JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesia memiliki sumber daya bahari yang potensial untuk dikelola dan dikembangkan. Untuk menggarap potensi itu, pemerintah melakukan sejumlah terobosan dan pembenahan. Salah-satunya dengan menerbitkan aturan penyederhanaan perizinan. Melalui Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan kapal Wisata (yacht) Asing Ke Indonesia.

Perpres yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo itu menyasar perbaikan birokrasi pengurusan dokumen yacht atau kapal berbendera asing yang hendak berkunjung ke wilayah perairan Indonesia untuk tujuan wisata.

Yacht sebagaimana dimaksud Perpres tersebut meliputi awak kapal dan/atau penumpang termasuk barang bawaan dan/atau kendaraan yang akan memasuki wilayah perairan Indonesia dalam rangka kunjungan wisata. Berdasarkan bunyi Perpres tersebut pada Pasal 2 ayat (1), kemudahan izin yang difasilitasi pemerintah diantaranya mencakup urusan kepabeanan, keimigrasian, karantina, dan kepelabuhanan.

Asisten Deputi Pengembangan Pasar Asia Tenggara Kementerian Pariwisata Rizki Handayani mengatakan, selama ini aturan birokrasi menjadi kendala dalam pengelolaan wisata bahari dalam negeri. Namun, dengan aturan kemudahan izin saat ini, ia optimistis potensi bahari nasional akan berkembang dari sisi jumlah kunjungan kapal wisatawan asing.

"Tahun 2014 lalu baru 300 kapal, target ke depan hingga 2019 sekitar 1.000 kapal," sebut Rizki kepada gresnews.com, Jumat (23/10).

Dengan penghapusan dan pemangkasan birokrasi, ke depan akan semakin mempermudah kunjungan kapal asing dimana dapat mendukung penyelenggaraan event pariwisata seperti Sail Komodo, Sail Tomini dan lainnya.

Ada beberapa kendala yang dirasa menghambat masuknya yacht ke Indonesia. Rizki menjelaskan, sebelumnya urusan kunjungan yacht ini terlampau rumit dengan melewati tiga instansi, yaitu Kementerian Luar Negeri, pihak Angkatan Laut dan Kementerian Perhubungan.

"Biasanya perlu waktu sekitar tiga minggu hingga satu bulan. Selain itu, pihak penyelenggara atau ship agent yacht harus memberikan jaminan yang cukup besar," tuturnya.

Kemudian, kapal wisatawan asing pun sebelumnya belum memiliki manajemen perjalanan yang terintegrasi. Namun saat ini, ketika kapal-kapal tersebut berkunjung ke pelabuhan (Marina), sudah ditentukan rute atau destinasinya dan durasi singgah di pelabuhan.

Melihat kendala yang ada, Kiki menuturkan, pemerintah terus berupaya melakukan pembenahan agar potensi bahari tergarap secara baik. Jika semua aturan yang diterapkan berjalan lancar, Ia memprediksi kunjungan kapal yacht ini akan mendatangkan pendapatan.

"Diprediksi, masing-masing pelabuhan itu bisa menerima 100 US Dollar per hari. Misalnya dengan destinasi yang ada seperti Kepulauan Seribu, Kepulauan Anambas, Bali dan lain-lain," sebutnya.

INFRASTRUKTUR MINIM - Target pemerintah mendatangkan yacht merupakan target yang sulit, apabila tidak diimbangi adanya pembangunan kawasan marina (tempat parkir yacht).

"Ini sudah dibicarakan belum antara instansi pemerintah? perlu dikaji disiapkan infrastrukturnya," kata Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi ditemui gresnews.com, Jumat (23/10).

Menurutnya, sebelum menentukan target, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata harus memetakan kawasan atau titik-titik untuk marina atau dengan cara mempromosikan dan mengundang operator marina untuk mengembangkan infrastruktur dalam negeri.

"Pengembangan marina butuh roadmap sebab tanpa ada kawasan marina dan infrastruktur, banyak kapal yacht parkir di Singapura dan Malaysia. Singapura sangat berkembang industri marinanya dan kalau kapalnya parkir di sana maka mereka yang diuntungkan," tuturnya.

Saat ini, kata Rusdi, marina atau tempat parkir yacht di Jakarta baru ada satu yaitu Batavia Marina yang terletak di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Ia menilai, perlu memperbanyak fasilitas dan pengembangan marina dan sedapat mungkin bisa diakses secara mudah.

"Kawasan marina jangan terlalu eksklusif karena akses ekonomi akan terhambat,"jelasnya.

Ke depan, menurutnya, perlu ada studi kelayakan pembangunan infrastruktur marina. Titik-titik potensial, sebut Rusdi, pembangunan dan pengembangannya bisa ditambah di area Ancol, Pulau Seribu dan tempat yang ada objek wisata bahari. Sementara, daerah yang memiliki pesona wisata bahari seperti di wilayah timur perlu didorong lebih intensif oleh pemerintah.

IZIN BERTELE-TELE - Pakar Geopolitik Pusat Studi Sosial dan Politik (PUSPOL) Suryo AB menilai, Indonesia memiliki kekayaan maritim karena berbentuk kepulauan dengan letak perairan yang cukup strategis. Untuk itu, salah satu sektor yang berpotensi mendatangkan keuntungan yaitu pengembangan kualitas pelayaran maritim melalui pengembangan infrastruktur dan kemudahan bagi kapal pesiar (yacht) dari luar negeri.

Namun, potensi Indonesia menuju negara maritim masih terkendala akibat rumitnya rantai birokrasi perizinan kapal wisata asing. "Misalnya pada penyelenggaraan Sailing Komodo beberapa waktu lalu. Para peserta atau wisatawan harus berurusan dengan beberapa lembaga Kementerian," kata Dosen Universitas Nasional itu kepada gresnews.com.

Salah satu kendala, menurut Suryo, adalah rantai birokrasi perizinan pelayaran maritim. Pengurusan Custom, Immigration, Quarantine, Port Clerance (CIQP) belum maksimal sehingga potensi bahari yang ada sulit berkembang.

Di samping itu, kondisi yang sama berkaitan dengan panjangnya proses administrasi perizinan yang belum terintegrasi secara baik lantaran pengurusannya harus melewati banyak instansi pemerintah seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata, Kementerian Keuangan atau Bea Cukai.

Untuk syarat Keimigrasian, prosedur panjang tersebut tercermin dalam pengurusan visa kunjungan dan izin tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, diwajibkan melalui proses pemeriksaan karantina, kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian, dan karantina serta pemberian surat persetujuan berlayar (SPB) ketika keluar-masuk pelabuhan.

Serangkaian prosedur yang dilalui, kata Suryo, masih lemah dari sisi efisiensi waktu dimana semua otoritas belum memiliki kesamaan persepsi mempercepat durasi izin.

Menurutnya, masalah itu sebenarnya dapat diselesaikan melalui pelayanan terpadu imigrasi maupun kepabeanan dengan durasi perizinan yang singkat. Pemerintah dipandang perlu mempertimbangkan efisiensi waktu dan manajemen yang baik.

BACA JUGA: