JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo mengatakan, proyek pembangunan Pembangkit Listrik berdaya total 35 ribu Megawatt (MW) merupakan proyek tersebut realistis. Alasannya, kebutuhan listrik di Indonesia sangat besar, sehingga Jokowi meminta agar proyek tersebut dikebut sesuai target. Hal itu ditegaskan Presiden Jokowi saat mengundang sekitar 100 investor bidang kelistrikan di Istana Negara, Selasa (22/12) lalu.

Jokowi menegaskan, urusan listrik sekarang ini bukan hanya urusan Perusahaan Listrik Negara (PLN), tetapi sudah menjadi urusan negara. "Kenapa harus seperti itu? Karena setiap saya ke daerah di provinsi manapun, keluhannya sama. Listriknya byar-pet, sehari mati empat kali, sehari mati delapan kali, sehari mati dua kali, listriknya mati, listriknya kurang. Itu yang saya temui di setiap daerah," kata Presiden Jokowi seperti dikutip setkab.go.id.

Situasi ini semakin genting mengingat pertumbuhan industri yang semakin besar pula. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor itu, kata Jokowi, maka pembangunan pembangkit listrik berdaya total 35.000 MW mendesak diselesaikan. Jokowi mengaku optimis pemerintah mampu target itu.

"Dengan catatan, izin-izin yang terlalu ruwet itu harus dipotong. Izin-izin yang terlalu lama,potong. Baik yang di PLN, baik yang di Kementerian, baik yang di pusat dan di daerah. Itu yang sekarang ini kita lakukan. Jadi pertemuan pada sore ini, saya ingin menekankan lagi, jadi 35.000 megawatt itu kebutuhan. Itu kebutuhan," tegas Jokowi.

Dalam pertemuan tersebut, Jokowi pun langsung menagih investor yang datang untuk menyatakan kesiapan soal kapan pembangkit listrik yang sudah dijanjikan dibangun tersebut rampung dan bisa dioperasikan. Investor yang yang menyatakan pembangkit listrik selesai lebih dari‎ tahun 2019, tidak diperbolehkan duduk oleh Jokowi dan diminta untuk tetap berdiri. Sementara investor yang berkomitmen selesai membangun pembangkit sebelum 2019 dipersilakan untuk langsung duduk.

Jokowi pun meminta kepada para investor yang masih berdiri itu untuk menjelaskan kendalanya masing-masing. Akhirnya, Jokowi meminta kepada investor yang masih berdiri tersebut untuk bekerja secepat mungkin.

Kepada para investor, Jokowi juga menyampaikan kesiapannya untuk membantu investor yang menghadapi berbagai maslaah termasuk pembebasan lahan. "Ini Pak Menteri (Agraria/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan-red) ada disini. Kita akan bantu. Karena dengan adanya listrik ini terutama di tempat terpencil, anak-anak kita akan bisa belajar malam hari, industri kecil-kecil garmen di kampung-kampung juga bisa bekerja di malam hari. Ini bukan urusan bisnis lagi, Ini urusan kepentingan rakyat, listrik ini," tegas Jokowi.

Usai pertemuan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengemukakan, dari target pengadaan listrik 35.000 Mega Watt (MW) sampai akhir tahun ini sudah ada kontrak pengadaan sebanyak 17.340 MW.

"Ini satu target yang patut kita syukuri. Tentu saja kita harus review satu persatu. Tapi kita syukuri, ternyata minat investor betul-betul tinggi. Sekarang tugas dari semua, bagaimana kontraknya bisa dijalankan," kata Sudirman.

Menurut Sudirman, dalam pertemuan dengan para investor itu, Presiden Jokowi telah menanyakan secara detil progress dari masing-masing, yang menunjukkan adanya concern dari pemimpin kita yang tidak ingin dilaporkan yang baik-baik saja. "Jadi kita punya tools untuk memonitornya," ujar Sudirman.

Mengenai masalah tarif, Sudirman menjelaskan, akan ada kesepakatan karena aka nada tarif patokan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). "Antara pengembang dan PLN akan punya kesepakatan. Planningnya PLN kurang lebih 10 ribu akan ditandatangani," ungkap Sudirman.

RAWAN KORUPSI - Menanggapi kegelisahan pemerintah yang ingin agar proyek pembangkit listrik berdaya total 35.000 MW ini segera terlaksana, Direktur Executif Indonesia Mining Dan Energy Studi (IMES) Harli Muin mengaku bisa memahami keinginan pemerintah itu. Dia mengatakan, Indonesia saat ini sedang dalam keadaan krisis listrik, baik listrik untuk industri maupun lsitrik untuk rumah tangga.

Karena itu, pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW saat ini menjadi kebutuhan urgen pemerintahan Jokowi untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja baik langsung mapun tidak langsung. "Bisa dilihat, dari rasio eletrifikasi Indonesia saat ini baru 80 persen. (rasio elektrifikasi adalah pembandingan jumlah penduduk yang terlayani listrik dibagi dengan jumlah total penduduk Indonesia yang belum terlayani listrik x 100 persen)," ujarnya.

Artinya, listrik di Indonesia sebagian besar hanya melayani listrik rumah tangga, hanya sebagian kecil untuk industri. Padahal untuk memacu pertubuhan dan pengurangan kemiskinan, listrik untuk industri adalah penting,

Harli menjelaskan, saat ini jaringan listrik tersedia di Indonesia mencapai sebanyak 53.000 MW. Dari jumlah itu, Jawa-Bali menyerap 60 persen tenaga listrik, Sumatera 20 persen dan Sulawesi, Kalimantan, Papua, NTT, NTB serta Maluku sebesar 20 persen.

"Jadi, pembangunan listrik 35.000 MW memang salah satu cara mengurangi krisis ketersedian listrik," kata Harli kepada gresnews.com, Minggu (27/12).

Hanya saja dia mengingatkan, soal krisis listrik bukan melulu soal kurangnya pembangkit listrik, tetapi juga karena faktor buruknya manajemen distribusi PLN dan penuh dengan korupsi. Kondisi ini, kata Harli, harus dibenahi sebelum pemerintah merealisasikan proyek 35.000 MW.

Jika tidak, pembangunan proyek tersebut bakal dipenuhi oleh korupsi. "Apalagi bila PLN masih diberi monopoli oleh negara sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam pegadaan dan distrbusi listrik," tegas Harli.

Harli menerangkan, korupsi oleh pengelola listrik bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan kelemahan admisnitrasi dan regulasi pengadaan pembakit listrik. Pertama, untuk membangun listrik, para investor diwajibkan bekerjasama dengan PLN melalui berbagai bentuk kerjasama.

"PLN-lah yang menetukan harga listrik melalui purchasing agreement. Perjanjian ini kerapkali dipenuhi suap dan pelicin," jelasnya.

Harli menambahkan, rawan korupsi tahap kedua, untuk mengurus pembangunan pembangkit, para investor harus melalui puluhan perizinan. Untuk PLTA misalnya, wajib melalui 40 tahap perizinan. Bila PLTA ada 40, maka PLTU kurang sedikit perizinan. Nah perizinan inilah, yang kemudian banyak dimanfaatkan untuk melakukan korupsi.

"Misalnya, PLTA Cisokan, di Jawa Barat, kita bisa lihat dugaan korupsi pembebasan lahan, korupsi pinjam pakai lahan bila di kawasan konservasi, manipulasi laporan EIA (Amdal)," ungkap Harli.

Untuk mendapatkan bantuan Bank Dunia, mereka harus membuat laporan yang sesuai permintaan Bank Dunia, meski bertentangan dengan apa yang terjadi dilapangan. Menurutnya di luar itu, karena pembangunan gardu dan transmisi listrik mahal, maka peluang korupsi di sektor distribusi juga besar.

Meski sudah ada kebijakan paket kebijakan ekonomi, IMES sama sekali tidak percaya kebijakan itu dapat menghapus korupsi. "Bagaimana mengurangi korupsi, menghapus monopoli PLN dalam pengadaan listrik saja pemerintah tak bisa. Seharusnya biarkan pengadaan listrik menjadi kompetitif, sehingga tak rawan korupsi," katanya.

Di sisi lain, Harli juga khawatir proyek ini menjadi proyek "nafsu besar tenaga kurang". Alasannya, dia melihat hambatan pembangunan pembangkit masih banyak termasuk soal perizinan. Kedua, karena regulasinya amburadul, penggusuran dan protes akan terjadi dimana-mana.

"Mulai dari regulasi pembenasan lahan untuk kepentingan umum, sampai dengan regulasi pengelolaan lingkungan dan kerjasama dengan PLN, yakni korupsi tadi," tegas Harli.

Untuk mengurangi risiko, pemerintah harus mempermudah regulasi pembangunan pembangkit. "Regulasi mengenai ganti rugi tanah diperbaiki, penilaian kelayakan lingkungan juga harus diperbaiki. Perbaikian ini dapat mengurangi risiko konflik dan risiko korupsi," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga harus melihat alternatif lain seperti pengembangan energi terbarukan. "Masih banyak renewable energy. Hanya saja pemerintah perlu memikirkan, renewable energy ini skalanya, oleh karena itu, listrik jenis ini cocok untuk rumah tangga miskin di pedesaan. Sedangkan skala besar memang untuk industri dan kebutuhan produksi lainnya," pungkasnya.

PORSI PLN DIKURANGI - Sementara itu, pemerintah sendiri sepertinya cukup menyadari bahwa proyek sebesar ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada PLN semata. Untuk itu, pemerintah bakal mengurangi porsi PLN. Langkah ini diambil karena perusahaan listrik pelat merah itu gagal menerima suntikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 10 triliun.

PLN membutuhkan suntikan modal untuk memperkuat permodalannya dalam mendukung proyek listrik 35.000 MW. Saat ini PLN diserahi tugas membangun sejumlah pembangkit listrik dengan total daya hingga 5.000 MW dari proyek 35.000 MW.

Sebagian porsi PLN tersebut akan diserahkan ke swasta bila permodalan PLN tidak cukup. "Prinsipnya adalah pembangkit yang dibangun PLN sesuai dengan kemampuan dia. Bisa saja di bawah 5.000 MW, kira-kira berapa kemampuan finansial dia?‎" ucap Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, berkurangnya porsi PLN dalam proyek listrik 35.000 MW tidak akan menimbulkan masalah. Apalagi kalau swasta justru bisa membangun pembangkit listrik dengan lebih murah, tentu anggaran untuk proyek 35.000 MW ‎menjadi lebih efisien. "Kalau swasta bisa membangun pembangkit lebih murah, kenapa tidak?" tukas Jarman.

‎Yang penting, dia menambahkan, jaringan transmisi dan distribusi tetap dikuasai sepenuhnya oleh PLN. Karena itu, lebih baik PLN fokus saja membangun jaringan transmisi dan distribusi bila keuangannya tak cukup kuat untuk membangun banyak pembangkit listrik. "Dia (PLN) harus konsentrasi di jaringan transmisi dan distribusi. ‎Yang penting backbone transmisi yang menjadi monopoli alamiah, harus dipegang negara melalui PLN," ujarnya.

Jarman menghitung, PLN membutuhkan uang sampai Rp180 triliun dalam 5 tahun ke depan hanya untuk membangun jaringan transmisi listrik saja. Bila ditugasi pembangunan pembangkit listrik sampai 10.000 MW, pihaknya khawatir PLN menjadi amat terbebani. "Untuk transmisi itu PLN perlu Rp 160-180 triliun untuk total selama 5 tahun," ungkap Jarman.

Karena itulah maka porsi swasta diperbesar dan porsi PLN dikurangi dalam proyek 35.000 MW. Namun, hingga saat ini PLN tetap mempersiapkan pembangunan 35 pembangkit listrik dengan total 10.000 MW, karena belum ada aturan resmi dari Kementerian ESDM terkait pengurangan jatah PLN menjadi hanya 5.000 MW. (Gresnews.com/ Agus Irawan/dtc)

BACA JUGA: