JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara merevisi dua Peraturan Pemerintah (PP) No 52 dan PP No 53 tahun 2000 tentang Interkoneksi dan Network sharing dipersoalkan. Rencana tersebut dituding sebagai upaya melapangkan jalan perusahaan Telekomunikasi China kuasai industri telekomunikasi di Indonesia. Tudingan itu dilayangkan Forum Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, sebagai  penolakan atas rencana revisi dua PP tersebut.

Sekretaris Jenderal FSP BUMN Bersatu, Tri Sasono mengatakan, rencana Menteri Rudiantara merevisi dua PP itu dinilai sebagai bentuk liberalisasi telekomunikasi yang ugal-ugalan. Menurutnya selama ini salah satu negara yang kerap diuntungkan oleh kebijakan pemerintahan Jokowi- JK adalah negara China. "Terhadap salah satu sektor strategis yakni telekomunikasi, China juga menargetkan ingin menguasai," ujar Tri kepada gresnews.com, Jumat (27/10).
 
Menurutnya, getolnya Menkominfo mendorong revisi  dua PP tersebut, diduda karena ada kongkalikong antara China dengan Menkominfo. "Kami menduga ada persekongkolan antara perusahaan telekomunikasi China yakni China Telecom dengan Kemenkominfo untuk merevisi kedua PP tersebut," ujarnya.

Dia mengungkapkan bahwa  pihak China Telecom Corporation Limited telah mengajukan syarat dalam pembelian saham dua operator jasa telekomunikasi seluler kedua dan ketiga terbesar di Indonesia. Dugaannya salah satu syarat dalam perjanjian  itu Kemenkominfo harus merevisi PP 52 dan PP 53.

"Kalau data yang kami dapat, di dalam conditional sale and purchase agreement yang ditandatangani pihak China Telecom Corporation Ltd dan dua perusahaan operator telekomunikasi seluler pada Juni 2016 itu, ada kesepakatan itu," ujarnya.

Dalam klausul Pasal 3 perjanjian tersebut, disampaikan bahwa pihak penjual memberikan jaminan dan pernyataan untuk membantu pihak China Telecom. Dimana jaminan itu berupa kesanggupan mengupayakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan merevisi PP 52 dan PP 53

"Jadi tujuan klausul Pasal 3 itu, supaya pihak China Telecom, setelah mengambil alih saham kedua operator telekomunikasi, tanpa harus mengeluarkan biaya investasi yang besar bisa menambah alokasi spectrum frekuensi. Caranya melalui revisi kedua PP tersebut oleh pemerintah," jelasnya.

Padahal, menurut Tri, sesuai ketentuan PP 53 tahun 2000 jelas diatur pemegang lisensi jasa operator telekomunikasi seluler memiliki kewajiban membangun infrastruktur untuk alokasi spectrum dan tidak diperbolehkan menggunakan alokasi spektrum frekuensi milik operator telekomunikasi lainnya.

Begitu juga, dalam revisi PP 52 terkait tarif interkoneksi antar operator (off net) ada klausul yang harus dijamin oleh pemerintah dengan menurunkan tarif interkoneksi. Jaminan itu antara lain  agar Telecom China dapat menguasai pasar industri telekomunikasi.

"Tapi enaknya, mereka tanpa harus membangun infrastruktur jaringan untuk menambah pelanggan," kecam Tri.

Untuk itu, ia menegaskan, FSP BUMN Bersatu telah menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menyelidiki dugaan pungutan liar (pungli) dan suap terkait kertas putih berupa revisi PP 52 dan 53 yang diduga dilakukan oleh pihak-pihak yang berkumpul di Kemenkominfo.

Sementara itu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Noor Iza yang dikonfirmasi soal ini mengatakan belum mengetahui adanya perusahaan telekomunikasi China Telecom yang akan berinvestasi melalui pembelian salah satu perusahaan jasa telekomunikasi seluler.

Menurutnya sejauh ini soal revisi PP nomor 52 dan PP nomor 53 tahun 2000 itu memang kebutuhan regulasi.  "Itu sudah dimulai sejak lama mungkin tahun 2013 kita telah mulai," kata Iza, melalui pesan singkat kepada gresnews.com, Jumat(28/10).

OMBUDSMAN AKAN TELITI - Menanggapi dugaan campur tangan perusahaan telkom China dalam revisi kedua PP tersebut, Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih mengatakan, akan meneliti penyusunan PP tersebut. Menurutnya sepanjang hal itu inisiatif sepihak dari perusahaan maka perkaranya akan diteliti oleh KPPU. Namun jika ada bukti-bukti permainan yang dilakukan pemerintah , maka hal itu masuk dalam kategori maladministrasi yang menjadi kewenangan Ombudsman untuk menangani.

"Namun sampai saat ini belum ada laporan langsung ke ombudsman." kata Alamsyah kepada gresnews.com, Jumat (28/10).

Sementara itu Sekjen Fitra, Yenny Sucipto mengatakan jika privatisi terindikasi diberikan ke China Telecom , maka kepemilikan aset dikemudian hari akan dikuasai oleh China. "Inilah yang harus dipertanyakan," katanya.

Yenny mengakui selama ini China seolah leading dalam tata kelola BUMN di Indonesia, bahkan kini mereka sudah mulai kerjasama dengan Kemekominfo. Dalam hal ini China terlihat sangat mendominasi untuk intervensi perekonomian di Indonesia melalui proyek infrastruktur.

MEMPERJELAS ATURAN - Namun Pakar Komunikasi dan Informasi System Pratama Dahlian Persada justru melihat perubahan PP 52/53 itu sebagai upaya pemerintah memperjelas aturan tentang penyadapan dan usaha gangguan telekomunikasi. Sebab dalam perubahan PP 52/53 itu pemerintah menambahkan Pasal 88A dan 88B.

Pada pasal 88A dijelaskan bahwa Penyadapan Informasi (Lawful Interception) yang sah  dilakukan hanya oleh  Aparat Penegak Hukum. "Melalui alat dan perangkat penyedapan informasi dan proses identifikasi sasaran dikendalikan oleh Aparat Penegak Hukum," kata Pratama kepada gresnews.com, Jumat (28/10).

Namun, dia melihat pasal ini hanya menekankan larangan pada usaha gangguan atau intersepsi lewat fisik dan elektromagnetik. Padahal kini usaha menyadap juga bisa dilakukan dengan software tertentu, tanpa harus menyentuh fisik alat komunikasi maupun menggunakan alat gangguan elektromagnetik.

Sementara soal tarif interkoneksi, pihaknya mendukung jika prinsipnya membuat masyarakat lebih mudah melakukan komunikasi dan akses informasi. "Tapi tetap pemerintah harus bisa memberikan batasan yang jelas, agar kita tidak jadi bulan-bulanan asing. Karena kedaulatan informasi ini kini menjadi pilar dan pondasi penting dari kedaulatan sebuah negara," tegasnya.

Sebelumnya,  rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika menurunkan tarif  interkoneksi sebesar Rp204 per menit  terhadap semua operator dinilai hanya akan menguntungkan operator asing dan merugikan  negara. Sebab dalam industri telekomunikasi ada Telkom sebagai perusahaan negara yang ikut dalam persaingan, padahal Telkom telah lebih dulu membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah-daerah terpencil dan pelosok Indonesia.

Melalui Surat Edaran Kemkominfo No 115/M Kominfo/PI.0204.08/2016. Namun  wacana biaya interkoneksi yang semula akan diberlakukan pada 1 September mengalami penundaan dengan waktu yang belum ditentukan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) mengaku tengah mendalami polemik tarif lintas operator (off net) di luar Jawa. Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf, mengatakan, ada indikasi price fixing dalam penerapan tarif telepon lintas operator di luar Jawa yang dilakukan dua operator yakni, PT Indosat Tbk dan PT XL Axiata.

Dia menjelaskan, hal tersebut diketahui dari pemeriksaan anak usaha  patungan dua perusahaan tersebut, PT One Indonesia Synergy yang terindikasi kartel.

"Terdapat tiga komponen biaya dalam skema tarif dan tiap operator berbeda-beda pengeluarannya untuk bangun jaringan, ada yang patuh, ada yang tidak, meskipun lisensinya sama-sama nasional," kata Syarkawi kepada gresnews.com, Rabu (12/10).

Untuk diketahui sebelumnya, Indosat mengeluarkan program telepon  Rp1 per detik (Rp60 per menit) untuk panggilan off net di luar Jawa pada pertengahan 2016. Lalu  XL juga mengeluarkan program yang sama, yakni  tarif panggilan Rp59 per menit di luar Jawa.

Namun penetapan tentang tarif baru interkoneksi itu saat ini sementara ditangguhkan. Kendati demikian pemasaran tarif baru itu tetap dilakukan XL dan Indosat. Sehingga KPPU menilai ada indikasi persaingan tidak sehat.

Menurut KPU, indikasi itu terlihat sejak polemik tentang revisi PP No 52 dan 53 Tahun 2000 mencuat, khususnya polemik mengenai interkoneksi dan network sharing.

KPPU  menyatakan dalam nerwotk sharing dan interkoneksi pihaknya sangat mendukung upaya industri menuju efisiensi. KPPU pun mendorong pemerintah untuk menetapkan reward and punisment bagi semua operator sesuai lisensi yang dipunyai.

"Jika ada lisensi operator seluler tersebut harus membangun jaringan secara nasional. Jadi harus dihitung  juga mekanisme kompensasi bagi operator yang patuh bangun jaringan, misalnya Telkomsel," ujarnya.

BACA JUGA: