JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan, target pembangunan pembangkit listrik berdaya total sebesar 35 ribu Megawatt dipastikan tak akan tercapai sepenuhnya di tahun 2019. Meski begitu, target rasio elektrifikasi nasional tidak akan terganggu. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan, kebutuhan listrik hingga 2019 memang hanya mencapai sekitar 19.000 MW, dihitung dari asumsi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%.

Kebutuhan listrik sebesar 35.000 MW, kata dia, tercapai jika pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai harapan yaitu di angka 7%. Karena itu, Jarman menjelaskan, bila asumsi pertumbuhan ekonomi tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi pertumbuhan permintaan listrik masyarakat. "Tadinya asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipasang hingga 2019 mencapai tujuh persen," kata Jarman, di Gedung Direktorat Jenderal Kelistrikan, Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (30/11).

Jarman mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun lalu berada di posisi 4,73 persen dan diprediksi akan mencapai lima persen di tahun ini. "Jadi kalau telah dikoreksi sesuai permintaannya, maka kebutuhan listrik akan kurang dari 35 ribu MW, mungkin cuma 25 ribu MW." jelasnya.

Karena itulah, kata dia, meskipun proyek pembangkit listrik 35 ribu MW tidak tercapai semua, tetap tidak akan mempengaruhi rasio elektrifikasi. Jarman menegaskan, dari target 35.000 MW, kemungkinan besar yang bisa digarap mencapai 24 ribu MW.

Perhitungan ini muncul setelah melihat realisasi pembangkit yang sudah memasuki masa kontruksi. Dari tahun 2015 hingga semester akhir 2016, pembangkit dengan total kapasitas 4.500 MW dari proyek 35 ribu MW sudah memasuki fase tersebut. "Rencananya akan masuk lagi 4.500 MW dalam waktu dekat, sehingga kami yakin 25 ribu MW untuk memenuhi kebutuhan dapat dipenuhi dengan tepat waktu," paparnya.

Dia mengungkapkan, jika rasio elektrifikasi sampai akhir tahun bisa menyentuh pada 90,5 persen, pemerintah harus mengejar pertumbuhan rasio 6,63 persen dalam jangka waktu tiga tahun mendatang.

Terkait masalah ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, sejak awal dia mengkritik target yang dicanangkan pemerintah. Menurutnya, target membangun pembangkit listrik berday total 35 ribu MW dalam lima tahun masa pemerintahan merupakan target yang sangat tinggi dan terlalu optimis.

"Kalau tidak tercapai itu adalah risiko, karena pengerjaannya kurang optimal. Sebab DEN menyebutkan hanya 19,7 ribu MW yang dapat terbangun sampai tahun 2019," kata Fabby kepada gresnews.com, Rabu (30/11).

Meskipun mengalami kendala, kata dia, proyek listrik 35 ribu MW, harus tetap dilanjutkan. "Karena kebutuhan listrik tumbuh terus. Tapi penyelesaiannya mungkin sampai dengan tahun 2022." ujarnya.

Dia menyebutkan, peningkatan rasio elektrifikasi perlu strategi yang berbeda. "Karena penyediaan listrik untuk menaikan elektrifikasi perlu dilakukan dengan cara off grid, selain on grid," ujarnya.

Seperti diketahui sebelumnya, pemerintah menyatakan jika megaproyek 35 ribu MW hanya akan mencapai 19.763 MW, atau 55,47 persen, dari target yang 35.000 MW di tahun 2019. Angka tersebut dilihat dari banyaknya proyek yang memasuki masa kewajiban pembiayaa (financial closing) sampai pada akhir tahun 2016.

GANDENG SWASTA - Sementara itu, untuk meningkatkan rasio elektrifikasi khususnya di pedesaan dan daerah terpencil, Menteri ESDM Ignasius Jonan menggandeng pihak swasta, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan koperasi. Jonan mengatakan saat ini masih ada 2.500 desa di seluruh Indonesia yang belum menikmati listrik. Desa-desa tersebut ada di daerah terpencil dan sulit dijangkau.

Karena itu, Jonan berharap pihak swasta, BUMD dan koperasi mau terjun untuk melistriki 2.500 desa terpencil itu. Jonan pun membuat Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengizinkan swasta untuk membangun pembangkit, jaringan, dan menjual listrik secara langsung kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil. Selama ini, hanya PLN yang bisa menjual listrik ke masyarakat. Dengan adanya aturan baru ini, PLN tak lagi memonopoli, swasta juga bisa menjadi ´PLN mini´ di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau PLN.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Alihuddin Sitompul mengungkapkan, Permen ESDM tersebut sudah ditandatangani. Sekarang sedang diproses di Kementerian Hukum dan HAM.

"Pemerintah mendorong swasta, BUMD untuk berbisnis listrik dalam skala kecil, maksimum 50 MW, investor bisa berlaku seperti ´PLN mini´. Jadi pembangkitnya dibangun sendiri, disalurkan sendiri, dijual sendiri ke masyarakat. Permen-nya sudah ditandatangani Pak Menteri, sekarang tinggal diproses di Kemenkum HAM. Melalui Permen ini diharapkan seluruh desa bisa berlistrik," kata Alihuddin.

Ia mengatakan, ada insentif-insentif yang disiapkan agar swasta tertarik menjadi PLN mini di daerah-daerah remote. "Dalam rangka melistriki 2.500 desa, partisipasi BUMD, swasta, dan koperasi akan didorong dengan penyediaan insentif," ucapnya.

Untuk melistriki daerah-daerah terpencil ini sampai 24 jam, diharapkan swasta mau membangun pembangkit listrik hybrid, yaitu kombinasi antara energi terbarukan dengan energi fosil. Misalnya kombinasi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Pembangkit listrik hybrid akan disesuaikan dengan potensi energi di masing-masing daerah. Misalkan untuk daerah yang sinar mataharinya cukup, bisa memakai PLTS, atau yang anginnya kuat bisa memakai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Pada siang hari, listrik yang digunakan dari PLTS. Kemudian saat malam sudah tidak ada sinar matahari, gantian PLTD yang dinyalakan untuk memasok listrik. Dengan begitu daerah terpencil bisa mendapat listrik 24 jam, tapi biaya pokok produksi (BPP) listrik juga bisa tetap efisien. "Khusus untuk melistriki 2.500 desa, pemanfaatan energi setempat dengan skema hybrid akan diutamakan," tutupnya.

BIAYA MAHAL - Meski peraturan sudah dibuat, namun masih ada kendala-kendala yang berpotensi menghambat pelaksanaan aturan ini di lapangan. Salah satunya, Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah terpencil pasti lebih tinggi daripada BPP listrik PLN di seluruh Indonesia yang hanya Rp 1.352/kWh.

Dengan harga sebesar itu, sulit bagi swasta untuk dapat menjual listrik ke masyarakat dengan tarif yang sama seperti PLN. Di sisi lain, masyarakat di daerah terpencil tentu tak bisa menanggung tarif listrik yang tinggi.

"Daya beli masyarakat kita di daerah-daerah terpencil tidak mampu membeli listrik bahkan dengan harga produksi," kata Ketua Apindo Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Sammy Hamzah, dalam diskusi Towads Energy Transformation di Gedung Patra Jasa, Jakarta, Rabu (30/11).

Menurut Sammy, harus dibuat bisnis model yang menarik agar swasta mau masuk melistriki daerah-daerah terpencil. Perlu campur tangan pemerintah supaya harga jual listrik cukup ekonomis bagi swasta, tapi juga tidak memberatkan masyarakat. Bisnis model untuk daerah terpencil, menurut kami sulit berkembang kalau tidak ada intervensi dari pemerintah," ucapnya.

Mungkin perlu subsidi dari pemerintah untuk menutup selisih antara BPP listrik dari swasta dengan tarif yang mampu ditanggung masyarakat di daerah terpencil. Tapi, Sammy menambahkan, kebijakan subsidi tidak sehat dalam jangka panjang. "Kalaupun kita tetapkan subsidi, harus kita tetapkan kapan harus dihilangkan," cetusnya.

Selain soal harga jual listrik, kendala lain yang harus dihadapi swasta dalam melistriki daerah terpencil adalah pembebasan lahan untuk pembangkit listrik dan jaringannya. Juga soal perizinan. "Masalah lain adalah ketersediaan lahan dan perizinan. Proses bisnis kita masih sangat berat. Subsidi itu juga bisa dalam bentuk kemudahan berusaha," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: