JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sedikit menengok ke belakang, pada ajang peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dilaksanakan Jumat (5/6) lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu, Jokowi menegaskan, pemerintah sudah saatnya bertindak tegas dalam menangani kasus kejahatan lingkungan.

"Harus tegas jangan ragu," kata Presiden Jokowi di hadapan ratusan undangan yang hadir dalam perayaan itu.

Jokowi ketika itu, menegaskan, pembenahan di sektor pertambangan, tata ruang dan tata kelola pemanfaatan sumber daya alam menjadi sangat penting. "Terutama sektor tambang, hutan dan kelautan kita lihat di lapangan perlu perhatian sangat khusus," tegas Jokowi.

Pasalnya, kata Jokowi, di sektor-sektor itulah, kejahatan lingkungan kerap terjadi seperti illegal fishing, konflik pertanahan, dan kasus-kasus pertambangan.

"Komitmen itu harus diikuti langkah tegas dalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak kejahatan lingkungan hidup. Harus tegas, jangan ragu-ragu," kata Presiden Jokowi.

Kini, komitmen pemerintah itu sudah selayaknya diuji. Pasalnya berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kasus kekerasan mengatasnamakan lingkungan angka kejadiannya terus meningkat hingga saat ini.

Berdasarkan temuan KLHK, kasus yang kerap diadukan kepada pemerintah pada umumnya berkaitan dengan sektor kehutanan dan non kehutanan.

Sesuai keterangan resmi KLHK pada Jumat (3/7), pada tahun 2014-2015 telah terjadi sebanyak 314 kasus pengaduan kekerasan di bidang lingkungan hidup. Khusus pada tahun 2015, disebutkan bahwa jumlah yang berhasil dihimpun KLHK mencapai 213 kasus sementara sisanya terjadi pada tahun lalu.

Dari keseluruhan kasus yang terjadi saat ini, KLHK melalui Posko Pengaduan dan Pengawasan mengungkapkan, kurang lebih ada 132 pengaduan yang diantaranya bersentuhan langsung dengan sektor pertambangan, agroindustri, dan manufaktur.

Sementara, sebagian besar lainnya terindikasi memuat unsur konflik tenurial dan inkuiri HAM dengan total 173 kasus.

KASUS LINGKUNGAN MEMPRIHATINKAN - Angka pengaduan kasus dari masyarakat kepada pemerintah boleh dikatakan cukup memprihatinkan. Dimana, baru lima bulan beroperasi, posko pengaduan dan pengawasan KLHK dikabarkan telah mengantongi setumpuk masalah di bidang lingkungan hidup diantaranya terdiri dari 213 kasus laporan yang berasal dari masyarakat.

"Sejak posko pengaduan dan pengawasan dibuka 12 Maret 2015, ada 213 pengaduan yang diterima KLHK," kata Direktur Penanganan Pengaduan dan Pengawasan Administrasi Kemal Amas di Jakarta, Jumat (3/7).

Artinya, laporan kasus lingkungan yang masuk tergolong cukup tinggi apabila dibandingkan dengan jangka waktu operasional posko pengaduan KLHK. Kemal mengatakan, ada sejumlah mekanisme atau pola pengaduan yang digunakan masyarakat dalam melaporkan kasus.

Pengaduan masyarakat tersebut disampaikan dengan beragam cara diantaranya dalam bentuk email, surat, pesan singkat, pengaduan secara langsung, telepon, melalui website. Selain itu, mengingat sebagian kasus kekerasan memuat motif pelanggaran HAM, pengaduan pun datang dari Komnas HAM. "Salah satu pengaduan yang masuk juga dilaporkan oleh Komnas HAM," singkat Kemal.

Pihak KLHK sendiri di tahun ini sudah beberapa kali melakukan tindakan hukum atas kasus kejahatan di bidang lingkungan. Yang terbaru, pada Kamis (2/7) kemarin, KLHK menyatakan telah melakukan tuntutan perdata atas kasus kebakaran hutan di Sumatera Selatan.

Saat ini ada dua perusahaan yang dituntut secara perdata karena diduga sengaja melakukan pembakaran hutan. Kasus pertama yang digugat secara perdata oleh Kementerian LHK adalah kejahatan pembakaran hutan dan lahan yang sangat besar seluas 20.000 hektar di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tergugat adalah PT Bhumi Mekar Hijau

"Kami lakukan gugatan dengan kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun," ucap Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jasmin Ragil Utomo dalam Media Briefing di Kantor Kementerian LHK, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kamis (2/7).

Ragil memaparkan, kasus yang terjadi pada tahun 2014 itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Palembang pada 3 Februari 2015. Saat ini masih dalam proses persidangan dengan agenda mendengarkan saksi fakta.

Kasus pembakaran hutan kedua diduga dilakukan sengaja oleh perusahaan terjadi di Simpang Damar, Desa Sei Majo, Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir, Riau tahun 2013. Tergugat dalam kasus ini PT Jatim Jaya Perkasa dengan area lahan terbakar seluas 1.000 hektar.

Meski pembakaraan terjadi di Riau, namun gugatan dilayangkan di PN Jakarta Utara pada 23 Februari 2015 sesuai dengan alamat kantor perusahaan. Agenda persidangan saat ini menunggu pembacaan gugatan kepada perusahaan. "Gugatan kerugian lingkungan hidup Rp119 miliar dan biaya pemilihan lingkungan hidup Rp371 miliar," papar Ragil.

Ragil menuturkan, proses gugatan ke pengadilan berlangsung molor sejak kejadian, lantaran lamanya proses pengumpulan alat bukti, uji laboratorium, pendataan, verifikasi dan lainnya. lalu bagaimana Kementerian LHK mengetahui perusahaan itu sebagai terduga pelaku? "Pertama kita melihat hotspot, ada titik api, data dari BMKG juga. Kemudian cari perusahaan terdekat dan ditelusuri, diketahuilah (perusahaan yang diduga membakar)," jawabnya.

KASUS LIMBAH B3 - Selain melakukan penuntutan secara perdata dalam kasus kebakaran hutan di Sumatera, sebelumnya pihak KLHK juga melakukan penutupan atas fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola oleh PT WPLi di Serang, Banten. Diduga kuat, perusahaan tersebut telah menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar.

Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menjelaskan, PT WPLi diduga membuang limbah secara sengaja di sekitar wilayah pabrik di Desa Parakan, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, Banten. Perusahaan yang dimiliki oleh WNA Korea Selatan tersebut diduga sudah melakukan kejahatan lingkungan hidup cukup lama.

"Limbah B3 ini diindikasikan karsinogenik atau penyebab kanker," kata Roy beberapa waktu lalu.

Roy bersama tim yang terdiri dari Muhammad Yunus, Direktur Penegakan Hukum Pidana LHK, dan Sayid Muhadar Direktur Pengelolaan Limbah B3 KLHK, menutup pabrik tersebut siang tadi. Mereka membentangkan sebuah garis kuning sebagai tanda aktivitas operasi pabrik ditutup.

KLHK akan melakukan tindakan hukum terhadap PT WPLi berdasarkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan itu juga akan dijerat dengan tindak pidana korporasi.

"KLHK melihat bahwa pembuangan limbah termasuk penimbunan limbah B3 ini dilakukan secara sengaja oleh pihak Perusahaan yang dimiliki oleh WNA Korea," terangnya.

"Masyarakat mengeluh udara yang bau menyengat dari cerobong PT WPLi dan banyak yang menderita gatal-gatal kulit," sambungnya.

Menurut Roy, PT WPLi merupakan perusahaan pengolah limbah B3 yang berasal dari berbagai industri. Ternyata, tidak semua limbah tersebut diolah, melainkan ada yang dibuang dan dibiarkan tak terkelola sehingga berceceran. "Sehingga membahayakan lingkungan masyarakat," imbuhnya.

KORPORASI MENDOMINASI - Kasus-kasus kejahatan lingkungan ini, memang banyak didominasi oleh perusahaan besar khususnya perusahaan pertambangan. Berbagai laporan hak asasi manusia dan lingkungan hidup menjadikan korporasi sebagai salah satu aktor yang paling bertanggungjawab dalam terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Komnas HAM mencatat, pada tahun 2012, korporasi merupakan pihak kedua yang paling banyak dilaporkan sebagai pelanggar hak asasi manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan pengaduan yang mencapai 1.009 kasus.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat bahwa sepanjang 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan persentase 82,5%. Sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya dan agraria.

Pada sektor perkebunan, ELSAM mencatat pada tahun 2014 terjadi 57 konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan korporasi perkebunan sebagai pelaku. "Korporasi yang bergerak di bidang industrial ekstraktif merupakan aktor yang paling banyak terlibat dalam perusakan dan pencemaran lingkungan hidup," tegas Ketua Komnas HAM Nur Kholis.

Angka-angka dan jumlah pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan Komnas HAM dan lembaga-lembaga hak asasi manusia serta lingkungan hidup ini merefleksikan bahwa korporasi merupakan aktor non negara yang memiliki potensi besar menjadi pelanggar hak asasi manusia. Apabila hal ini dibiarkan terus terjadi, tentunya hal ini sangat membahayakan masyarakat, lingkungan hidup dan perekonomian negara serta kesinambungan bisnis korporasi itu sendiri.

"Padahal seharusnya korporasi merupakan entitas yang memiliki kapasitas dan pengaruh yang besar terhadap proses pembangunan dan penghormatan hak asasi manusia, khususnya di wilayah-wilayah tempat beroperasinya korporasi tersebut," ujar Nur Kholis.

Oleh karenanya, dalam rangka menghindari atau meminimalisasi dampak negatif operasi korporasi terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup, serta dalam rangka menjadikan korporasi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proses pembangunan di Indonesia, Komnas HAM merekomendasikan agar ada suatu rencana aksi nasional yang dapat memberikan arahan bagi pemerintah didalam menjadikan korporasi sebagai aktor penting yang turut serta dalam membangun bangsa melalui operasionalisasi bisnisnya.

Sekaligus menjadikan hak asasi manusia sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Rencana hak asasi manusia ini diharapkan dapat memberikan arahan mengenai regulasi-regulasi apa yang perlu dibentuk dan disesuaikan dengan tanggungjawab korporasi terhadap penghormatan, perlindungan dan pemulihan HAM.

AKUMULASI TUMPANG TINDIH HAK ATAS TANAH - Merespons hal itu, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga mengatakan, kasus yang terjadi disektor lingkungan, khususnya kehutanan masih marak terkajdi akibat dari akumulasi tumpang tindihnya pengaturan hak atas tanah sejak tahun 1970 dan 1980.

Sandra menjelaskan, sejak dulu belum adanya kesepakatan atas kawasan hutan merupakan pemicu utama meningkatnya skala konflik antara masyarakat dan perusahaan. "Tumpang tindih klaim itu sebenarnya sudah merupakan satu pelanggaran karena berkaitan dengan hak milik atau property right," ujar Sandra ketika dihubungi gresnews.com, Jumat (3/7).

Menurutnya, hak milik atas tanah memiliki dimensi kepentingan yang berkaitan erat dengan profesi masyarakat. Sebagaimana diketahui, tanah atau kebun dikawasan hutan selama ini sering digunakan masyarakat sebagai lahan mata pencaharian.

Apabila sewaktu-waktu lahan penghasilan tersebut diganggu atau digusur tanpa melalui kesepakatan bersama maka dipastikan akan menimbulkan kekerasan atau konflik. "Ini akibat dari adanya kepentingan dan akumluasi dari tumpang tindih klaim di kawasan hutan produksi," ujar Sandra.

Sementara, dihubungi terpisah, Kordinator Jaringan Aksi Tambang (JATAM) Hendrik Siregar mengatakan, konflik kehutanan khususnya disektor pertambangan selama ini kerap dipicu oleh perizinan di daerah. Dia menilai, selama ini, pemerintah daerah kerap menyetujui secara sepihak proyek-proyek eksplorasi dengan memberikan lahan konsesi bagi perusahan pertambangan.

Sebagaimana diketahui, pelimpahan kewenangan suatu kawasan hutan di wilayah administrasi daerah dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Merujuk pada aturan itu, kata Hendrik, daerah dapat melepas kawasan hutan atas dasar rekomendasi pemerintah pusat. Namun, dalam praktiknya, dinilai jajaran pimpinan daerah terkadang merasa memiliki otoritas sepihak dalam hal melepas kawasan hutan dan seakan-akan berkuasa penuh terhadap PP Nomor 10 Tahun 2010.

"Hal itu merupakan gejala awal konflik terjadi. Dimana, kontrol dari pusat kurang kuat sehingga pemerintah daerah seringkali melepas kewenangan kawasan kepada perusahan," ungkap Hendrik kepada Gresnews.com, Jumat (3/7).

Bahkan, selama ini JATAM menilai kerap ditemui proses pelepasan kawasan hutan secara tidak sah atau non prosedural. Selain itu, dikatakan, efek domino dari izin non prosedural itu menimbulkan berbagai persoalan baik melibatkan kekerasan atau intimidasi.

"JATAM menilai, justru selama ini lebih banyak persoalan pembukaan kawasan hutan yang sering didahului dengan intimidasi atau kekerasan," singkat Hendrik.

Solusinya, pemerintah pusat dihimbau melakukan rekonsiliasi clean and clear terkait pemberian izin dan data tambang di tiap daerah. Upaya ini dianggap dapat dengan mudah memetakan kelayakan izin yang legal maupun sebaliknya.

Selain itu, inisiatif clear dan clean tersebut dimaksudkan untuk menjalin konsolidasi perizinan yang telah ditinjau sebelumnya oleh KLHK baik dari segi izin pakai kawasan hutan dan izin kelayakan lingkungan hidup. (dtc)

BACA JUGA: