JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah menerapkan tata ruang wilayah laut tak kunjung bisa terealisasi. Meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) intensif mendorong pengaturan kawasan pesisir melalui aturan zonasi 0 sampai 4 mil agar terbebas dari segala bentuk aktivitas perikanan. Kebijakan itu masih menjadi tarik ulur di tingkat daerah dan asosiasi perikanan.

Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengatakan, penataan ruang laut merupakan bentuk perlindungan dan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Salah satunya adalah kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev) terhadap implementasi rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) Indonesia Sektor Kelautan di 34 provinsi dengan melibatkan 19 kementerian dan tujuh lembaga terkait. "Upaya ini untuk menjadikan laut sebagai masa depan bangsa," kata Susi beberapa waktu lalu.

Namun, upaya untuk mewujudkan kelestarian laut masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Antara lain karena maraknya aktivitas destruktif seperti pengeboman dan potasium hingga pencemaran sampah di wilayah pesisir. Tingginya skala kerusakan daerah pesisir membuat pemerintah cukup khawatir terhadap capaian pengelolaan berbasis sumber daya perikanan berkelanjutan.

Menurut data KKP, saat ini jumlah kerusakan terumbu karang semakin parah mencapai 70 persen,  hanya 30 persennya yang masih dalam kondisi baik.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir & Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Saad mengatakan, sudah waktunya pemerintah meningkatkan perlindungan terhadap kelestarian ekosistem laut. Upaya itu dilakukan melalui penataan ruang laut dan konservasi pesisir. Untuk itu, Sudirman menyebut, zona 0 sampai 4 mil laut akan disterilkan dari aktivitas perikanan dan akan dijadikan kawasan konservasi perihal pelestarian biota laut dan populasi ikan.

"Zona 0-4 mil perlu dikonservasi dan dikontrol pemerintah karena menjadi pusat keberlangsungan ekosistem laut," ujar Sudirman.

Namun, sepertinya penjabaran program penataan ruang laut tersebut masih menghadapi berbagai kendala. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah yang belum menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Ruang Laut.

Dalam keterangan pers yang diterima Gresnews.com, pada level nasional, penerbitan Perda hingga kini baru dilakukan oleh lima provinsi sementara 23 lainnya masih dalam proses. Sementara di tingkat kabupaten/kota, penyusunan aturan tata ruang laut baru berhasil mencapai 15 kota sedangkan 104 lainnya belum rampung.

KENDALA TATA RUANG LAUT - Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP, Subandono Diposaptono, mengungkapkan ada sejumlah kendala yang membuat realisasi aturan tata ruang laut daerah menjadi berlarut-larut. Subando mengatakan saat ini pemerintah daerah masih disulitkan dengan minimnya gambaran dan deskripsi data oseanografi.

"Daerah masih terkendala soal data kedalaman laut maupun sumber daya hayati maupun non-hayati," kata Subandono, kepada gresnews.com, Jumat (7/8).

Dalam penyusunan aturan tata ruang laut, kata Subandono, pemerintah daerah mesti memiliki konsep pengelolaan berbasis data. Menurutnya, sistem informasi dan kajian yang memadai perlu dipersiapkan sebelum masing-masing daerah meluncurkan aturan.

Di samping itu, ternyata KKP menemukan, tidak semua pemerintah daerah memiliki rencana tata ruang wilayah laut. Indikasi itu diukur dari minimnya integrasi data spasial penggunaan ruang laut untuk berbagai kepentingan.

Terkait soal anggaran, Subandono menyebutkan perlu sinergi dan dukungan antara pusat dan daerah. Namun, Ia mengisyaratkan, realisasi tata ruang laut diperkirakan akan lebih banyak porsi yang digelontorkan daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara otoritas pusat akan memfasilitasi norma, standar, pedoman, pembinaan, bimbingan teknis dan asistensi. "Karena ini kewajiban daerah, tentu otoritasnya harus bersedia menggunakan APBD," ujarnya.
 
PENGUSAHA MENOLAK ZONASI - Kebijakan tata ruang laut yang dibarengi penentuan batas zonasi 0 sampai 4 mil ternyata juga menuai penolakan dari kalangan pengusaha. Ketua Asosiasi Perikanan Pole Line and Hand Line Indonesia Janti Djuari mengatakan, pemberlakuan zonasi 0 sampai 4 mil yang dicanangkan KKP berpotensi mendatangkan kerugian bagi sebagian pengusaha perikanan.

Pemberlakuan zonasi, kata Janti, diprediksi bakal menurunkan stok umpan jenis tambang khusus untuk pancing ulur. Selama ini, Janti mengatakan, pihaknya sangat bergantung pada operasi bagan (kapal pengumpul umpan) di wilayah sekitar pinggir pantai, karena area tersebut merupakan tempat berkumpulnya umpan. "Zonasi 0 sampai 4 mil akan merugikan kami dan mengancam operasi bagan," kata Janti kepada gresnews.com.

Selain mengancam ruang operasi bagan, lanjut Janti, pemberlakuan tata ruang laut (zonasi) juga bakal menurunkan stok umpan dan kegiatan produksi nelayan pole line dan hand line. Hal  itu berpotensi mengancam mata pencaharian nelayan. Atas dasar itu, pemerintah diharapkan dapat mengkaji secara bijak aturan pemberlakuan batas tata ruang laut. "Produksi umpan terhenti, banyak nelayan yang tidak bisa melaut," kata Janti.

Menurut Janti, sudah banyak nelayan di beberapa daerah yang bekerja di sektor perikanan pole line and hand line. Jumlah paling banyak terdapat di daerah Indonesia Timur seperti Papua, Flores dan  Nusa Tenggara Timur.

"Satu unit kapal mempekerjakan sekitar 30 orang,  yang dikategorikan sebagai pelaku pole line dan hand line di setiap daerah kurang lebih 300 nelayan," jelasnya.

BACA JUGA: