi NAA harus maklum kalau pemerintah sangat cerewet soal harga," kata Dahlan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI Fraksi PDIP, Aria Bima, mengatakan pihaknya dari awal meminta pemerintah untuk menghindari jalur arbitrase karena jika melalui jalur arbitrase akan memakan waktu yang lama dan sangat sulit menentukan waktu selesai perkara tersebut.

Untuk itu, Aria meminta kepada pemerintah harus lebih dulu mengambil alih Inalum, lalu kemudian permasalahan penawaran harga bisa melalui jalur arbitrase. DPR dalam kasus ini menyerahkan kepada pemerintah melalui persetujuan DPR. "Yang paling penting dan yang harus didahulukan adalah serah terima dulu, ambil dulu supaya jadi milik pemerintah," kata Aria.

Aria mengatakan jika pemerintah lebih dulu menempuh jalur arbitrase daripada mengambil alih Inalum, nantinya akan ada perubahan-perubahan rencana yang berdampak pada semakin lamanya Indonesia mengambil alih Inalum. "Dari dulu kita (DPR) mengimbau kepada pemerintah agar menghindari jalur arbitrase karena kita mengkhawatirkan adanya benturan kepentingan," kata Aria.

(Heronimus Ronito/GN-02)

BACA JUGA: