JAKARTA - Langkah pihak kejaksaan yang tidak menahan terdakwa korupsi pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD)—mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) 2011-2014—Nur Pamudji menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi nilai kerugian yang timbul akibat tindakan Nur Pamudji dalam perkara korupsi yang didakwakan ini merugikan keuangan negara sebesar Rp188,74 miliar.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Mukri menjelaskan ada beberapa pertimbangan sehingga tidak dilakukan penahanan terhadap Nur Pamudji. "Kami berlandaskan pada Pasal 21 KUHAP, alasan subjektif dan objektif, dan selama ini kooperatif," kata Mukri kepada Gresnews.com, Kamis (17/10).

Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:

  1. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri;
  2. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
  3. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.

Dalam ilmu hukum pidana, ketiga hal di atas lazim disebut sebagai alasan subjektif. Sedangkan alasan objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut di antaranya tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Selain itu, Mukri melanjutkan alasan lainnya adalah selama penyidikan oleh Kepolisian, Nur Pamudji juga tidak ditahan. Namun, berdasarkan Surat Dakwaan Nomor: PDS-09/M.1.14/Ft.1/07/2019 tertanggal 9 September 2019 yang diteken oleh jaksa Yanuar Utomo, sebagaimana diperoleh Gresnews.com, tercantum keterangan mengenai status penahanan peraih Bung Hatta Anti Corruption Award Tahun 2013 itu, sebagai berikut:

  1. Penahanan oleh penyidik dilakukan di Rutan sejak tanggal 26 Juni 2019 sampai dengan 9 Juli 2019. Ditangguhkan penahanannya sejak tanggal 9 Juli 2019;
  2. Penuntut Umum, tidak dilakukan penahanan.

Pertimbangan lainnya, kata Mukri, aparat penegak hukum telah berhasil mengembalikan kerugian negara sebesar Rp173 miliar dari total nilai kerugian sebesar Rp188,7 miliar. Kepolisian sempat menunjukkan tumpukan uang berjumlah sekitar Rp173 miliar sebagai barang bukti, pada akhir Juni 2019.

Bareskrim Polri menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada 15 Juli 2015, dan setelah menyidik selama empat tahun, kemudian menyerahkan perkara ke Kejaksaan pada 16 Juli 2019. Selanjutnya kejaksaan menyusun dakwaan dan menyerahkan perkara ke Pengadilan Tipikor pada 10 September 2019.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011 mengaudit proses pelelangan BBM 2010 tersebut, kemudian pada September 2011 menerbitkan hasil audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu yang salah satu kesimpulannya adalah: "Proses pengadaan BBM HSD melalui pelelangan pada 2010 sudah sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa di PLN.”

BPK kembali mengaudit pada 2014 dan menemukan kekurangan pembayaran denda oleh PT TPPI dan segera ditindaklanjuti oleh PLN dengan menuntut PT TPPI lewat Pengadilan Arbitrase, yang dimenangkan oleh PLN.

Atas permintaan Bareskrim Polri, BPK melakukan Audit Investigasi pada 2018 dan menemukan lagi kekurangan pembayaran denda dari PT TPPI sebesar Rp69,8 miliar, serta menghitung selisih biaya pembelian BBM antara membeli ke Pertamina dengan membeli ke PT TPPI (karena PT TPPI berhenti memasok PLN sejak Mei 2012 sampai Januari 2015, sehingga PLN membeli dari Pertamina) sebesar Rp118,9 miliar. Jumlah kedua angka ini, Rp69,8 miliar + Rp118,9 miliar = Rp188,7 miliar dianggap kerugian negara. (G-2) 

BACA JUGA: