JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengembangan energi panas bumi (geothermal) di Indonesia masih mengalami banyak hambatan. Salah satunya adalah karena masih belum adanya sinergi antara dua perusahaan negara di bidang energi yaitu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero).

Hal itu diungkapkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dalam acara Pertamina Energy Forum 2016, di The Ritz Carlton Hotel, Jakarta, Selasa (13/12). Rini, pada kesempatan itu, meminta agar PLN dan Pertamina bersinergi dalam pengembangan energi geothermal.

Khusus terkait harga listrik yang akan dijual ke masyarakat, selama tak ada kesepakatan antara kedua perusahaan energi pelat merah itu, kata Rini, penyediaan energi untuk masyarakat, khususnya dari energi terbarukan seperti panas bumi akan terus mengalami kendala.

"Demi mewujudkan ketahanan energi nasional, Pertamina diharapkan dapat bersinergi dengan BUMN dan swasta serta PLN agar bisa meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan," kata Rini.

Penguatan kerja sama antara keduanya, sambung Rini, sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Energi, salah satunya listrik, adalah pendorong perekonomian. Sinergi Pertamina dan PLN dapat membuat biaya produksi listrik lebih murah.

"Energi adalah darahnya perekonomian. Sinergi dua perusahaan raksasa, yaitu PLN dan Pertamina. harus ditingkatkan. Kita butuh migas, tapi juga butuh listrik sehingga bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, termasuk harga yang terjangkau," ujar Rini.

Pertamina dan PLN diminta melakukan upaya-upaya efisiensi biaya bahan bakar untuk pembangkit-pembangkit listrik yang memakai gas dan BBM. "PLN itu dalam memproduksi listrik itu ada power plant yang pakai gas, juga BBM di tempat-tempat remote. Harus bisa sinergi agar cost transportasinya murah, pipa gasnya ada di mana, lokasinya di mana supaya biaya energi primer bisa lebih turun," ucap Rini.

Salah satu bentuk konkret sinergi PLN dan Pertamina lainnya adalah di bidang pengembangan panas bumi. Rini memerintahkan Pertamina dan PLN bersama-sama membesarkan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).

"Mengenai PGE, ini kan perusahaan yang berkecimpung di geothermal. Uapnya (panas bumi) hanya bisa dipakai untuk listrik, nggak bisa dijual ke mana-mana lagi. Kalau Pertamina mengebor, terus PLN bilang nggak mau beli uapnya, bagaimana? Karena itu tolong bekerja sama. PGE mungkin mengeluarkan saham baru, di situ PLN ikut," ujarnya.

Menurut Rini, geothermal bisa digunakan untuk proses menjadi listrik, namun tak akan berjalan bila PLN tidak mau membeli geothermal Pertamina. Jika keduanya terus tidak sepakat soal harga, maka akan membuat Pertamina rugi, sebab produknya tidak ada pembeli.

"Gas uap dari bumi (geothermal) hanya dapat diproses menjadi listrik, kalau Pertamina mengebor terus mendapatkan uap. Tetapi PLN tidak mau membeli, akan rugi karena Pertamina sudah investasi, maka harus sinergi," ungkapnya.

Pernyataan Rini itu memang terkait erat dengan perintah Rini agar PLN mengakuisisi 50% saham anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang pengembangan panas bumi, yaitu PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Kedua belah pihak pun sudah diajak Rini untuk bertemu pada 2 pekan lalu.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengungkapkan, dengan adanya akuisisi itu, PGE akan jadi ´perusahaan patungan´ PLN dan Pertamina. PLN telah mendapat lampu hijau dari Kementerian BUMN untuk melakukan aksi korporasi ini.

"Nanti akan jadi semacam perusahaan patungan. PGE dimiliki bersama oleh PLN dan Pertamina 50:50. Ini sudah dibicarakan dengan Dirut Pertamina, dengan PGE, dan Menteri BUMN," kata Sofyan, di Jakarta, Jumat (12/8).

Dia menambahkan, akuisisi ini akan membuat PGE jadi lebih besar karena mendapat tambahan suntikan modal dari PLN. Dengan begitu, PGE bisa lebih banyak melakukan eksplorasi dan produksi panas bumi di dalam negeri.

PLN sendiri juga akan diuntungkan karena bisa memperoleh uap panas bumi dengan harga lebih murah, tak perlu negosiasi harga berlarut-larut lagi dengan Pertamina. "Manfaatnya, (PGE) jadi besar, jadi efisien. Kan dulu uapnya dari Pertamina, habis itu baru dibeli PLN, sekarang kan langsung, terus dijadiin listrik," paparnya.

Pihaknya berharap harga listrik panas bumi bisa ditekan hingga di bawah US$ 10 sen/kWh, setelah PLN ikut memiliki PGE.

"Biaya untuk panas bumi ini pasti jadi turun harganya, itu kan komponen energi terbarukan. Sekarang ada yang US$11 sen/kWh, ada yang US$13 sen/kWh. Harapannya bisa lebih rendah, siapa tahu bisa single digit," tuturnya.

Meski pengembangan panas bumi bukan bidang usaha yang ditekuni PLN, akuisisi PGE tak akan membuat PLN kelimpungan. Sebab, kata Sofyan, PGE akan dikelola bersama dengan Pertamina. Pertamina fokus mengebor dan memproduksi uap, PLN yang membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). "Kan Pertamina yang ngebor, produksi panas bumi. Kita produksi listriknya," pungkas Sofyan.

POTENSI ENERGI TERBARUKAN - Menanggapi masalah ini, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, PLN seharusnya melihat potensi geothermal sebagai potensi pembangkit listrik masa depan dan terbarukan. "Ini yang seharusnya dikembangkan secara serius oleh PLN," kata Yusri kepada gresnews.com, Selasa (13/12).

Hal itu, kata Yusri, sangat baik untuk melepas ketergantungan pada energi fosil. "Disaat kita harus melepaskan ketergantungan pada energi fosil yang semakin menipis dan ada umur teknisnya. Sehingga target energi baru terbarukan bisa mengisi sebesar 25 persen dari total energi nasional dapat dicukupi pada tahun 2024," kata Yusri.

Dia menyebutkan, untuk jangka panjang harga energi panas bumi bisa dihitung murah dan sangat menjaga lingkungan hidup. "Kita rugi dan sangat tertinggal mengembangkan energi ini yang merupakan anugrah Allah SWT untuk bangsa Indonesia," jelasnya.

Indonesia memang memiliki potensi energi panas bumi yang melimpah. Pasalnya, Indonesia terletak di jalur cincin gunung berapi. Posisi ini membuat Indonesia memiliki predikat sebagai negara dengan cadangan energi panas bumi terbesar di dunia.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, dari total cadangan 27.000 MW, baru 4% saja yang baru dimanfaatkan.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo menjelaskan, Indonesia pertama kali membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada tahun 1982. Sayangnya, sampai saat ini baru 1.500 MW yang terpasang.

"Geothermal sudah ada sejak 1982 di Kamojang atau sudah 34 tahun, baru terbangun 1.500 MW saja. Artinya apa? Ada sesuatu yang nggak betul. Karena off taker (pembeli) hanya PLN, kalau nggak mau beli ya sudah," kata Abadi beberapa waktu lalu.

Menurutnya, rendahnya pengembangan panas bumi masih berkutat pada masalah klasik, kesepakatan harga listrik dengan PLN. Apalagi, selama ini Indonesia terlalu menikmati rendahnya bahan bakar fosil.

"Era 1980-an dan 1990-an masih dibuai dengan harga minyak murah. Jadi PLN cenderung lebih suka pakai bahan bakar fosil. Kemudian ada pembangkit batu bara yang hanya 6-7 sen per KWh. Bandingkan dengan geothermal yang 10 sen per KWh," ujar Abadi.

Dia berujar, saat negara lain sudah mulai meninggalkan energi fosil untuk listriknya, pemerintah malah memperbanyak pembangunan PLTU yang berbahan bakar batubara.

"China yang 80% pakai batubara sudah mulai ganti. Kita malah berlomba-lomba pakai batubara di proyek 35.000 MW. Di situ memang disebutkan energi baru terbarukan bisa 32% di 2025, saya kira itu bisa jadi trigger," ungkap Abadi. (dtc)

BACA JUGA: