JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menegaskan kebijakan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memberikan keringanan/relaksasi kredit tidak serta-merta bisa dinikmati oleh semua nasabah/debitur. Debitur yang berhak mendapatkan hak istimewa untuk melakukan restrukturisasi kreditnya hanya mereka yang menggunakan pinjaman untuk kegiatan produktif, seperti ojek online (ojol), nelayan, dan pekerja harian lepas.

"Jadi ini peraturan bukan untuk semua. Peraturan adalah untuk dipakai buat orang-orang yang tidak berkecukupan dan penghasilannya turun," kata Ketua APPI Suwandi Wiratno kepada Gresnews.com, Sabtu (28/3).

Secara teknis, pelaksanaan relaksasi kredit itu diserahkan kepada perusahaan pembiayaan masing-masing. Namun, dia mengatakan, secara umum juga harus dilihat seperti apa debiturnya, apakah debitur itu mengambil kendaraannya benar-benar dipakai untuk bekerja atau dipakai untuk keperluan pribadi. Kalau untuk keperluan pribadi tentu saja tidak mendapat relaksasi.

"Karena itu berbeda, yang diminta adalah orang yang berusaha. Kalau keperluan pribadi berarti dia sudah memikirkan ada duitnya, ada dananya. Dari mana (dananya) ya saya nggak tahu. Entah dari neneknya, dari kakeknya, atau dari kakaknya. Jadi tidak bisa semua ini dipukul rata menjadi program nasional," kata Suwandi.

Menurut dia, jangan sampai debitur yang sebenarnya mampu membayar, bilangnya tidak mampu. Bila semuanya tidak membayar cicilan ke perusahaan pembiayaan, dapat menyebabkan kredit macet. Lantaran perusahaan pembiayaan juga meminjam dari bank dan bank mendapatkan dananya dari para nasabahnya, imbasnya akan panjang bila semua tak mau membayar cicilan.

Kendati demikian Suwandi menyatakan APPI tidak mengetahui berapa banyak nasabah yang mendapatkan relaksasi. Data nasabah ada di perusahaan pembiayaan masing-masing.

Berkaitan dengan lamanya relaksasi diberikan, menurut dia, belum tentu seluruh nasabah mendapatkannya selama satu tahun. Tergantung kondisi setiap nasabah.

"Debiturnya juga beda-beda, dong. Masak semua datang keroyokan kayak orang demo. Ayo, dong Suwandi, Pak Presiden ngomong nggak bayar cicilan satu tahun. Mikirinlah kalau kita bangkrut, yang bangkrut bukan saya, yang bangkrut negara Indonesia," cetusnya.

Meskipun pihak ojol ada yang mengatakan belum merasakan adanya kebijakan relaksasi kredit tersebut, Suwandi menegaskan program relaksasi sudah dilaksanakan. Banyak nasabah yang datang dan bertemu dengan perusahaan pembiayaan. "Ada juga (perusahaan pembiayaan) yang mungkin bingung karena nasabahnya datang, apalagi datangnya keroyokan," tuturnya.

Lebih lanjut Suwandi mengungkapkan, dengan kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini, kerugian di pihak perusahaan pembiayaan pasti ada. Apalagi bila perusahaan mendapatkan nasabah nakal yang seenaknya saja dan tidak mau mengerti aturan yang ada. Namun, berapa nominal kerugiannya, dia mengaku belum melakukan penghitungan.

Hanya saja Suwandi menyampaikan keinginannya agar para debitur yang mampu, tetap membayar cicilan. Jangan mencoba "bermain" dengan kebijakan pemerintah. Program relaksasi tersebut ada aturan dan kriterianya.

"Jangan memancing di air keruh. Kalau yang masih punya uang, apalagi dia orang yang kaya, orang yang punya pendapatan, janganlah menggunakan praktik-praktik yang mungkin menggunakan cara-cara yang tidak benar. Jadi kalau yang mampu ayo bayar. Mari kita secara gotong royong membantu yang tidak mampu. Inilah saatnya kita bergotong royong," katanya.

Sebagai catatan, Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers yang disampaikan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa, 24 Maret 2020, menyatakan sebagai berikut:

"Kepada para pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan memberikan relaksasi kredit UMKM untuk nilai kredit di bawah Rp10 miliar untuk tujuan usaha, baik itu kredit yang diberikan oleh perbankan maupun oleh industri keuangan nonbank asalkan digunakan untuk usaha, akan diberikan penurunan bunga dan penundaan cicilan sampai 1 tahun. Oleh karena itu, kepada tukang ojek, kepada sopir taksi, yang sedang kredit kendaraan bermotor dan kredit mobil, nelayan yang sedang kredit perahu, tidak perlu khawatir (karena) pembayaran bunga dan angsuran diberikan kelonggaran (selama) 1 tahun. Dan pihak perbankan maupun industri keuangan nonbank dilarang mengejar-ngejar angsuran, apalagi menggunakan jasa penagihan atau debt collector, itu dilarang dan saya minta kepolisian mencatat hal ini."

Berdasarkan Statistik Lembaga Pembiayaan yang diterbitkan oleh OJK per Februari 2020, mengenai piutang pembiayaan berdasarkan objek pembiayaan, total pembiayaan barang konsumsi di Indonesia adalah Rp318,3 triliun. Dari jumlah tersebut, piutang pembiayaan kendaraan bermotor roda dua baru sebesar Rp84,2 triliun dan kendaraan bermotor roda dua bekas sebesar Rp22,1 triliun. Jumlah perusahaan pembiayaan di Indonesia sebanyak 183 perusahaan dengan aset Rp518,2 triliun.

OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor: 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease. Dengan demikian, pemberian stimulus untuk industri perbankan berlaku sejak Jumat, 13 Maret 2020 sampai dengan Rabu, 31 Maret 2021.

Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot menyatakan tujuan diterbitkannya Peraturan OJK tersebut adalah agar sektor riil bisa diberikan ruang gerak yang lebih leluasa agar bisa bertahan. Pemberian stimulus itu ditujukan kepada debitur pada sektor-sektor yang terdampak penyebaran pandemi COVID-19, termasuk dalam hal ini ialah debitur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

"Tentu saja kebijakan ini diterapkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan ketentuan (moral hazard)," kata Sekar kepada Gresnews.com, Senin (23/3).

Sekar menjelaskan kebijakan stimulus dimaksud terdiri dari dua hal. Pertama, penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar. Kedua, restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi itu dapat diterapkan oleh bank tanpa batasan plafon kredit.

Sekar menambahkan mekanisme penerapan ketentuan itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan bank masing-masing dan disesuaikan dengan kapasitas membayar debitur. Perlakuan khusus dalam Peraturan OJK tersebut dapat diterapkan oleh bank kepada debitur tersebut, sepanjang berdasarkan self-assessment bank, debitur terkena dampak COVID-19. Oleh karena itu, bank harus memiliki pedoman yang paling sedikit menjelaskan kriteria debitur yang ditetapkan terkena dampak COVID-19 serta sektor yang terdampak.

Gresnews.com menghubungi Sekar, Sabtu (28/3), untuk menanyakan bagaimana kebijakan relaksasi diterapkan untuk perusahaan leasing, namun hingga berita ini diturunkan, belum mendapatkan respons.

(G-2)

BACA JUGA: