JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengusaha listrik yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) meminta pemerintah menggenjot tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di transmisi proyek 35 ribu MW tahun depan. Cara ini dianggap ampuh untuk mendorong gairah industri peralatan listrik nasional yang sedang loyo.

"Kita berharap pemerintah mendorong TKDN di transmisi 35 ribu MW tahun depan. Ini salah satu langkah awal mendorong gairah di industri peralatan dan konstruksi listrik nasional," ujar Sekretaris Jenderal APLSI Priamanaya Djan, dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (13/12).

Pria mengatakan, mendorong TKDN di transmisi saat ini memang cukup realistis sebab teknologi konstruksi baja sudah cukup dikuasai di dalam negeri. "Kelemahan kita masih di soal turbin dan sedikit di boiler. Jadi, pembangkitnya dari luar tapi kita kejar TKDN di transmisi atau di sutet (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) itu dalam negeri saja," ujar Pria.

Menurut Pria, saat ini TKDN di transmisi mencapai lebih dari 60 persen. Namun, TKDN ini perlu digenjot lagi secara maksimal sekaligus mendorong industri baja nasional. Pria mengatakan, dalam proyek 35 ribu MW dibutuhkan transmisi sepanjang 46.000 kilometer (km) atau setara lingkaran planet bumi.

Sejak diluncurkan tahun 2015, pembangunan transmisi menyerap anggaran sebesar Rp200 triliun untuk lima tahun. "Itu termasuk gardu induk, tower, dan konstruksinya," ujar Pria.

Dia mengatakan, tahun depan pemerintah perlu mengoptimalkan captive market peralatan listrik yang sudah tersedia di 35 ribu MW. Investasi di proyek 35 ribu MW sebesar lebih dari Rp1.100 triliun. "Artinya, tersedia pasar yang sangat besar," katanya.

Pria khawatir pasar nasional yang besar ini hanya diisi dan dimanfaatkan oleh produsen peralatan listrik dari luar negeri. Untuk diketahui, impor pelatan listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan dibandingkan impor non migas lainnya impor peralatan listrik salah satu yang tertinggi pada Juni 2016 bersama impor mesin yakni sebesar US$289,1 juta (18,06 persen).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, nilai impor Indonesia Juni 2016 mencapai US$12,02 miliar atau naik 7,86 persen apabila dibandingkan Mei 2016. Namun sebaliknya turun sebesar 7,41 persen jika dibandingkan Juni 2015.

Saat ini terdapat sembilan kelompok industri yang sangat tergantung pada produsen luar antara lain industri mesin dan peralatan listrik, logam, otomotif, serta elektronika. Kemudian industri kimia dasar, makanan-minuman dan pakan ternak, tekstil, barang kimia lain termasuk karet-plastik, serta pulp dan kertas.

Khusus untuk kelompok industri mesin dan peralatan listrik, tingginya impor kelompok ini disebabkan adanya keterbatasan teknologi, khususnya yang memerlukan presisi tinggi sehingga masih mengandalkan principal luar, serta keterbatasan bahan baku.

 Terkait imbauan ini, sebelumnya, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan, dengan kemampuan industri dalam negeri saat ini, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sudah bisa mencapai 40 persen.

"Kalau di EPC (Engineering, Procurement and Contract) kita sanggup kerjakan. Untuk manufakturnya yang pasti seperti boiler, alat-alat, trafo, kabel, itu 40 persen bisa (tercapai), tentu dengan insentif-insentif. Menkeu sudah janji untuk tinjau kebijakannya untuk bangun listriknya nanti," ujarnya beberapa waktu lalu.

DORONG TKDN - PLN senditi terus berupaya mendorong peningkatan TKDN dalam proyek-proyek pembangkit listrik swasta/Independent Power Producer (IPP), khususnya yang termasuk program 35.000 MW.

Caranya, PLN mensyaratkan penggunaan komponen pembangkitan dan Balance of Plant (BOP) yang difabrikasi dan dirakit oleh BUMN Strategis dan pabrikan dalam negeri secara maksimal.

Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso, mengatakan PLN sudah menetapkan 6 proyek IPP supaya menggunakan boiler (mesin pengubah air menjadi uap) produksi dalam negeri. "Kita sudah canangkan untuk 6 IPP, boilernya dari dalam negeri. Kita sudah tahu banyak komponen yang sudah bisa dibuat di dalam negeri," papar Iwan.

Keenam IPP tersebut adalah PLTU Bangka (2x100 MW), PLTU Kalselteng 3 (2x100 MW), PLTU Kaltim 3 (1x200 MW), PLTU Kaltim 6 (1x200 MW), PLTU Kalbar 2 (1x200 MW), PLTG/MG Peaker Jawa-Bali 4 dan akan menyusul beberapa proyek IPP lainnya. PLN telah memulai proses pengadaan beberapa proyek IPP tersebut dan telah meluluskan para peserta lelang dalam tahap pra kualifikasi (Pre-Qualification/PQ).

Alasan PLN mendorong peningkatan TDKN, di antaranya adalah untuk memberi multiplier efek yang besar baik dari sisi perekonomian, keuangan, dan tentu lapangan kerja industri karena sebagai tuan rumahnya. Harapan ini tentu juga dapat mewujudkan cita-cita BUMN Incorporated.

"Pembangkit-pembangkit kapasitas 100 MW ke bawah yang jumlahnya lebih dari 150 untuk 10 tahun ke depan populasinya sangat banyak, kita mulai dengan semaksimal mungkin komponennya dalam negeri. Kenapa? Kalau populasinya banyak, jumlahnya lebih dari 50 kan sudah layak, misalnya belum ada komponennya, bisa dibuat pabriknya disini," kata Iwan.

Pada akhirnya, kata Iwan, yang harus dijaga tetap delivery time. "Jadi pembangkit ini harus selesai sesuai dengan kontrak. Katakan 36 bulan atau 30 bulan atau 40 bulan seperti yang ditetapkan nanti dalam request for proposal, itu jangan ditawar. Karena kalau itu mundur dampaknya lebih berat lagi bagi suplai ketenagalistrikan," cetusnya.

FOKUS LUAR JAWA - Sementara itu, untuk proyek pembangkit 35.000 MW sendiri, PLN menegaskan akan fokus membangun pembangkit di luar Jawa. Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, memang ada proyek-proyek pembangkit listrik yang ditunda dan tidak dirampungkan pada 2019, semuanya di Jawa.

Namun, untuk pembangunan pembangkit-pembangkit di luar Jawa tetap dikebut, tidak ada penundaan. Alasannya, cadangan daya (reserve margin) listrik di Pulau Jawa sudah lebih dari 30%, sudah sangat aman.

Jadi pasokan listrik akan tetap terjaga keandalannya meski banyak proyek yang ditunda. "Kalau di luar Jawa tidak ada yang dikurangi. Yang dikurangi itu di Jawa yang sekarang sudah surplus 36%. Saya ulangi, di luar Jawa tidak ada yang saya kurangi," tegas Sofyan saat ditemui di Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Jumat (18/11/2016).

Berbeda dengan Jawa, cadangan daya listrik di luar Jawa masih rendah, masih perlu banyak tambahan pembangkit listrik agar reserve margin mencapai 30%. Misalnya di Sumatra, surplus listrik hanya 8%. Begitu juga di Kalimantan, total kapasitas listriknya hanya lebih besar 7% dibandingkan kebutuhan listrik saat beban puncak.

"Jawa hari ini sudah di atas 30% surplusnya. Di Sumatra 8%, Kalimantan masih 7%, untuk mencapai 30% itu kita harus bangun, tidak boleh berhenti di luar Jawa itu. Jadi program 35 GW luar Jawa tidak akan pernah ada yang dikurangi," tandasnya.

Beberapa proyek di luar Jawa bahkan malah dipercepat supaya selesai sebelum 2019. "Yang Sumatra kan 2x150 MW, 2x300 MW, 100 MW, pembangkit gas itu selesai 24 bulan. Saya bangun 2018 pun masih keburu," tutup Sofyan.

Khusus untuk Papua, Kementerian ESDM mematok peningkatan rasio elektrifikasi dari 45% menjadi 80% pada 2019. Hal ini sejalan dengan target rasio elektrifikasi nasional, target 97% itu tak mungkin tercapai kalau lebih dari 20% wilayah Papua masih belum berlistrik alias ´gelap gulita´.

"Pak Presiden kemarin di Papua mencanangkan Papua Terang, kalau bisa 2019 sudah terang benderang, meski sulit untuk melistriki seluruh desa. Kalau ingin 97% secara nasional di 2019, Papua sendiri harus 80%. Itu tantangan kita sampai 2019," kata Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana, beberapa waktu lalu.

Untuk menggenjot pembangunan infrastruktur kelistrikan di Papua, Kementerian ESDM tak mau hanya mengandalkan program 35.000 MW. "Program 35.000 MW-nya PLN kan ke Indonesia Timur sedikit. Kalau mengandalkan swasta (ke Indonesia Timur), dari sisi keekonomian belum menarik. Mungkin 1 desa hanya 300 KK, buat swasta lebih banyak ramainya daripada untungnya. Jadi harus negara yang hadir dulu," ucapnya.

Karena itu pemerintah membuat Program Indonesia Terang (PIT) yang tujuan utamanya menerangi desa-desa yang belum berlistrik, terutama di Indonesia Timur, termasuk Papua. PIT bukan untuk menambah total pasokan listrik seperti program 35.000 MW, tapi lebih pada pemerataan pembangunan kelistrikan.

"Proyek 35.000 MW lebih banyak menambah pasokan, konsentrasinya lebih banyak di Indonesia Barat, terutama Jawa karena mengikuti demand. Kita (PIT) lebih banyak ke pemerataan dan kesetaraan bahwa di sana (desa terpencil) juga berhak mendapat infrastruktur dasar berupa listrik. Ukurannya bukan nambah (listrik), tapi jumlah KK dan desa yang terlistriki," papar Rida. (dtc)

BACA JUGA: