JAKARTA, GRESNEWS.COM - Praktik eksploitasi dan kegiatan destruktif (merusak) potensi sumberdaya laut berdampak  buruk bagi kehidupan masyarakat wilayah pesisir. Alhasil, produktivitas sumber daya kelautan menurun dan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan tinggi.

Kerusakan laut khususnya di pesisir disebabkan maraknya aktivitas destruktif seperti pengeboman dan potasium hingga pencemaran sampah. Gangguan dan kerusakan pesisir ini menimbulkan kekhawatiran terhadap capaian pengelolaan berbasis sumberdaya perikanan berkelanjutan.

Padahal data Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) tahun 2015, menyebutkan sebanyak 92 persen total pelaku perikanan di Indonesia tergolong skala kecil. Serta  25 persen total angka kemiskinan berasal dari kampung nelayan dan pesisir.

Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Riyanto Basuki mengatakan, potensi perikanan maupun non perikanan masyarakat pesisir sebenarnya memiliki comparative advance (keunggulan). Masalahnya, kata dia, sumber daya perikanan banyak mengalami degradasi akibat overlaping penggunaan pesisir dan praktik overfishing.

"Adanya kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan resource kita menurun. Sehingga masyarakat pesisir pada saat ini masih tetap miskin," kata Riyanto dihubungi gresnews.com, Jumat (29/1).

Riyanto menyebut, masih cukup banyak kendala maupun tantangan yang perlu diselesaikan dalam konteks pengelolaan dan perlindungan sumber daya kelautan.

Diantaranya masalah kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir erat kaitannya dengan overlaping penggunaan wilayah laut dan belum adanya sistem yang jelas soal  pengaturan pengelolaan. Kondisi ini berdampak serius bagi eksistensi masyarakat pesisir yang mayoritas terdiri dari nelayan-nelayan tradisional.

PENGGUNAAN RUANG LAUT MASIH SERAMPANGAN - Kebebasan melakukan pembangunan tanpa memperhatikan prinsip lingkungan dinilai sebagai wujud penggunaan laut secara serampangan.

Riyanto menilai, khusus untuk konteks pembangunan di wilayah perairan maupun pesisir, semestinya penataan pemanfaatan laut digunakan dengan cara yang benar dan tepat.

Misalnya bagaimana posisi penempatan akses pipa dan kabel bawah laut harus diletakkan. Termasuk dimana wilayah khusus reklamasi dan tempat yang tepat untuk wisata.

Prosedur soal pembangunan itu, menurut Riyanto, kenyataannya di lapangan masih sering terabaikan. Sehingga pada akhirnya mengganggu pertumbuhan dan produktifitas di sektor maritim.

Direktur Pengelolaan Tata Ruang Laut Subandono Diposaptono menyebut, visi KKP adalah membangun kelautan sesuai prinsip keberlanjutan dan berperikemanusiaan.

"Dalam aturan UU disampaikan, masyarakat pesisir atau nelayan tradisional harus dilindungi karena secara turun-temurun mengelola perikanan," kata Subandono ditemui di KKP, Jumat (29/1).

Sedang, tujuan KKP, kata dia, menjamin perlindungan sumber daya perikanan bagi keberlangsungan profesi masyarakat pesisir atau nelayan tradisional.

Untuk itu, ia menegaskan pentingnya pelarangan segala bentuk penangkapan oleh perusahaan perikanan skala besar yang merusak lingkungan dengan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan.

Keadaan ini dinilai merugikan nelayan tradisional karena membuat populasi ikan menurun dan mendegradasi sumber daya ekosistem laut.


PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT - Dalam Undang-undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, perlindungan laut itu meliputi konservasi Laut, pengendalian Pencemaran Laut,
penanggulangan bencana kelautan,  serta pencegahan dan penanggulangannya.

Pencemaran Laut itu meliputi, pencemaran yang berasal dari daratan, pencemaran yang berasal dari kegiatan di Laut, dan pencemaran yang berasal dari kegiatan dari udara.

Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud bisa terjadi di wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi, dari luar wilayah perairan atau dari luar wilayah yurisdiksi; atau
 dari dalam wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi ke luar wilayah yurisdiksi Indonesia.

Sementara proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

Sedang bentuk bencana Kelautan seperti dimaksud dalam UU tersebut dapat berupa bencana yang disebabkan: a. fenomena alam; b. pencemaran lingkungan; dan/atau c. pemanasan global.

Bencana Kelautan yang disebabkan oleh fenomena alam sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. gempa bumi; b. tsunami; c. rob; d. angin topan; dan e. serangan hewan secara musiman.

Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. fenomena pasang merah (red tide);
  b. pencemaran minyak; c. pencemaran logam berat;
d. dispersi thermal; dan  e. radiasi nuklir.
Sementara bencana Kelautan yang disebabkan oleh pemanasan global bisa berupa kenaikan suhu, kenaikan muka air Laut, dan/atau el nino dan la nina.

Sementara dalam mengantisipasi Pencemaran Laut dan bencana Kelautan, pemerintah menetapkan kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran Laut dan bencana Kelautan, yang dilakukan dengan
a. pengembangan sistem mitigasi bencana;
b. pengembangan sistem peringatan dini (early warning system);
c. pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di Laut;
d. pengembangan sistem pengendalian pencemaran Laut dan kerusakan ekosistem Laut; dan
e. pengendalian dampak sisa-sisa bangunan di Laut dan aktivitas di Laut.

Dalam hal ini pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan Laut yang terintegrasi dengan sistem pencegahan dan penanggulangan  bencana nasional.

BACA JUGA: