KRISIS Eropa terus bergulir. Yunani sudah dilibas. Spanyol sedang kelabakan. Italia pun kini bersiap hadapi kemungkinan terburuk. Indonesia sebagai negara yang pernah terkena dampak krisis moneter pun berupaya mengantisipasi menghindari pengalaman serupa pada Krisis 1998.

Mengantisipasi potensi memburuknya krisis Eropa, khususnya terkait pelaksanaan Pemilu di Yunani tanggal 17 Juni 2012, Bank Indonesia terus memantau dan telah mempersiapkan langkah-langkah antisipatif yang diperlukan.

“BI akan meningkatkan pasokan valas di pasar sesuai dengan kebutuhan sebagai bagian untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah”, kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution seperti dikutip laman Bank Indonesia.

Disamping intervensi di pasar valas, kata Darmin, BI juga terus melanjutkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah yang selama ini telah dilakukan, termasuk pembelian SBN di pasar sekunder, penerbitan Term Deposit valas, dan pengembangan instrumen-instrumen transaksi valas di dalam negeri lainnya.

“Bank Indonesia menilai dampak langsung dari krisis Eropa terhadap korporasi maupun perbankan Indonesia sejauh ini relatif terbatas," ungkap Darmin.

Posisi utang luar negeri swasta Indonesia dari Eropa per April 2012 tercatat US$21,6 miliar dimana sebagian besar berasal dari Belanda sekitar 57,3%, Inggris (10,7%), Jerman (6,4%), dan Prancis (2,5%). Eksposur utang ke negara-negara Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol sangat kecil.

"Demikian pula eksposur perbankan Indonesia terhadap Eropa juga relatif kecil," tambah Darmin.

BI menilai, katanya lagi, dampak memburuknya krisis Eropa terutama dirasakan pada tekanan di pasar valas dan pasar keuangan. Dampak tersebut telah terjadi selama ini, dengan intensitas yang meningkat khususnya sejak awal Mei, sebagaimana tercermin pada tekanan pelemahan nilai tukar dan penurunan indeks harga saham di kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Menyikapi hal itu, BI selama ini telah meningkatkan pasokan likuiditas valas untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah dan juga melakukan pembelian SBN di pasar sekunder. Cadangan devisa per 31 Mei 2012 mencapai US$111,5 miliar, atau cukup untuk memenuhi 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

“Sejauh ini kondisi kecukupan likuiditas baik valas maupun Rupiah tetap terjaga”, demikian penegasan dari Gubernur BI.

Italia jual aset
Italia kali ini terkena giliran dampak krisis Eropa, dengan perkiraan utang mencapai 120% dari produk domestik bruto (GDP). Kepanikan pun melanda warga Italia, setelah Kamis pekan lalu, bank sentral Italia bahwa negeri itu memiliki utang dengan rekor tertinggi dalam sejarah, yaitu 1,95 triliun euro.

Langkah pertama yang dilakukan ´negeri spaghetti´ tersebut adalah bergegas menjual aset negara. Dimulai dengan tiga perusahaan milik negara atau BUMN-nya yakni Fintecna, Sace, dan Simsest.

Perdana Menteri (PM) Italia Mario Monti menegaskan, penjualan tiga perusahaan milik negara ini diharapkan bisa memberikan pemerintah suntikan dana segara sekitar 10 miliar euro atau sekitar Rp118 triliun.

"Dana itu akan dipergunakan untuk mengurangi beban utang negara. Langkah ini bersamaan dengan pengurangan jumlah pegawai pemerintah sebagai langkah yang sangat kuat," kata Mario Monti di Roma, yang naik menjadi PM menggantikan Silvio Berlusconi.

BBC melansir, apa yang dilakukan pemerintah Italia ini mengindikasikan upaya privatisasi lebih lanjut masih bakal bergulir.

"Pada saat yang sulit seperti sekarang, pemerintah Italia juga mengurangi jumlah tentara dan berniat menjual properti yang terkait dengan program pengurangan tersebut," tambah Mario Monti.

Tidak cuma itu, Italia tengah bersiap menggabungkan departemen-departemen pemerintah agar kemudian pegawainya bisa dikurangi jumlahnya.

Italia seperti beberapa negara Eropa lainnya, sedang berada di pusaran utang yang sangat masif, di mana utang negara mencapai sekitar 120% dari produk domestik bruto (GDP).

BACA JUGA: