JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman kini memiliki pemimpin baru pasca reshuffle kabinet beberapa waktu lalu. Saat ini, posisi tersebut dijabat oleh Rizal Ramli yang menggantikan pimpinan sebelumnya, Indroyono Soesilo.

Diangkatnya mantan Komisaris Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk itu diharapkan mampu memperbaiki koordinasi kementerian di bawah Kemenko Maritim seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Pariwisata. Rizal diharapkan mampu menyelesaikan sejumlah persoalan birokrasi, sengkarut perizinan maritim hingga berperan mendorong potensi bahari nasional.

Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Andy Rachmianto mengatakan, Kementerian Kemaritiman yang dipimpin Rizal itu perlu diberikan waktu tiga bulan pertama memahami tugas pokok dan fungsinya.

Kendati demikian, pandangan dan arah kebijakan Menko Maritim baru, kata Andy, tidak perlu lagi diubah atau bergeser dari visi dasar yang dicanangkan presiden, yakni menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

"Saya pikir Menko yang baru tinggal melanjutkan dan melaksanakan visi poros maritim misalnya penertiban illegal fishing, pembenahan pelabuhan dan pengamanan maritim," kata Andy kepada gresnews.com, Jumat (14/8).

Tugas mendasar yang telah ditentukan, kata Andy, merupakan skala prioritas yang perlu dibenahi dan direalisasikan pemimpin baru saat ini.

MEMBANGUN POROS MARITIM - Jalan Rizal Ramli untuk mewujudkan mimpi Indonesia sebagai poros maritim dinilai tak akan mudah. Serangkaian persoalan kemaritiman yang berbelit dan kompleks akan menjadi batu sandungan mencapai cita-cita poros maritim.

Direktur Pelatihan dan Konsultasi Politik Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia (Puspol) Suryo AB mengatakan, masalah mendasar kemaritiman dapat diselesaikan tergantung kebijakan dan visi pimpinan Menko yang baru.

"Beliau sendiri mau fokus atau tidak, karena menurut saya jabatan menteri adalah jabatan sekelas pimpinan yang seharusnya memiliki kreativitas dan manajerial serta keinginan untuk terus belajar," katanya saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (15/8).

Membangun sektor maritim, kata Suryo, utamanya harus dilakukan dengan membangun jaring kordinasi antar sesama kementerian terkait yang secara kedudukan berada di bawah Menko Maritim. Ia menekankan, persoalan yang ada harus diselesaikan secara bertahap hingga tuntas melalui kerjasama yang hanya fokus pada pembenahan kondisi maritim.

Selaras dengan itu, Suryo menilai pembenahan awal perlu diarahkan pada revisi regulasi tentang pelaksanaan aktivitas dan keamanan di laut sesuai amanat Konvensi PBB tentang United Nations Convention on the Law the Sea (UNCLOS) Tahun 1982.

Sesuai ketentuan UNCLOS, lanjut Suryo, dijelaskan secara rinci konsekuensi dan syarat mendasar bagi archipelagic countries yaitu flag state, port state dan coastal state. Misalnya, dari sudut pandang port state atau negara pelabuhan, disyaratkan segala macam otoritas yang berkaitan dengan aktivitas kemaritiman dan kelautan seharusnya hanya dikeluarkan satu badan pemerintahan atau institusi yang berkuasa penuh di pelabuhan.

Sesuai pengamatan dan analisis yang dilakukan, Suryo menilai sistem pengiriman barang menjadi salah satu hal yang perlu segera diatasi. Menurutnya, rantai distribusi pengiriman barang  di level nasional saja masih bermasalah.

Pengiriman produksi di daerah Tangerang, misalnya, ketika hendak mengirimkan barang dari Tanjung Priok, masih harus melalui berapa kekuasaan administrasi seperti Pemda Tangerang, Pemda Jakbar, Pemda Jakpus. "Kira kira ada 20 pintu yang harus dilalui untuk mendapatkan izin birokrasi mengirim barang," kata Suryo.

Apalagi, panjanganya alur distribusi kerap memicu terjadinya praktik korupsi di tiap pintu perizinan. "Sama-sama kita tahu tiap pintu ada biaya adminnya ditambah unsur korupsi ketika ingin dibantu dengan cara mudah pengurusannya," tambahnya.

KOMPLEKSITAS BIROKRASI - Kompleksitas birokrasi seperti ini, kata Suryo, harus bisa dibenahi oleh Rizal selaku menteri koordinator. Dalam praktiknya, rantai panjang birokrasi yang menimbulkan praktik korupsi ini kerap sulit diberantas.

Bahkan, Suryo menyebut, Port Facility Security Officer (PFSO) atau Petugas Keamanan Fasilitas Pelabuhan tidak berdaya membereskan situasi tersebut. Padahal, PFSO sendiri merupakan personel yang ditugaskan sebagai penanggung jawab bidang pengembangan, penerapan, perubahan dan pemeliharaan keamanan fasilitas pelabuhan dan berhubungan dengan petugas keamanan kapal serta petugas keamanan perusahaan.

Di samping masalah itu, ada pula beberapa pokok persoalan lain seperti misalnya single authority mengelola laut atau dalam UNLCOS dikenal dengan konsep flag state. Perwakilan administrasi pemerintahan di laut yang diterapkan oleh pemerintah hingga saat ini belum jelas dan masih tumpang tindih. "Apakah Badan Kemanan Laut (Bakamla) atau TNI AL? itu saja belum jelas pembagian otoritasnya," tegasnya.

Dalam peraturan UNCLOS, Suryo mengatakan sebenarnya telah ditentukan yang menjaga security clearing jelas TNI AL. Masalahnya, sampai saat ini belum ada koordinasi pembagian tugas yang jelas antara TNI AL, Bakamla dan Polair.

Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki keunggulan dan potensi seperti di sektor pelayaran maritim. Keuntungan yang didapat adalah dari pelayaran kapal pesiar wisata yacht asing dari luar negeri. Namun, rumitnya pengurusan Custom, Immigration, Quarantine, Port Clerance (CIQP) mengakibatkan potensi yang ada bakal sulit tergali secara maksimal.

Menurut Suryo, rantai birokrasi perizinan bagi sektor pelayaran maritim cenderung lama dan rumit. Sementara, berbeda dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara lainnya, izin pelayaran kapal wisata asing dapat diselesaikan melalui pelayanan terpadu imigrasi maupun kepabeanan dengan durasi perizinan yang sangat pendek. "Kebijakan nasional sistem CIQP kurang bersahabat dengan kapal yacht asing," tuturnya.

Masalah birokrasi yang rumit di bidang kemaritiman ini, menurut Suryo, diperparah oleh panjangnya rantai pengurusan administrasi yang melibatkan banyak lembaga/kementerian sekaligus seperti Kementerian Perhubungan, Kementrian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata, Kementerian Keuangan atau Bea Cukai.

"Prosesnya cukup rumit karena masih diserahkan ke masing-masing departemen. Harusnya ke satu otoritas saja. Ini tidak sesuai aturan penerapan negara port state menurut UNCLOS," pungkasnya.

Ia mencontohkan, keterpurukan tersebut dirasakan saat pelaksanaan Sailing Komodo beberapa waktu lalu. Saat itu, para peserta atau wisatawan harus berurusan dengan beberapa lembaga/kementerian yang membuat pengurusan izin menjadi panjang dan lama.

"Prosedur ini dianggap aneh diterapkan oleh Indonesia sebagai penyandang archipelagic state," pungkas Suryo.

BACA JUGA: