GRESNEWS - Ngotot-ngototan terjadi dalam proses hukum kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI). Pihak mantan General Manager Sumatera Light South (SLS) PT CPI Bachtiar Abdul Fatah berkukuh akan melakukan semua upaya hukum agar Kejaksaan Agung mematuhi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutuskan bahwa penetapan tersangka dan penahanan Bachtiar tidak sah. Sementara Kejagung akan mengadakan perlawanan terus sambil menunggu putusan Mahkamah Agung.

"Kita sampai saat ini masih menunggu putusan MA terkait (kasus) Bachtiar," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi kepada Gresnews.com di Jakarta, Senin (18/2).

""
Cover Putusan Praperadilan

Menanggapi respons ´liat´ dari Kejagung itu, Maqdir Ismail, kuasa hukum Bachtiar, mengatakan pihaknya akan terus melakukan langkah-langkah hukum karena PN Jakarta Selatan telah memutuskan penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. "Selain itu penahanan keempat tersangka kasus Chevron tak berdasar hukum tetapi bisa ditafsirkan bahwa keseluruhan penyidikan kasus dugaan korupsi bioremediasi itu tak berdasar," kata Maqdir kepada Gresnews.com, Senin (18/2).

Maqdir menuding Kejagung jelas-jelas melanggar atau tidak mematuhi putusan PN Jakarta Selatan. "Jadi waktu itu kita dapat panggilan (Kejagung) untuk (pemeriksaan) Bachtiar, tapi kami tidak datang dan kami kirimkan surat penolakan, karena pemanggilan yang dilakukan Kejagung tidak ada dasar hukumnya karena penetapan tersangkanya diputuskan tidak sah oleh Pengadilan Jaksel," katanya.

Jika Kejagung ngotot menjemput paksa Bachtiar, kata Maqdir, pihaknya akan melakukan langkah hukum. "Kita akan gugat ke pengadilan atau laporkan ke polisi karena menahan orang tanpa ada dasar hukumnya itu merupakan tindak pidana. Kejaksaan Agung harus menaati putusan praperadilan, jangan menggertak-gertak dengan cara seperti ini, melaporkan ke MA lah," ujar Maqdir.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur belum menjawab panggilan telepon dan SMS Gresnews.com, Senin (18/2).
Ya, Kejagung memang sebelumnya meminta MA untuk menanggapi laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim PN Jaksel Suko Harsono yang memutuskan penetapan penahanan dan penetapan tersangka kasus Chevron tidak sah.

Pada 10 Januari 2013, kantor Lubis-Santosa-Maramis melayangkan surat kepada Ketua MA Hatta Ali yang intinya mohon perhatian dan perlindungan hukum sehubungan dengan pendapat Kejaksaan Agung atas putusan Praperadilan No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tanggal 27 November 2012. Mereka bertindak untuk dan atas nama Bachtiar Abdul Fatah.

Dalam surat itu disebutkan bahwa tidak adanya upaya hukum untuk melawan putusan praperadilan telah diatur dalam Pasal 83 Ayat (1) KUHAP dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 yang menyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap Pasal 83 Ayat (2) KUHAP.

Upaya selanjutnya, pada 12 Februari 2013, dikirimkan juga surat kepada Komisi Yudisial yang pada pokoknya meminta perhatian atas kemungkinan upaya Kejagung sehubungan dengan putusan praperadilan.
Dimintai pendapatnya, Pakar Hukum Pidana Chairul Huda mengatakan kalau berbicara tidak sah penahanan tapi perkaranya tetap bisa dilanjutkan karena penahanan merupakan cara bagi penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti.

""
Chairul Huda

"Sekarang perkaranya sudah digelar di pengadilan, itu sudah menjadi kewenangan hakim, apabila kejaksaan Agung tetap ingin melakukan penahanan (pada terdakwa kasus ini) itu sama saja tindakan melawan hukum bisa dibilang merampas kemerdekaan seseorang," katanya kepada Gresnews.com, Senin (18/2).

Perkara korupsi ini berawal ketika Kejagung mengusut dugaan korupsi pada proyek bioremediasi yang dilakukan Chevron di Riau, Sumatera bersama dua kontraktor. Kejagung menduga proyek itu fiktif sehingga merugikan negara Rp200 miliar berupa dana cost recovery. Penyidikan dimulai Maret 2012.

Bioremediasi adalah metode untuk membersihkan tanah yang terkena limbah produksi minyak dengan menggunakan mikroba. Selama 3-6 bulan, mikroba itu dengan metabolismenya mengubah senyawa minyak menjadi senyawa air dan gas tidak beracun.

Chevron telah memulai proses ini sejak tahun 1994. Dimulai dengan uji laboratorium. Chevron memiliki sembilan fasilitas bioremediasi yang berada di wilayah Minas, kawasan Duri, serta ladang minyak lain di wilayah Riau. Proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya. Pada tahun 2006 proyek ini diklaim fiktif. Karena perusahaan subkontraktor (PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya), pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003.

Kempat pegawai Chevron yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi di Chevron mengajukan gugatan praperadilan, gugatan ini dilaksanakan di PN Jakarta Selatan. Dalam putusannya, hakim mengabulkan sebagian permohonan keempat tersangka tersebut. Hakim menyebutkan, penahanan dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejagung tidak sah, karena tidak memenuhi bukti permulaan yang cukup.

Keempat pegawai Chevron tersebut adalah Manajer Lingkungan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Propinsi Riau Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh Kertasafari, dan General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah. Keempatnya telah dibebaskan dari tahanan.

BACA JUGA: