JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi II dan telah siap mengeluarkan kebijakan ekonomi III, nyatanya pelemahan rupiah terus berlangsung.  Kondisi itu memicu munculnya sejumlah spekulasi. Anggota Fraksi DPR RI dari partai pendukung pemerintahan pun menuding  tak beranjaknya kondisi ekonomi Indonesia diakibatkan kebijakan moneter BI.

Koordinator Bidang Ekonomi PDIP, Hendrawan Supratikno mengungkapkan sejak awal tahun 2015, Rupiah sudah mengalami pelemahan sebanyak 18 persen. Padahal pada tahun 2014 diketahui Rupiah hanya melemah di bawah 2 persen. Hal itu menurutnya banyak disebabkan melesetnya realisasi BI dan  lemahnya kemampuan antisipasi dari bank sentral tersebut.

Meski diakui Hendrawan,  terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pelemahan tersebut, diantaranya investor yang mengantisipasi suku bunga di Amerika, upaya normalisasi kebijakan moneter di AS, kuantitatif bank sentral eropa, dampak krisis Yunani, pendevaluasian Yuan oleh Tiongkok, dan komoditas ekspor yang harganya turun.

Mereka khawatir pelemahan nilai Rupiah dapat mencapai Rp15.000. Sebab jika hal tersebut terjadi, utang negara akan membengkak. Selain itu perusahaan yang proses produksi bergantung pada impor pun akan kelimpungan.

"Diasumsikan  APBN 2016 nilai tukar Rupiah hanya Rp13.900 tapi sekarang sudah lebih dari Rp14.000," ujarnya saat jumpa pers di Ruang Fraksi PDIP DPR RI, Senayan, Selasa (29/9).

Diungkapkan Hendrawan, pada rapat tanggal 22 Januari 2015 dengan Komisi XI DPR RI diketahui BI memberikan rentang nilai tukar Rupiah sebesar Rp12.200-12.800 dengan alasan penguatan Dollar AS secara global. Namun depresiasi nilai Rupiah berada pada level yang lebih terbatas. Padahal nilai pasar yang berlaku saat itu sudah menyentuh angka Rp12.600.

Lalu pada rapat tanggal 25 Maret 2015, BI memberikan rentang nilai tukar Rupiah sebesar Rp12.380-12.899. Saat itu BI berargumen meski melemah terhadap Dollar AS, tapi Rupiah menguat terhadap mata uang negara lain seperti Real Brazil, Euro, Lira Turki, Ringgit Malaysia dll. Nilai pasar yang berlaku saat itu mencapai Rp13.000, lebih tinggi dari rentang nilai tukar yang diberikan BI.

Pada 8 Juni 2015 rentang nilai tukar Rupiah sejumlah Rp13.000-13.200. Namun nilai pasar yang berlaku saat itu mencapai Rp 13.400, BI berargumen pertumbuhan ekonomi melambat, harga komoditas dunia pun masih lemah. Di tanggal 15 September 2015 lalu, BI mengemukakan rentang nilai Rp13.400-13.900 namun nilai pasar yang berlaku saat itu mencapai Rp14.600, hal ini diakibatkan adanya sentimen eksternal.

"Kita akan usulkan ke pimpinan untuk meminta BPK melakukan audit kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan khusus," katanya.

Menurut dia,  BI tak perlu khawatir nama baiknya tercemar setelah audit, sebab merunut pasal 19 ayat 2 UU No 15 tahun 2004 dinyatakan audit yang menyangkut rahasia negara boleh dirahasiakan. Namun dalam Pasal 14 ayat 1 terdapat tindakan lanjutan berupa pelaporan pidana kepada pihak berwenang ketika ditemukan hal-hal yang janggal.

Anggota Komisi VI dari PDIP lainnya  Juliari Batubara, juga menyayangkan kebijakan BI yang tak langsung menurunkan tingkat suku bunga maupun menurunkan corporate tax dari sisi fiskal. "Pengusaha itu sebenarnya tahan banting tapi kurang diperhatikan pemerintah," katanya.

Jika coorporate tax diturunkan maka pengusaha pun akan bergairah, sehingga menggenjot pertumbuhan ekonomi negara. "Kebijakan pajak beberapa negara saja mau menurunkan coorporate tax. Kabarnya Amerika saja mau nurunkan hingga 15 persen," ujar Juliari.

FRAKSI LAIN BEDA PENDAPAT - Namun Anggota Komisi XI dari Fraksi Nasdem Jhonny G Plate menilai tak perlu ada audit kinerja BI oleh BPK. Pasalnya setiap tahun BI sudah menjalani audit tahunan, audit tambahan ini hanya akan mempengaruhi pasar valuta dan menggoyang nilai tukar yang menggerus devisa negara.

"Situasi perekonomian masih harus dibantu, jika audit bernuansa politik ini dilanjutkan maka pelemahan rupiah akan berlanjut," ujarnya kepada gresnews.com di Gedung DPR RI,  Senayan, Kamis, (1/10).

Audit biasanya memiliki periode per tahun di bulan Januari-Maret, menurutnya bisa saja audit untuk mengetahui kinerja BI. DPR bisa meminta hasil audit tahun ini kepada BPK. "Jika ada pertanyaan yang belum dijawab BI, Komisi XI bisa kok mengadakan fokus diskusi secara tertutup agar informasi rahasia negara tak bocor ke luar, tak perlu audit," katanya.

Ia meyakini unsur eksternal pelemahan nilai tukar Rupiah jauh lebih berperan besar. Penguatan Dollar hampir terjadi ke semua mata uang dunia. Walaupun BI menjaga lalu lintas devisa namun tak punya kewenangan memaksa hasil ekspor yang bertahan di luar negeri untuk ditarik ke Indonesia.

"Malaysia dan Thailand sudah berhasil menarik ini, kita yang belum dan BI harus didorong untuk ini. Mereka juga menjaga iklim dalam negeri agar investor mau datang," ujarnya.

Ia mengatakan BI harus membentengi agar tak ada "Hit Man" yang memiliki kepentingan atas diauditnya BI. "Baik di OJK, BI, BPK, maupun DPR jangan ada Hit Man, begitu informasi rahasia terbuka, bisa melayang semua!" ujarnya.

Menanggapi hal ini, pengamat Ekonomi Enny Sri Hartati menyatakan memang secara Undang-Undang, BI lah yang mendapat amanah menjaga nilai tukar. Namun terdapat banyak variabel yang dapat menjadi sebab instabilisasi nilai tukar. "Faktor penyebab permintaan dan penawaran Dollar, memang instrumen pengaturnya kebijakan moneter, tapi kebutuhan moneter saja tak cukup karena yang mengoperasionalkannya di sektor riil," katanya kepada gresnews.com, Selasa (30/9)

Misal pada sektor ekspor dimana kelemahannya terdapat pada sektor riil yakni kebijakan fiskal yang berpusat pada pemerintah. "Jadi tak bisa full disalahkan BI, tapi saya setuju jika dikatakan BI tak optimal menjalankan fungsinya, misal salah membuat instrumen kebijakan," katanya.

Suku bunga yang tinggi memang diakui sebagai faktor utama matinya  sektor riil sehingga eksportir mandek. Namun, biaya ekonomi, logistik, suku bunga, dan pungutan memang tinggi.

"Termasuk faktor kredibilitas pemerintah dalam menjaga keyakinan pasar juga. Harus proposional kita menyatakan dimana letak kekurangan," katanya.

AUDIT TAK BISA BONGKAR PERMAINAN - Enny menambahkan,  tujuan DPR dalam mengajukan audit kinerja kemungkinan lantaran mereka memiliki hipotesis dimana BI sebagai pengatur pasar juga turut bermain. Padahal seharusnya sebagai regulator, BI tak memihak kepentingan tertentu demi sebuah keuntungan.

"Praduga ini yang mau dibuktikan. Pertanyaannya apakah audit internal akan membongkar semuanya? Saya sangsi!" katanya.

Pasalnya, audit kinerja akan berkutat tentang operasional, sekalipun BPK mempunyai kewenangan dan mampu mengaudit. Namun, ia meragukan adanya indikator atau tolak ukur yang kuat atas hasil audit. Bahkan ia mengkhawatirkan audit malah semakin memicu kebisingan.

Namun, jika audit dapat menyimpulkan indikator validnya, DPR pun bisa memberikan catatan kepada dewan gubernur dan koleganya. "Yang memilih dewan gubernur kan DPR, mereka juga yang awasi. Namun yang berhak menurunkan dewan gubernur hanya kolegial dewan gubernur," katanya.

Sayangnya menanggapi berbagai macam tuduhan yang dialamatkan, pihak BI hingga sore ini belum bersedia memberikan klarifikasi kepada gresnews.com.

BACA JUGA: