JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU Ketenagalistrikan bisa menjadi ganjalan serius bagi pemerintah dalam upaya melibatkan pihak swasta dalam proyek pembangunan pembangkit listrik berdaya total 35.000 Megawatt (MW). Dalam putusannya atas gugatan terhadap Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, MK membatalkan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1).

Kedua pasal tersebut dinilai majelis hakim konstitusi tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 karena menghapus kontrol negara dengan menyerahkan penyediaan tenaga listrik kepada swasta. Putusan ini bisa menjadi ganjalan bagi pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lantaran atas dasar kedua pasal itulah, pihak ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Pedesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan, dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Skala Kecil.

Lewat beleid itu, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan koperasi didorong untuk melistriki sekitar 2.500 desa tak berlistrik di wilayah terpencil. Badan usaha selain PLN diizinkan untuk membangun pembangkit, jaringan, dan menjual listrik secara langsung kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil. Selain itu, pemerintah juga bisa terganjal dalam upaya mengejar target pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW karena 40% proyek itu juga diserahkan kepada swasta.

Terkait putusan MK ini, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan, putusan itu tidak akan berpengaruh terhadap proyek listrik 35 ribu MW. Dia mengatakan, kedua pasal yang dibatalkan MK itu sebenarnya tidak menghilangkan sama sekali kontrol pemerintah terhadap penyediaan listrik meski pembangunannya diserahkan ke swasta.

"Jadi pemerintah tidak menghilangkan kendali dalam penyediaan usaha ketenagalistrikan," kata Sujatmiko di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta,Kamis (15/12).

Dia mengatakan, pedoman penetapan tarif ke konsumen, penetapan wilayah usaha, harga jual listrik, sampai perizinan dibidang ketenagalistrikan masih diatur oleh negara sesuai dengan Pasal 5 di beleid yang sama. Menurut Sujatmiko, aturan yang dibuat Kementerian ESDM pun sudah sesuai dengan amar putusan MK, sehingga program ketenagalistrikan tidak berseberangan dengan UUD 1945. "Kami nyatakan, peninjauan tersebut tidak akan berpengaruh dengan program-program ketenagalistrikan yang tengah dijalankan," ujarnya.

Selain itu, dia menyebutkan keputusan tersebut juga tidak mempengaruhi peraturan penyediaan listrik yang lain, seperti Peraturan Menteri ESDM 38 tahun 2016. Meski begitu, kata Sujatmiko, pihaknya berjanji akan meninjau beberapa peraturan turunan dari UU tersebut. "Untuk membuktikan jika kegiatan ketenagalistrikan yang menyangkut kepentingan umum masih dikuasai negara," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Agus Triboesono. Dia menjelaskan, MK tidak membatalkan kedua pasal itu secara penuh, hanya membatasi penafsirannya. "MK tidak membatalkan, tapi hanya menyatakan inkonstitusional secara bersyarat," ujar Agus saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (15/12).

Maksud Agus, Pasal 10 Ayat (2) bertentangan dengan UUD 45 apabila dipakai sebagai pembenaran untuk praktik unbundling dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. "Jadi yang nggak boleh itu kalau pasal ini dipakai untuk membuat aturan yang mewajibkan usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan listrik dilakukan oleh perusahaan yang terpisah-pisah," paparnya.

Maka putusan MK memperkuat PLN saat ini yang bisnisnya terintegrasi mulai dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga penjualan listrik. Swasta, badan usaha milik daerah (BUMD), dan koperasi pun boleh berbisnis secara terintegrasi mulai dari pembangkit hingga menjual listrik selama masih dalam prinsip ´penguasaan oleh negara´.

Pasal 11 Ayat (1) juga demikian, hanya dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, yaitu apabila dimaknai sebagai dasar untuk menghilangkan prinsip ´penguasaan oleh negara´. Putusan MK tidak melarang swasta terlibat dalam penyediaan tenaga listrik, sepanjang masih dalam batas-batas penguasaan oleh negara. Jadi swasta, BUMD, dan koperasi pun boleh menjual listrik langsung pada masyarakat selama dalam batas-batas yang dikontrol oleh negara.

Prinsip ´penguasaan oleh negara´ tak dilanggar selama wilayah usaha yang boleh dimasuki swasta ditentukan oleh negara melalui pemerintah, perizinannya diberikan diberikan oleh pemerintah, lalu tarif listrik yang dikenakan pada masyarakat juga dikendalikan oleh pemerintah. Jadi negara mengendalikan wilayah usaha, perizinan, hingga tarif.

Listrik yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak boleh diserahkan begitu saja pada swasta dengan menganut sistem mekanisme pasar. Misalkan swasta bebas masuk ke daerah mana pun, bebas menentukan tarif listrik untuk masyarakat, itu yang tidak boleh. "Yang dilarang oleh MK ialah kalau swasta dibebaskan tanpa adanya intervensi negara untuk melindungi masyarakat," tegasnya.

NASIB PROYEK ISTRIK DAERAH TERPENCIL - Soal proyek listrik wilayah terpencil, Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi mengtakan, dalam Permen ESDM 38/2016 negara melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) tetap memegang kendali. Listrik yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak diserahkan begitu saja pada swasta dengan menganut sistem mekanisme pasar.

Prinsip ´dikuasai oleh negara´ tak dilanggar karena wilayah usaha yang boleh dimasuki swasta ditentukan oleh Kementerian ESDM. Perizinan diberikan untuk PLN mini diberikan oleh pemda. Lalu tarif listrik yang dikenakan PLN mini pada masyarakat juga dikendalikan oleh pemda. Jadi negara mengendalikan wilayah usaha, perizinan, hingga tarif.

"Pertama wilayah usaha adalah dari pemerintah, dalam hal ini ESDM. Izin juga, dalam hal ini pemda. Kemudian harganya ditetapkan oleh pemda. Artinya, apabila dapat suatu harga, swasta tidak bisa serta merta memberlakukan tanpa persetujuan pemda," ucapnya.

Yang dilarang oleh MK ialah kalau swasta dibebaskan tanpa adanya intervensi negara untuk melindungi masyarakat. "Tidak terdapat larangan pada pihak swasta sepanjang masih dalam batas-batas penguasaan oleh negara. Dalam arti negara masih memegang kendali. Kendalinya itu tadi izin, wilayah usaha, tarif listrik untuk masyarakat," pungkasnya.

Sujatmiko, menyatakan, Permen ESDM 38/2016 tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan putusan MK dan UUD 45. Menurutnya, negara tetap memegang kendali meski swasta menjual listrik langsung ke masyarakat.

"Aturan-aturan yang dibuat di ESDM sejauh ini sudah sesuai dengan amar putusan MK, yaitu memastikan negara punya kontrol dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Permen ESDM 38 itu kita susun dengan menimbang seluruh peraturan yang berlaku. Tidak bertentangan dengan UUD 45," tegas Sujatmiko

Berbeda dengan pandangan pihak ESDM, pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi mengatakan, putusan MK terkait UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan mengukuhkan bahwa komoditas listrik adalah komodotas yang harus dikuasai negara melalui PLN. "Jadi semua usaha penyediaan dan distribusi listrik harus dilakukan oleh PLN," kata Fahmi kepada gresnews.com, Kamis (15/12).

Dia menilai keputusan MK tersebut sudah pasti akan mempengaruhi proyek listrik 35 ribu MW, lantaran dengan keputusan itu, swasta dilarang cawe-cawe dalam proyek listrik. "Alasannya, swasta diharapkan membangun 40 persen pembangkit listrik. Sedangkan kemampuan PLN sangat terbatas," jelasnya.

ISI PUTUSAN MK - Seperti diketahui sebelumnya, MK memutuskan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK itu diumumkan dalam sidang pleno terbuka pada Rabu, (14/12). "Menyatakan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian bunyi salinan putusan MK tersebut.

"Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." demikian putusan MK terkait Pasal 11 Ayat (2).

Pasal 10 Ayat (1) berbunyi: "Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a rakyat meliputi jenis usaha: a. pembangkitan tenaga listrik; b. transmisi tenaga listrik; c. distribusi tenaga listrik; dan/ atau d. penjualan tenaga listrik".

Pasal 10 Ayat (2) berbunti: "Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi".

Sementara Pasal 11 Ayat (1) berbunyi: "Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik".

Permohonan Judicial Review diajukan oleh Adri, pegawai PLN Area Padang yang juga Ketua Serikat Pekerja PLN, dan Eko Sumantri, pegawai PLN Sektor Pembangkitan Keramasan pada tanggal 26 Agustus 2015 lalu. Para pemohon menggugat UU Ketenagalistrikan ini karena menilai listrik sebagai kebutuhan hajat hidup masyarakat harus dikuasai oleh negara, tak boleh diswastanisasi.

Pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan yang digugat karena dinilai mengurangi peran negara adalah Pasal 10 Ayat (2), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 16 Ayat (1), Pasal 33 Ayat (1), Pasal 34 Ayat (5), Pasal 56 Ayat (2). Dari pasal-pasal yang diuji itu, ada 2 yang akhirnya dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. (dtc)

BACA JUGA: