JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelangkaan daging sapi meminta tumbal. Presiden Joko Widodo mengganti Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dengan Thomas Trikasih Lembong. Pemilik bisnis bioskop Blitz Megaplex dan lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu menghadapi ujian pertamanya mengelola kompleksitas pasokan daging.

Kental benar aroma mafia daging yang bermain di balik kelangkaan daging sapi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menerima laporan ada pedagang daging sapi yang menolak operasi pasar. Ia menduga aksi itu bagian dari persekongkolan mafia daging sapi. "Ada laporan pedagang juga nolak. Jadi ini kasus terulang lagi nih mafia daging sapi," ujar Ahok, Rabu (12/8).

Mantan Bupati Belitung Timur itu akan mengusir pedagang-pedagang yang menolak dilakukannya operasi pasar karena fungsi pasar itu untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang merakyat. "Makanya saya lagi teliti, kalau betul ada mafia kayak gitu, saya usir saja dari toko," tutup dia.

Kelangkaan daging sapi yang berimbas pada harga ini semakin memperjelas adanya ketimpangan dalam skema perdagangan besar Australia-Indonesia. Pakar ekonomi politik Hendrajit menyatakan kenaikan harga daging sapi ini lebih dilihat posisi asimetris dari pengusaha sapi luar, dimana Indonesia lebih mengambil impor daging sapi Australia.

"Mereka tebar isu harganya meroket, agendanya kelangkaan daging sapi," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

Menurutnya, mafia lokal daging hanya bertugas untuk melobi agar kuota impor tak dikurangi dan menjadi broker yang berkedok importir. "Skema ini harus dikroscek, jangan terfokus pada agen lokal saja, sebab di balik agen lokal ada skema besar yang dimainkan," katanya.

Ia kemudian menceritakan pengalaman pribadi pada 2011 lalu pernah ada perusahaan konsultan asing yang meminta koneksi (link) untuk menembus birokrasi Indonesia untuk melobi kuota daging sapi. "Australia punya concern, sapi jadi aset penting sehingga mereka tanya bagaimana tembus kuota," ujarnya. Namun, sayangnya, ia menilai pemerintah malah seperti terseret dalam skema besar.

TAMBAH KUOTA - Harga daging sapi yang semakin tak terkendali membuat pemerintah Indonesia menambah kuota impor sapi Australia dalam kuartal ketiga 2015 ini. Kuota sebelumnya yang hanya 50 ribu ekor, kini ditambah 50 ribu ekor lagi menjadi 100 ribu ekor.

Menurut pemantauan harga daging di pasaran beberapa hari terakhir, tingkat kenaikannya mencapai 40 persen. Hal ini mendorong industri pemotongan hewan melakukan aksi mogok karena dipicu oleh menurun drastisnya konsumen akibat harga yang melonjak.

Sebelumnya Rachmat Gobel dikabarkan telah memberikan lampu hijau bagi tambahan 50 ribu ekor sapi Australia. Namun, izin impor tersebut tidak diberikan kepada kalangan importir yang selama ini menguasai bisnis impor sapi Australia. Pemerintah justru memberikan izin tambahan 50 ribu ekor itu kepada Bulog, guna mengimpor sapi jenis siap potong, bukan sapi untuk penggemukan (feedlot) yang perlu beberapa bulan sebelum tiba di pasaran daging.

Hal ini disambut baik pihak Kementerian Pertanian Australia. Juru bicara Menteri Pertanian Australia, Barnaby Joyce, mengaku belum menerima penjelasan detail mengenai informasi ini, namun menyatakan menyambut baik.

Sementara ketua Dewan Eksportir Ternak Australia Alison Penfold menyatakan sebenarnya agak sulit memenuhi permintaan sapi yang dilakukan secara mendadak seperti itu. "Tentu saja permintaan dadakan ini menyulitkan namun jika tersedia izin tambahan, kami akan bekerja keras untuk memenuhinya," kata Alison Penfold kepada ABC.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia hanya menerbitkan izin kuota impor sapi Australia sebesar 50 ribu ekor untuk kuartal ketiga Juli-September 2015. Jumlah tersebut menurun drastis dari kuota impor kuartal kedua 2015 sebesar 250 ribu ekor, dan kuartal pertama sebesar 75 ribu ekor.

TREN IMPOR DAGING - Berdasar sumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012, jumlah impor daging sapi Indonesia menurun menjadi 40.338 ton, dari 102.850 ton di 2011 dengan nilai impor daging yang dilakukan Indonesia tahun 2012 sebesar US$ 156,05 juta. Jumlah ini menurun cukup drastis dibandingkan 2011 yang nilainya US$ 321,42 juta.

Selama 2012, Indonesia masih mengimpor sapi hidup dari Australia senilai US$ 285,9 juta (101,4 ribu ton). Jumlah ini menurun dari 2011 yang senilai US$ 328 juta (122,4 ribu ton). Jumlah impor daging sapi dari Amerika juga menurun karena pemerintah Indonesia menurunkan impor daging sapi dari Amerika pada April 2012 setelah merebaknya kasus sapi gila di California, Amerika Serikat.

Namun, Pemerintah Amerika Serikat dengan dukungan Australia tiba-tiba mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas pembatasan impor produk hortikultura yang dilakukan Indonesia. Langkah notifikasi AS juga memuat keberatan atas pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan khususnya sapi.

Ketergantungan impor daging Indonesia kepada Australia pernah membawa dampak buruk. Tahun 2012, Australia memblokade ekspor sapi ke Indonesia lantaran sebuah video menayangkan kekejaman rumah jagal di Indonesia. Banyak orang menilai Australia sedang melancarkan perang dagang lantaran kecewa kebijakan swasembada sapi Indonesia.

Namun, blokade ini malah merugikan peternak sapi Australia, dalam hitungan bulan, setidaknya 274.000 sapi di seputaran Darwin terlantar dan saat yang sama, nilai ekspor terpangkas separuh dari awalnya US$ 300 juta per tahun. Indonesia membalas blokade Canberra dengan memangkas kuota impor hingga mereka mencabut sendiri blokadenya.

Alternatif sapi impor dari negara lain memang sudah dipikirkan, namun, uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan dikabulkan. Gugatannya jadi membatasi aturan yang membolehkan impor sapi berdasarkan zona. Akibatnya, Indonesia tak punya celah mengimpor sapi dari negara selain Australia.

Sebab, impor harus berdasarkan negara sedangkan India dan Brazil belum mendapatkan status bebas penyakit kuku dan mulut meskipun beberapa zona di kedua negara itu sudah bebas dari penyakit tersebut.

YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN - Rachmi Hertanti, Manajer Riset dan Pusat Pengetahuan Indonesia for Global Justice (IGJ), menilai persoalan lonjakan harga daging harus mampu mendorong akselerasi Perpres Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Perpres ini merupakan amanat Undang-undang Perdagangan Nomor 7 tahun 2014, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (3) tentang Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting.

Solusi stabilisasi harga menurutnya harus sudah mulai menyentuh pada persoalan dasar dari pada berkutat pada solusi jangka pendek seperti operasi pasar dan membuka pintu impor. Menurutnya dalam jangka waktu dua bulan setelah diberlakukan, perpres ini seharusnya sudah bisa memperlihatkan strategi jitu pemerintah dalam melaksanakannya.

"Ada tiga hal yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan amanat Perpres 71/2015, yakni memastikan pengelolaan stok dan logistik, menentukan kebijakan harga, serta pengelolaan ekspor dan impor," katanya kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

Persoalan utama ketidakstabilan harga bahan pokok dinilai lantaran Pemerintah selama ini selalu menyerahkan harga pada mekanisme pasar. Kedepannya untuk menunjukan komitmen, pemerintah harus memastikan urusan stabilisasi harga bahan pokok tetap berada di bawah kontrolnya.

Untuk itu, paling tidak ada dua hal yang harus tetap dikontrol, yakni, pengelolaan data dan kontrol pasokan, baik dari produksi dalam negeri maupun impor, dan penentuan harga perdagangan resmi. "Perlu ada transparansi data produksi dalam negeri maupun transparansi data pasokan yang dimiliki oleh importir serta cadangan yang dimiliki oleh Pemerintah," ujarnya.

Ia menyatakan, selama ini pemerintah tidak memiliki acuan data resmi ketersediaan pasokan sehingga sering menjadi celah permainan bagi mafia impor untuk mengklaim ketiadaan pasokan dan meluasnya praktik kartel. Acuan ini nantinya harus memuat harga perdagangan resmi pemerintah dengan aturan main yang ketat juga menjadi dasar kontrol impor oleh pemerintah.

"Dengan acuan harga ini, pedagang harus dilarang untuk menetapkan harga seenaknya. Perlu dibuat presentase yang jelas untuk penentuan harga diatas acuan harga perdagangan resmi pemerintah," katanya.

Ia yakin kontrol harga semacam ini bisa lebih efektif dari pada operasi pasar. Untuk diketahui, kini Polri pun tengah menyelidiki dugaan pemain di belakang naiknya harga daging. Disinyalir terdapat tujuh perusahaan yang menjadi penyebab melonjaknya harga dan mogoknya para pedagang daging.

"Apa yang sedang dilakukan oleh polri merupakan bagian dari komitmen untuk menumpas mafia impor ataupun permainan kartel," katanya.

Ia menyatakan, kemungkinan para mafia daging ini dapat ditelusuri dari kasus daging sebelumnya yyang pernah menyeret presiden PKS, Ahmad Fathanah. "Sempat KPPU menyebut 5 perusahaan. Mungkin bisa telusuri juga dari sana," ujarnya.

MENANTI PEMBUKTIAN PEMERINTAH - Anggota Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi menyatakan pernyataan pemerintah yang mengklarifikasi pasokan daging sapi aman untuk empat bulan ke depan adalah salah total. Ia menantang, jika memang benar terdapat pasokan sebanyak 160 ribu ekor sapi di peternakan maka pemerintah harus membuktikan.

"Yang dimaksud 160 ribu itu di mana? Jika di feedloter berapapun usianya maka harus segera dilepas untuk memenuhi kebutuhan konsumen," ujarnya.

Ia menganggap pemerintah kurang responsif terhadap janjinya memenuhi swasembada daging sapi pada 2017. Sebab kemungkinan seperti pertumbuhan sapi tahunan juga tak dipertimbangkan. Pemerintah tahu, konsumsi terbesar berada di Jabodetabek sebanyak 60 persen. Tetapi sentra produksi peternakan yang dekat dengan konsumen wilayah tersebut tak dikembangkan, bahkan harus mengambil dari Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB.

Diketahui pula untuk memenuhi konsumsi daging sapi yang rendah yakni 2,1 kg/kapita/tahun di Indonesia, pemerintah sudah keteteran, apalagi memenuhi target 20 kg/kapita/tahun. Dibandingkan konsumsi daging sapi Malaysia 48 kg/kapita/tahun atau Eropa 40 kg/kapita/tahun.

Padahal, pada 1970 -an Indonesia pernah ekspor daging sapi Bali. Namun nampaknya kini pemerintah mengabaikan syarat impor berdasar UU 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dimana disebutkan dapat melakukan impor apabila kebutuhan nasional tak mencukupi, kedua tak merugikan peternak lokal dan kketiga pemerintah harus mampu mengendalikan harga.

"Pemerintah harus mengembangkan iklim investasi dengan cara mempermudah investor mengembangkan industri persapian Indonesia, menekan suku bunga kredit rendah dan Kredit Usaha Sapi dihapus agunannya," katanya.

Terhadap indikasi oknum mafia ia menantang untuk segera menangkap dan memproses secara hukum. "Jalurnya jelas karena sapi barang hidup, pemerintah dan polisi kan tahu di mana tempat, jumlah, pemilik. Jangan selalu pemerintah mudah mengkambinghitamkan ketika krisis tapi tak ada buktinya sedari dulu," ujarnya.

ULAH IMPORTIR YANG TERPUKUL - Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mensinyalir, pembatasan impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk melindungi produksi dalam negeri membuat mafia sapi dan eksportir luar menjadi was-was. Mereka terpukul karena akan kehilangan potensi omset triliunan rupiah akibat pembatasan tersebut, sehingga mafia mulai melakukan rekayasa sehingga harga daging sapi menjadi melonjak.

"Hal ini memang harus diwaspadai oleh pemerintah khususnya Kemendag yang mempunyai wewenang dalam menstabilkan harga," katanya.

Ia sepakat, bahwasanya para aktor di balik pemogokan pedagang sapi harus dipidana, karena mengganggu perekonomian nasional. Jika dianalogikan, harga satu ekor sapi Australia ditambah pengapalan dan lain-lain Rp10 juta, maka eksportir itu kehilangan potensi omset sebesar Rp270 ribu ekor dikurangi 50 ribu ekor dikali Rp10 juta, maka omset importir akan hilang sekitar Rp2,2 triliun setiap kuartalnya.

Maka, setiap tahunnya, mafia akan kehilangan omset Rp8,8 triliun. Tentu angka ini dapat dikatakan fantastis, sehingga mafia daging berupaya melakukan rekayasa agar pemerintah tetap impor. "Mafia-mafia itu sedang berusaha memainkan harga hingga mencapai angka tertinggi seperti sekarang," ujarnya.

Dituangkan dalam Perpres tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Penting (Bapokting), Kemendag punya wewenang penuh untuk melakukan intervensi harga. Untuk diketahui, saat ini sedang dilakukan pembatasan impor sapi oleh Kemendag. Pada kwartal III-2015 izin impor sapi yang sekarang ada di Kemendag hanya berjumlah 50 ribu ekor. Angka itu menurun drastis dari kwartal sebelumnya yang mencapai 270 ribu ekor.

Heri mengatakan rekayasa mafia itu terstruktur, modus yang mereka mainkan macam-macam mulai memainkan harga beli sapi di peternak serendah mungkin. Mulai hanya berkisar Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu setiap kilogramnya, memotong sapi betina bunting untuk dijual di pasar, dan lain-lain.

"Peternak sapi tidak punya pilihan sama sekali selain menjual sapi mereka dengan harga yang murah, apalagi saat musim kemarau seperti sekarang di mana pakan ternak sulit didapat," katanya.

Politisi Partai Gerindra ini mengapresiasi Kemendag yang sudah proaktif berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan institusi terkait seperti Bulog untuk menjaga stabilitas pasokan dan pengamanan distribusi. Harus dipastikan juga sebisa mungkin peternak tidak menjual daging sapi dalam bentuk gelondongan kepada tengkulak. Tapi, dalam bentuk karkas (daging segar) secara langsung ke pasar.

Sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan, mahalnya harga daging di pasaran  karena adanya permainan segelintir orang yang sengaja menahan masuknya daging ke pasar. Ini membuat pasokan di pasar langka dan harga menjadi mahal. "Kalau mereka sengaja menahan itu, jelas pidana, kami akan cari tahu," katanya.

Menurut Gobel, stok daging sapi saat ini masih cukup untuk dua-tiga bulan ke depan. Namun, karena ada indikasi penahanan stok sapi masuk ke pasar, terjadi kelangkaan dan membuat harga dagingnya di pasar melonjak. Kemendag akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengusut siapa aktor di balik mogoknya para pedagang. (dtc)

BACA JUGA: