JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gaduh kembali terulang dalam Industri telekomunikasi, sebelumnya ramai dengan perhitungan baru biaya interkoneksi yang belum juga diterapkan. Kini muasal kegaduhan dari rencana Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53/200 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Wakil Ketua Komisi I DPR dari fraksi PAN, Hanafi Rais mengatakan revisi PP Nomor 52/2000 dan PP Nomor 53/2000 telah melanggar prosedur dan bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya dengan melakukan revisi tersebut maka yang mulanya frekuensi dan telekomunikasi punya negara akan dimiliki pihak swasta. Dampak kedepan akan banyak operator dan swasta yang menguasai telekomunikasi dan frekuensi di Indonesia.

"Kalau dilihat dari draft revisi PP No 52/2000 dan PP No 53/2000 sangat bertentangan dengan UU Telekomunikasi, sebab yang sebelumnya dikuasai negara, tetapi saat ini akan banyak operator dan swasta yang memilikinya, " kata Hanafi di diskusi dengan Tema Ada Apa RPP Networking dan Frekuensi Sharing yang digelar Majalah Forum Keadilan, di Kedai Sirih Merah, Jalan Kebon Sirih 1 No. 5 Jakarta Pusat, Rabu (5/10).

Dia meminta agar draft revisi PP No 52/2000 dan PP No 53/2000 dikoreksi, karena bila tidak maka akan terjadi ultra liberalisasi bagi industri telekomunikasi di Indonesia. Bisnis telekomunikasi di Indonesia dapat menjadi semakin longgar, tetapi keuntungannya tidak di peroleh Indonesia.

"Kalau tidak ada koreksi ( revisi PP No 52/2000 dan PP No 53/2000) maka negara bisa terbeli, bahaya ini," ujarnya.

Dalam draft revisi PP 52/2000 ada perubahan yang signifikan misalnya dalam Pasal 10G, yakni sebagai berikut:

"Dalam keadaan tertentu, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan kelengkapan jaringan tertentu miliknya untuk dipakai dan dimanfaatkan secara bersama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi"

Dalam ayat selanjutnya, kembali dijelaskan kewajiban sharing tersebut. Pertama, terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasi pembangunan kelengkapan jaringan tertentu. Kedua, terdapat beberapa kelengkapan jaringan sejenis yang dibangun pada lokasi yang sama. Ketiga, tersedia kapasitas jaringan sejenis pada rute yang sama.

Revisi PP ini pun menyampaikan prinsip kewajiban penyediaan kelengkapan jaringan tertentu sebanyak enam prinsip. Beberapa di antaranya adalah kerja sama yang saling menguntungkan, persaingan usaha yang sehat, pemanfaatan sumber daya secara efisien, terbuka, transparan dan non-diskriminasi.

Selanjutnya, revisi PP 53/2000 mengungkapkan pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio yang merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat mengalihkan izin penggunaan spektrum frekuensi dengan bunyi sebagai berikut:

"Pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio yang merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat mengalihkan izin penggunaan spektrum frekuensi radio kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya."

Dalam ayat berikutnya, dijelaskan rencana pengalihan izin penggunaan spektrum frekuensi radio harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri. Lebih lanjut, Menteri dapat menyetujui atau menolak rencana pengalihan izin penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan hasil evaluasi.

CACAT PROSEDUR - Sementara itu, menyikapi soal PP No 52/2000 dan PP No 53/2000, Komisioner Ombusmand RI Ahmad Alamsyah Saragih menjelaskan jika prosedur pembuatan draf regulasi tidak transparan, maka regulasi tersebut bisa disebut cacat secara prosedur. Atas dasar tersebut, dia meminta agar pemerintah untuk menggelar konsultasi publik sebagaimana yang diamanahkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebelum aturan tersebut disetujui oleh Presiden.

Dia menyebutkan, jika dalam Pasal 96 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan jika masyarakat, baik perorangan maupun kelompok yang berkepentingan atas subtansi seperti organisasi masayarakat ( Ormas) , kelompok profesi, serta LSM mendapatkan hak untuk memberikan pendapat secara lisan ataupun tertulis dalam pembentukan peraturan. Caranya pun berbeda-beda, mulai dari Rapat Dengar Pendapat Umum( RDPU), kunjungan kerja (Kunker), sosialisasi, dan seminar.

Namun, terkait amanah dalam Pasal 96 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 untuk menggelar konsultasi publik, dia mengaku pihaknya belum mengetahui soal Kemenkominfo apakah telah menggelarnya konsultasi tersebut.

"Kalau sejauh ini selama melakukan monitoring terhadap jaringan dan berbagai frekuensi, sepertinya Kemenkominfo belum melakukan konsultasi publik sama sekali, maka kita pertanyakan ada apa proses penyusunan kedua regulasi tersebut,kalau tanpa ada konsultasi tersebut, bisa cacat prosedur," tegas Alamsyah ditempat yang sama,Rabu (5/10).

Selain itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menyebutkan revisi kedua PP No 52/2000 dan PP No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit, seakan-akan ingin melanggar aturan yang sudah diatur dalam UU. "Maka draft RPP tersebut sangat bertentangan dengan UU yang ada, seharusnya tidak boleh dilanggar, jadi RPP seperti sudah melewati UU yang telah ada, padahal PP merupakan penjabaran dari isi UU yang sudah dibuat sebelumnya," kata Margarito.

Bahkan dirinya menilai, permasalahan ini lebih mengandung muatan dan ada bentuk dugaan praktik merkantilisme dalam polemik revisi kedua PP No 52/2000 dan PP No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit. Merkantilisme adalah suatu sistem politik ekonomi yang sangat mementingkan perdagangan internasional dengan tujuan untuk memperbanyak aset dan modal yang dimiliki suatu negara.

Merkantlisme tertuang dalam peraturan negara yang berbentuk proteksionisme dan politik kolonial demi neraca perdagangan yang menguntungkan. Merkantilisme ini mrupakan praktek dan teori ekonomi, yang dominan di Eropa dari 16 ke abad ke-18, yang dipromosikan lewat peraturan ekonomi pemerintahan suatu negara untuk tujuan menambah kekuasaan negara dengan mengorbankan kekuatan nasional saingannya.

Sementara itu, perwakilan dari pemerintah, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi menyebutkan jika draf kedua RPP masih pembahasan dan masih berada di meja Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian pada saat ini.

Tak hanya itu, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto menyebutkan bila revisi PP 52/2000 dan PP 53 /2000 tetap diberlakukan hanya menguntungkan pihak elit-elit tertentu dan juga dapat merugikan negara. "Kalau revisi PP tersebut diberlakukan maka ada sejumlah potensi kerugian negara berasal dari pajak dari 2017-2022 sebesar Rp2,3 triliun dan deviden tidak dibayarkan ke negara sebesar Rp51,6 triliun," tegasnya.

 

BACA JUGA: