JAKARTA, GRESNEWS.COM - Berulang kali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) keluar masuk ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Banyak ketentuan yang dibatalkan dan direvisi oleh MK Namun, proses revisi UU Migas ini tak kunjung selesai kendati 2010 selalu masuk prioritas dalam program legislasi nasional.

Salah satunya mengenai keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang MK 13 November 2012 lalu berdasarkan putusan Nomor 36/PUU-X/2012. Putusan MK itu merupakan jawaban atas uji materi yang diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi masyarakat.

Mereka mengajukan uji materi atas UU Nomor 22 Tahun 2001 karena menganggap UU ini membuka pintu liberalisasi di sektor pengelolaan migas. UU ini dinilai sangat dipengaruhi pihak asing. MK menilai BP Migas selalu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang menjadi wakil dari pemerintah untuk melakukan kontrak kerja sama dengan sebuah badan usaha atau lainnya seperti diatur UU Migas bertentangan dengan prinsip penguasaan negara dalam Undang-undang Dasar 1945.

Pemerintah merespons pembubaran BP Migas ini dengan mengeluarkan Perpres Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Perpres ini menjadi dasar berdirinya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang menjadi perantara sebelum BP Migas benar-benar bubar.

DPR dan pemerintah pun kini tengah getol menggodok draft revisi UU Migas. Termasuk membahas format baru pengelola migas pasca pembubaran SKK Migas.  Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja menjelaskan dalam pembahasan mengenai revisi UU Migas di versi pemerintah ada dua opsi. Opsi pertama, meleburkan SKK Migas ke dalam PT Pertamina (Persero). "Tidak persis sama dengan yang lama, tapi lembaga ini bakal ada di dalam Pertamina," ujarnya kepada gresnews.com di Gedung DPR RI, Senin (22/6).

Opsi keduanya adalah mengubah bentuk SKK Migas menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN Khusus). Namun, pilihan pemerintah lebih condong untuk ke BUMN Khusus. Ini artinya Indonesia akan punya dua BUMN bidang migas, Pertamina dan BUMN Khusus ini. "Sudah menguat, terus terang sudah mengarah ke BUMN Khusus," ujar lelaki yang akrab disapa Prof Wirat ini.

ALASAN PILIH BUMN KHUSUS - Wiratmaja mengatakan, opsi kedua ini lebih cenderung dipilih karena tidak ingin membuat kinerja Pertamina terganggu dengan masuknya SKK Migas. Pengalaman sebelumnya ketika lembaga serupa SKK Migas di bawah Pertamina mengakibatkan tidak bisa fokus untuk melakukan fungsinya sebagai entitas bisnis milik negara yang bergerak di bidang migas.

"Karena kalau masuk ke Pertamina, Pertaminanya malah menjadi kurang kuat. Karena menjadi sebagai semacam regulator. Jadi sambil mengatur, tapi juga sambil melakukan usaha," katanya.

Akibatnya kembali ke zaman dulu ketika Pertamina punya peran ganda. Pertamina menjadi tidak fokus. Pada 1971,  untuk memperkuat Pertamina, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. UU ini mengatur bahwa Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara yang ditugaskan melaksanakan pengusahaan migas. Tugasnya mulai dari mengelola dan menghasilkan migas dari di seluruh wilayah Indonesia, mengolahnya menjadi berbagai produk dan menyediakan kebutuhan bahan bakar minyak dan gas di seluruh Indonesia.

Melalui UU ini, Pertamina juga diberi kewenangan ganda, yaitu sebagai pengatur kegiatan hulu migas (regulator) dan sebagai pelaku bisnis migas (operator) di Indonesia. Fungsi regulator dijalankan Pertamina melalui Badan Pengawasan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA), sebuah badan yang ada di dalam Pertamina. Pertamina punya kewenangan sebagai kuasa pertambangan, menentukan kontraktor penggarap blok migas dan melakukan tanda tangan kontrak bagi hasil.

Namun, kewenangan ganda itu hilang seiring dengan terbitnya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Fungsi regulator yang melekat pada Pertamina dihapus. Kedudukan Pertamina juga setara dengan perusahaan minyak lainnya. Oleh Pertamina BPPKA akhirnya dilepas dan berubah menjadi Direktorat Manajemen Production Sharing (MPS), yang akhirnya menjadi BP Migas di tahun 2002. Konsep pemisahan fungsi regulator dan operator di Pertamina ini diajukan oleh pemerintah pada tahun 1999, setelah Indonesia didera krisis moneter di tahun 1997-1998. Konsep RUU Migas tersebut akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001.

WAJIB AJUKAN KAJIAN - Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra Kardaya Warnika menjelaskan revisi UU Migas ini sejatinya bukan hanya mengatur masalah penggantian SKK Migas. "Karena yang sering dibicarakan itu seolah-olah hanya itu saja," katanya kepada gresnews.com, Selasa (23/6).

Komisi VII, kata Kardaya, hingga kini belum menyepakati apapun dengan pemerintah. Padahal seharusnya ada kesepakatan dengan DPR mengenai fungsi dari lembaga pengganti SKK Migas ini seperti apa? kemudian tugas dan hubungannya dengan DPR bagaimana? "Setelah itu selesai baru berbicara bentuk lembaga akan seperti apa, selama ini kan terbalik," ujarnya.  

Kalau pun pemerintah menyokong bentuk baru pengelola migas berupa BUMN khusus, bagaimana hubungannya dengan DPR. Selama ini kepala BP Migas maupun SKK Migas dipilih lewat proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). "Apakah BUMN Khusus ini juga akan lewat proses fit and proper? Padahal selama ini tak ada satu pun pemilihan direksi BUMN yang lewat proses di DPR semuanya dipilih Kementerian BUMN?" kata Kardaya.

Kardaya menyayangkan bila pemerintah lewat Dirjen Migas Kementerian ESDM sudah mengarahkan bentuk lembaga pengganti SKK Migas adalah BUMN Khusus. Padahal dalam proses pembahasan di Komisi VII DPR, sekitar bulan Januari lalu, pemerintah diwajibkan membuat kajian dengan menggunakan konsultan yang capable untuk mempresentasikan masalah tersebut. Sampai kini itu tidak dilakukan.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian menambahkan saat ini Komisi VII baru mengumpulkan masukan dari berbagai pihak. Antara lain para pakar, akademisi, pengamat, dan para pelaku di bidang perminyakan seperti Pertamina, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), SKK Migas dan lainnya. Setelah itu nanti akan dibuat naskah akademik yang baru, karena naskah akademik RUU ini yang dibuat di DPR RI Periode sebelumnya tidak bisa dilanjutkan.

Naskah akademik yang lama akan dijadikan salah satu referensi. Setelah itu RUU akan dirapatkan di Komisi VII untuk dibawa ke Badan Legislasi (Baleg) dan selanjutnya dibentuk panitia khusus (Pansus). Pansus membuat rancangannya untuk dibawa ke rapat paripurna DPR RI. "Jadi masih lama. Mungkin untuk mulai kerja pansusnya itu akhir tahun ini, baru mulai pembahasan di pleno. Untuk masukan saja butuh waktu lama," katanya kepada gresnews.com, Senin (22/6).

Terkait dengan bentuk SKK Migas, Ramson mengatakan bahwa memang ada beberapa alternatif yang dapat pilih. Minimal ada empat alternatif: tetap seperti saat ini, BUMN Khusus, masuk ke Pertamina dengan otoritas seperti dulu, atau masuk Pertamina dengan sistem dan otoritas yang berbeda. "Masukan dari stakeholder itu akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan saat pembahasan dan pembuatan naskah akademik," ujarnya.

BP MIGAS DAN KEPENTINGAN ASING - Anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Nasdem Kurtubi mengatakan bahwa konsep UU Migas Tahun 2001 itu sudah dia tentang sejak awal, yaitu di tahun 1998-1999. Konsep UU tersebut menurutnya sarat dengan kepentingan pihak asing. "Undang-undang itu sendiri merupakan pesanan asing, konsepnya," ujar Kutubi, Selasa (16/6).

Dia menjelaskan, bukti bahwa UU ini merupakan pesanan asing antara lain terkuak dalam bukti-bukti kesaksian di pansus hak angket BBM di DPR RI tahun 2008. Yaitu ada aliran dana dari pihak asing dalam pembuatan UU Migas Tahun 2001. "Dananya dari USAID atas perintah World Bank. Jumlahnya US$ 20 juta," katanya.  Menurutnya, tak mengherankan kiranya jika UU Migas yang dihasilkan merugikan negara dan justru memperkuat kartel asing di Indonesia.

Mengenai pengelolaan migas, Kurtubi tegas harus dikuasai dan dikelola oleh negara, dan dapat diwakilkan kepada BUMN, yaitu Pertamina. Pertamina nantinya diberi kuasa pertambangan dan berkontrak dengan asing, kembali seperti sebelumnya di masa Orde Baru. Menurutnya itu adalah cara agar Indonesia kembali ke jalan yang benar dalam mengelola sektor migasnya.

"Nasdem ingin tata kelola Migas sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sistem yang simpel, sederhana, dan tidak ribet. Nasdem menentang SKK Migas menjadi BUMN Khusus. Tidak boleh," ujarnya.

APAPUN YANG DIPILIH PERKETAT PENGAWASAN - Direktur Ekskutif  ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro tidak setuju jika ada pihak yang mengatakan Pertamina menjadi lebih fokus setelah dulu melepaskan perannya sebagai regulator dengan bukti produksi yang meningkat. "Belum tentu juga. Kan bisa jadi karena seiring bertambahnya waktu teknologinya semakin bagus," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (22/6).

Yang jelas, kewenangan Pertamina sebagai regulator dipreteli sebagai salah satu bentuk syarat yang diajukan oleh IMF saat memberikan pinjaman ke Indonesia. "Yang pasti adalah, ada Letter of Intent (LOI) antara Indonesia dan IMF," katanya.

Bagi Komaidi, dua alternatif yang mengemuka mengenai SKK migas, yaitu menjadi BUMN khusus atau melebur ke Pertamina, sama-sama bisa dipilih. Ada beberapa negara yang bisa dijadikan contoh jika SKK Migas menjadi BUMN Khusus di bidang Energi. Artinya, ada lebih dari satu BUMN yang bergerak di bidang migas selain Pertamina. Hal itu terjadi di Norwegia. Namun banyak juga negara yang hanya punya satu BUMN di bidang energi, seperti Malaysia.

Menurut Komaidi, jika SKK Migas digabungkan ke dalam Pertamina, menurutnya akan lebih efisien. Dan tidak ada yang salah jika Indonesia kembali ke masa lalu, dengan memakai konsep yang dilaksanakan oleh pemerintah orde baru (Orba). "Kan nggak semua yang berbau Orba itu salah," katanya.

Namun, Komaidi juga mengingatkan, jika opsi ini yang dipilih maka konsekuensinya harus ada pengawasan yang lebih baik untuk Pertamina. Sebab lembaga yang punya kewenangan yang besar seperti itu rawan terjadi penyimpangan.  Sebaliknya, tidak ada masalah juga jika pemerintah memilih SKK Migas jadi BUMN Khusus. Yang terpenting menjaring aspirasi dari semua pemangku kepentingan dalam revisi UU Migas ini termasuk dalam mencari bentuk SKK Migas ke depan. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: